Sebagaimana telah diduga, vonis yang dijatuhkan untuk BSW Adji Koesoemo akan disesuaikan dengan masa penahanan dirinya. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan vonis 3 bulan 15 hari, pada persidangan hari Selasa (6/1), sehingga tepat pada pukul 00.00 ia dapat menikmati kebebasannya kembali.
Sayang saya tidak dapat mengikuti persidangan dirinya dan juga penjemputan oleh kawan-kawan aktivis lingkungan dan HAM di LP Cebongan (7/1) karena berbarengan dengan acara lain. Sebagai seorang kawan, tentu saya sangat gembira atas bebasnya Adji Koesoemo. Namun sebagai seorang yang juga terlibat dalam gerakan Hak Asasi, rasanya sulit menerima vonis terhadapnya. Bagaimanapun, vonis yang dijatuhkan menunjukkan ia bersalah.
Sebagaimana tulisan yang pernah diposting di Kompasiana (lihat di SINI dan di SINI), BSW Adji Koesoemo , seorang aktivis lingkungan dan HAM yang banyak membela kelompok masyarakat yang terpinggirkan atau dirugikan, ditangkap dan diadili dengan dakwaan pasal 170 ayat 2 ke 1 KUHP, atau pasal 406 ayat 1 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP tentang perusakan.
Ini bermula dari kesertaannya memberikan dukungan kepada warga Karang Wuni yang memprotes pembangunan Apartemen the Uttara Icon oleh pengembang PT Bukit Alam Permata. Saat aksi terjadi perusakan banner dan gypsum, yang oleh pengembang dinyatakan bahwa pihaknya mengalami kerugian sekitar 100 juta rupiah.
“Robeknya selembar baner reklame papan bisnis apartemen Uttara The Icon sebagai casus belli memperkarakan saya dalam Hukum Acara Pidana, yang penuh kenaifan dan di luar akal sehat diklaim sepihak merugikan SERATUS JUTA RUPIAH (Rp. 100.000,000,-)” demikian protes dari Adji Koesoemo saat memberikan pembelaan atas kasusnya.
Keterangan di persidangan sendiri tidak mampu menunjukkan bukti nilai actual cost kerugian pengembang. Sebagai pembanding, contoh duplikat pencetakan selembar banner dengan ukuran panjang, lebar, jenis dan kualitas bahan yang sama persis, ternyata ongkos printing dan design tidak lebih dari 300 ribu selembar.
Mencermati proses persidangan yang berlangsung, para aktivis, terutama yang berhimpun di Komite Aksi Perlindungan Aktivis Lingkungan (KAPAL) Yogyakarta yang dibentuk untuk memberikan dukungan kepada Adji Koesoemo sejak penahanannya di Polres Sleman, menilai ada kejanggalan dan “seakan: ada kekuatan-kekuatan lain yang bermain dan memang mentargetkan agar Adji Koesoemo dipenjara. KAPAL juga menegaskan bahwa bebasnya AK menjadi arus balik upaya perlawanan terhadap setiap kriminalisasi para pegiat ‘human rights defender’
Hal mana diungkapkan pula oleh Adji Koesoemo “ada pihak-pihak lain yang secara konspiratif ‘menargetkan’ saya sebagai terdakwa, ialahasal Adji Koesoemo masuk penjara. “Balas dendam subyektif sudah dapat saya duga dari mana dan siapa saja mewarnai pergaulan saya sebelum peristiwa ini,”
Kamis (8/1), tanpa terduga Adji menghubungi saya lewat telpon dan kami janjian bertemu pada hari Jum’at (9/1) pagi.
“Sebenarnya saya ingin banding. Tapi karena ketaatan pada ibu yang meminta agar tidak banding, maka saya menerima putusan itu,” jelas Adji Koesomo.
Saat berbincang-bincang, semangat perlawanan masih sangat kuat terpancar di wajah dan nada suaranya. Proses hukum yang baru dijalani tidak membuatnya surut. Ia masih berbicara tentang banyaknya kasus-kasus yang merugikan rakyat yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Semangat perlawanan, memang terwariskan dari kakek buyutnya dan kedua orangtuanya. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam pledoinya:
“Rasa syukur suasana batin keluarga kami yang dialiri semangat darah pejuang nasional Pangeran Diponegoro. Ikatan genealogis ini bukan sekadar hubungan darah biologis, namun juga darah ideologis. Kakek buyut saya, Eyang Diponegoro, menyatakan 4 musuh besar Nabi Musa adalah musuh besar kemanusiaan yang selalu ada di setiap jaman.
Pertama, Firaun, tipologi penguasa supra-politik pengidap megalomaniak yang gemar menepuk dada, “Sayalah penguasa segalanya”. Kedua, Haman, tangan kanan sang megalomanik pemegang otoritas birokrasi yang doyan menjilat ke atas dan menginjak ke bawah. Ketiga, Bal’am, tipe intelektual yang tahu kebenaran, hukum dan keadilan namun wibawa keulamaannya digunakan untuk menginjak-injak harkat kemanusiaan dan membela kesalahan. Dan keempat, Qurun, tipe manusia congkak penimbun harta benda berkarakter kapitalis tulen penghisap keringat orang.
Kisah kaum Musa ini terus relevan di sepanjang zaman. Kombinasi kekuasaan padu padan yang durhaka kepada Allah SWT dan kemanusiaan. Antara sang raja tega, menteri utama, cendekiawan jahat dan kapitalis yang menjadi kesatuan 4 unsur yang membentuk tipologi kekuasaan politik yang memerintah sewenang-wenang.
Orang tua saya, Bapak Suryowilogo, kepada anak-anak dan menantu serta para cucu, selalu mengingatkan agar menjadi orang yang memegang prinsip ‘Trihita Purusha’. Tiga poros kehidupan yang harus terjaga. Pertama, hubungan dia dengan Tuhan. Kedua, hubungan dia dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dan ketiga, ’Traju Jagad Dita’, kemampuan menyeimbangkan alam semesta dan lingkungan agar tidak rusak.
Sementara hikmat kebijaksanaan dari ibu saya, Ibu Soertiyati, berpesan agar hidup senantiasa menggali karakter satria dalam wayang kulit. Mata selalu tertunduk ke bawah untuk melihat rintih suara ‘wong cilik’, yakni pihak yang lemah dan diperlemahkan oleh sistem kuasa.
Selama masih bercokolnya konspirasi jahat yang mengkombinasikan replika manusia- manusia jenis Fir’aun Haman, Bal’am, dan Qurun, maka rakyat yang lemah semakin tidak berdaya. Konspirasi ini tidak ubahnya tirai gelap yang menutup layar panggung dari kasus hukum yang saya alami. Persidangan ini dilatari skenario kekuatan tersembunyi sarat muatan politis oleh kehendak kuasa otoritas tertentu dari sekadar ekstra-yudisial. Tentu saja, lelucon menyakitkan dapat dialami siapapun warga negara Republik ini ketika Otoritas Politik bersekongkol dengan Otoritas Modal.
Simbiosa keduanya disebut Kapitalis Birokrat (Kabir). Perilaku kejahatan koruptif ini dapat terjadi di semua lini dan hirarkhi aparatus negara. Dari Presiden RI sampai Lurah/Kepala Desa sebagaimana skandal KKN jatuhnya Orde Baru Soeharto. Relasi pejabat busuk dan investor hitam, antara penguasa dan pengusaha, birokrat dengan kapitalis, senantiasa tidak berjalan linear ketika persekongkolannya dikawal ganasnya ‘anjing penjaga’ modal, atau watch-dog.” (Lihat pledoi Adji koesomo: Bonanza Properties)
Pengalaman 105 hari di dalam tahunan, juga memberikan pengalaman tentang berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang ia saksikan sendiri atau berdasarkan pengakuan para tahunan lainnya dalam berbagai kasus.
Berpijak pada kasusnya, Adji Koesome berharap para aktivis lingkungan dan HAM tetap bersemangat dan tidak ragu-ragu menjalankan kegiatannya. Para aktivis lingkungan, sesungguhnya mendapatkan jaminan perlindungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 66, menegaskan, “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”.
Yogyakarta, 10 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H