Aku senang bermain air
berenang-renang di jalan.
Kalau di sungainya,
aku tidak berani karena airnya deras.
Kalau sudah begitu,
aku pasti dimarahi ibuku.
”Nah, kamu sudah bisa membuat puisi sekarang. Bukankah ini puisi?”
”Lho, kok? Berarti dari tadi saya sudah belajar membuat puisi? Horeeeeee, saya berhasil membuat puisi. Terima kasih Pak Penyair, terima kasih...!!!”
“Hm, kenapa kamu bersemangat sekali ingin membuat puisi?” tanya sang penyair.
”Saya lagi suka dengan Hana, si mungil Pak. Dia senang puisi. Kawan-kawan saingan saya sudah mengirimi dia puisi. Jadi, saya ikut-ikutan. Terima kasih ya, Pak Penyair... Saya bisa kirim puisi ini ke Hana... Dadaaaaaaaaaaaa Pak Penyair...” Sang anak sambil berlari riang dengan kertas di genggamannya.
Sang penyair melongo, lalu tersenyum-senyum.
Salam,
(Odi Shalahuddin)
_______________________
Catatan:
Tulisan ini pernah diposting di Kompasiana pada tanggal 11 Oktober 2010. Tampaknya diposting ulang masih relevan terkait dengan perbincangan sastra instan. Model penulisan di atas, sama sekali memang tidak ilmiah, lebih menggunakan pendekatan agar anak-anak belajar berani membuat karya.
Nah, mengapa kita tidak memulainya?
Karena itu (klik saja)
MENULISLAH
Sebab dengan menulis, engkau mencatat sejarah dirimu sendiri.
Coba deh tengok (dengan Mengklik):
TERUSLAH MENULIS MENJADIKAN CATATAN SEJARAH
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI