Mohon tunggu...
Odios Arminto
Odios Arminto Mohon Tunggu... -

Kartunis, humoris dan penulis

Selanjutnya

Tutup

Humor

Contoh Cerita Wayang Mbeling: Antarja Si Jago Cipok

30 November 2014   14:35 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:28 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Senja itu udara diliputi mendung. Tak ada angin bertiup sepoi-sepoi basah. Yang ada desiran angin puyuh. Menerbangkan rumput kering menumbangkan ranting-ranting lapuk. Pada saat demikian, biasanya orang enggan ke luar rumah. Lebih enak tidur menekuk kaki memeluk guling. Atau tiduran berselimut bulu domba (jika punya). Tapi tidak demikian halnya dengan Raden Antarja, si putra Bima yang sulung ini. Dia baru saja lulus dari pendidikan militer yang maha dahsyat. Hasil gemblengan kakeknya sendiri Prof. Antaboga yang punya istana di bawah tanah.

Pada saat sepi yang menggigit jari itu, Raden Antarja ke luar dari bawah tanah seraya mengendarai sebuah kendaraan khusus, terbuat dari bahan-bahan yang aneh dan langka. Sebab kendaraan itu di samping mampu menggergaji tanah, juga mampu mengembalikan status tanah sebagaimana semula. Jadi nyaris sama sekali tak berjejak. Dan ini jelas tidak menyalahi slogan pemerintah tentang pelestarian alam dan lingkungan hidup.

Saat itu di tangan Antarja telah terjinjing seperangkat diploma yang menyatakan bahwa pemuda itu telah mampu menempuh pendidikan dengan sangat memuaskan. Dia juga dibekali beberapa senjata khusus yang ampuhnya luar biasa. Jika kita mengenal keampuhan tenaga bom atom yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima, maka senjata yang dimiliki Antarja juga tak beda dengan itu. Ramuan dan inti-inti komponen pemati lawan dibuat sedemikian rupa oleh Prof. Antaboga yang kepandaiannya jauh di atas Albert Einstein. Maka menurut Prof. itu, persiapan cucunya untuk menghadapi perang Barata Yudha cukup sudah.

Dan Antarja berangkatlah dengan penuh optimisme untuk meraih kemenangan. Khusus kali ini, jika tertawa, nampak menonjol sepasang taring yang bersinar keemasan. Bukan sembarang taring, atau sekedar menakut-nakuti lawan biar disangka sesaudara drakula, tapi itu taring kencana, sebuah pusaka yang amat ampuh. Siapa saja yang kena gigit bakal mampus. Jangankan manusia, kerupuk saja, eh besi saja bakal hancur jadi debu.

Pakaian yang dipakainya pun juga bukan sembarang pakaian. Melainkan hasil pemberian sang kakek Profesor. Kebal peluru, kebal panah, apalagi granat dan ranjau. Masih lebih dari itu, satu hal yang sangat dicemaskan oleh para dewa dan terutama Prabu Sri Batara Kresna (sponsor perang Barata Yudha dari pihak Pendawa), yaitu sebuah kesaktian Antarja yang tiada duanya. Kemautannya dalam mencipok dengan cara menjilat pakai lidahnya. Siapa saja yang kena jilat, tanggung langsung hangus jadi arang. Jangankan kulit manusia (eh kulit manusia atau kulit wayang ya …? Atau wayang kulit?), bayangan dari orang itu saja kena jilat Antarja bakal hangus lalu mampus. Nah bayangkan …

Tapi senja yang mencekam itu, tetap tak lepas dari pengamatan Prabu Kresna. Dia satu-satunya manusia yang mengetahui dan ikut andil dalam penyusunan Kitab Jitapsara, sebuah buku yang berisi skenario pertempuran Barata Yudha. Siapa yang bakal hidup siapa yang bakal mati, telah lebih dulu diketahuinya. Maka sebagai orang yang ikut bertanggung jawab terselenggaranya pertempuran itu, dia merasakan ketakseimbangan kekuatan antara Astina dan Pendawa jika Antarja ikut perang. Sebab tak pelak lagi pertempuran bakal batal. Kesaktian Antarja tiada tanding. Jangankan cuma seorang dua orang Astina yang maju, semuanya maju pun bakal mampus dalam sekejap. Dan kenyataan ini sangat tidak diharapkan oleh Kresna. Oleh karena itu dia buru-buru mengadakan sidang kilat yang dihadiri oleh Pendawa Lima.

“Dinda Prabu Puntadewa, menurut para Dewa, soal Antarja telah diserahkan pada saya. Apa pun yang harus saya lakukan, tetap Dewa akan merestui. Bagaimana pendapat dinda?”

Puntadewa cuma menjawab anggukkan, lalu menoleh ke Bima. Bima senyum diplomatis. Kresna membalas senyuman itu., tak kalah diplomatisnya.

“Apa kira-kira Dik?”

“Kau bakal menyingkirkan, anakku kan …?”

Kresna masih tetap tersenyum.

“Mestinya kau bisa memahami persoalan ini Bima …”

“Katakanlah terus terang, aku akan berusaha memahaminya.”

Kresna lalu menjelaskan panjang lebar. Bima manggut-manggut. Harus menekan perasaannya. Karena bagaimana pun sebagai seorang ayah tetap tak tega membiarkan anaknya hendak dihabisi riwayatnya oleh orang lain. Dan orang lain itu ternyata sahabat Pendawa dan sekaligus sponsor Pendawa. Tetapi Bima cukup berpikiran jauh, maka meskipun sambil termangu-mangu, dia tak berusaha mencegah ketika Kresna telah melesat ke luar dari persidangan untuk menjemput Raden Antarja.

Sementara itu Raden Antarja yang tengah berjalan menuju Amarta untuk menjumpai junjungan-junjungannya, dalam perjalanan iseng-iseng mencoba kesaktiannya dalam hal cipok mencipok itu. Suatu ketika dari balik gerumbul muncul seekor harimau besar dan dengan garang menerkam ke arahnya. Antarja mengelak, lalu mendaratkan pukulan ringan ke tubuh harimau itu. Raja hutan itu pun berkelit, tak kalah gesitnya. Antarja tentu saja agak berang dipermainkan hewan usil ini. Maka dia berusaha memegang ekornya dan siap menjilat salah satu bagian tubuh binatang itu. Usahanya sia-sia karena hewan itu pun mampu mengelak dengan manis sekali. Bahkan Antarja kehilangan keseimbangan diri dan akhirnya terjatuh. Di luar dugaannya, mulutnya mencium tanah bekas tapak kaki harimau itu dan lidahnya cuma sedikit menyentuh tapak kaki hewan perkasa itu. Tapi hasilnya luar biasa. Harimau itu mendadak hangus lalu mampus. Antarja sejenak terkesiap melihat kesadisan ilmunya. Lalu dia pun melanjutkan perjalanan lagi.

Di tengah jalan dia berjumpa dengan Prabu Kresna, sang Uwa. Maka dengan hormat dia menyampaikan sembah.

“Oiiiii selamat datang anakku ngger Antarja … bagaimana kabarmu …?”

“Kabar baik-baik saja Wa. Cuma belakangan ini istana kakek sering dapat gangguan oleh bor-bor yang mencari minyak bumi, sehingga banyak genteng istana pada berlubang dan remuk.”

“Aii … itu kabar menarik anakku. Kau tahu sumber-sumber minyak bumi sekarang banyak yang sudah kering. Dunia mulai dilanda krisis energi dan bahan bakar. Tapi jangan kuatir, kelak kalau Pendawa menang dalam pertempuran Barata Yudha, pasti para sarjana dan para ilmuwan dapat kesempatan lebih banyak untuk mengadakan eksperimen guna mendapatkan ganti bahan bakar yang hampir habis. Oh ya, omong-omong … sekian lama kau sekolah militer sudah dapat sesuatu yang kau andalkan untuk menghadapi Astina nanti?”

“Tentu saja Wa. Hamba sudah sangat siap.”

“Uwa dengar kau punya jimat ampuh berupa ‘Bisa Anta’ pemberian Oom Profesor Antaboga. Benarkah itu Antarja?”

“Benar Wa.”

“Bagaimana menggunakannya anakku?”

“Hamba cukup menjilat tapak kaki musuh, lalu dia bakal mati hangus.”

“Betulkah itu?”

“Betul Wa.”

Kresna dengan lihai menunjukkan tapak kaki Antarja sendiri yang diakui tapak kakinya.

“Kalau begitu Uwa ingin menguji, coba kau jilat tapak kaki Uwa ini …”

Antarja tanpa pikir panjang, lalu melakukan perintah Uwanya itu. Dan tanpa dia duga, tubuhnya tiba-tiba hangus, lalu dia pun menemui nasib seperti harimau di semak-semak tadi. Mati. Tapi tubuhnya segera muksa. Lenyap dan Dewa segera menjemputnya untuk diantar ke surga.

Tak lama kemudian datang rombongan dari Astina yang dipimpin oleh Baladewa dan Adipati Karna. Tak ketinggalan pula patih Sengkuni. Sedianya mereka hendak menjemput Kresna untuk dibawa ke Astina, karena diketahui Kresna sudah bangun dari tapa tidurnya.

Maksud mereka hendak memutasikan Kresna ternyata diam-diam telah diketahui oleh Arjuna yang tiba-tiba sudah berada di situ. Maksud mereka segera ditolak Arjuna dengan tegas. Baladewa yang terkenal, dalam soal berang-memberang, segera mencabut senjata Nenggalanya lalu diterjangkan ke tubuh Arjuna. Arjuna mengelak, Nenggala yang ampuh itu menancap di bumi. Bumi yang merasa kesakitan, mencoba kasih pelajaran sama Baladewa, dia jepit kuat-kuat senjata itu, sehingga Baladewa tak mampu mencabutnya, bahkan tubuhnya pun juga ikut terjepit tanah. Baladewa teriak-teriak minta tolong sama Kresna.

“Kres … Kres …! Waktu kecil kalau kau rewel minta es krim aku yang belikan. Kalau kau mau pipis aku yang buka celanamu. Kalau kau pengin mandi aku yang menimbakan air. Kini kau lihat saudaramu dalam kesulitan kau tega diam saja…?”

Kresna segera mendekati abangnya.

“Mas Bala … you sebenarnya tak usah mengungkit-ungkit masa lalu. Kalau soal menolong … jangankan kau kakakku sendiri, biar kau musuh bebuyutanku pun kalau dalam kesulitan lalu minta tolong dan aku bisa menolongnya, tentu aku tolong. Nah … Mas, kau bisa lolos dari amarah bumi, jika kau mau sumpah dan janji untuk sedia memberi apa saja kepada orang yang meminta sesuatu kepadamu. Bagaimana?”

“Baiklah …” jawab Baladewa sambil menahan rasa nyeri.

Tak lama kemudian Baladewa terlepas dari jepitan bumi, tiba-tiba muncul seorang Cantrik yang dekil dan bau apek yang minta sesuatu padanya.

“Kau mau minta apa he Cantrik?”

“Hamba tak hendak minta emas maupun perak, cukup hamba minta Permaisuri Mandura, Dewi Erowati istri paduka.”

Mendengar permintaan Cantrik yang nyentrik ini, tentu saja Baladewa kumat lagi bluderknya. Dia ambil Nenggalanya lalu dia lemparkan ke tubuh Cantrik itu. Cantrik dekil itu berubah jadi Arjuna, sementara senjata ampuh tadi menancap lagi ke perut bumi. Dijepit lagi. Baladewa hendak mengambilnya lagi. Kali ini dia justru terperosok tubuhnya hingga sebatas leher. Dia lalu teriak-teriak lagi persis anak kecil. Sesekali juga keluar air matanya. Entah air mata buaya atau bukan. Yang jelas kalau tidak buaya darat, ya buaya putih hasil sulap yang bikin keqi itu.

“Aku mau menolongmu Mas jangan kuatir,” jawab Kresna,”tapi ketahuilah ulahmu yang kedua ini, kau telah berbuat dosa untuk yang kesekian kalinya pada bumi. Maka hukumannya juga semakin berat.” Baladewa berjanji, apa saja yang dinasihatkan adiknya bakal dia ikuti. Asal selekasnya bisa dibebaskan dari jepitan bumi yang luar biasa itu. Baladewa lalu disuruh bertapa, sebab dia memang tak memihak mana pun, maka tak ada musuhnya dalam perang Barata Yudha.

Sementara itu Adipati Karna dan Patih Sengkuni yang merasa berada di bawah angin segera bergegas mengangkat sarungnya tinggi-tinggi, lalu memerintahkan bala tentara bergerak mundur.

“Benar Oom Sengkuni, jika kita turutkan kata hati bisa berabe, saat ini posisi kita sedang kurang good. Maka menurut hemat saya, kita laporkan hal ini pada Adik Prabu Duryudana. Siapa tahu jika yang berkenan membujuk Kanda Kresna Adik Prabu Duryudana sendiri, bisa berhasil. Bukankah begitu Oom …?” tukas Adipati Karna seraya membetulkan celana kolornya yang berkali-kali melorot ke bawah.

“He … he … he kurasa pendapat Nak Karna juga sama dengan pemikiran Oom. Nah, Astina sudah dekat!”

Karna dan Sengkuni memberi isyarat pada komandan barisan. Iring-iringan itu terus bergerak ke Alun-alun istana, sementara Karna dan Sengkuni sambil sedikit mengendap-endap bergegas menuju ke Steambath.

“He manajer! Sediakan dua nona manis. Kami berdua habis bertempur hebat, kami butuh ahli pijat yang bisa mengembalikan otot-otot pada fungsinya semula ngerti!” gertak Sengkuni sambil menyeka keringat di dahinya, yang cuma sebiji jagung acan.

“Baik … baik Oom Seng …” sahut manajer tergopoh-gopoh.

“Apa? Kau panggil aku Oom …? Tuanku! Bisa nggak? Kalau tidak kucabut izin usahamu.”

“Ya … ya … ya maafkan Tuanku.”

Terburu-burunya cerita, rombongan kali ini dipimpin langsung oleh raja agung binatara Prabu Duryudana dan sampai di wilayah Pendawa sekitar pukul delapan belas waktu Pendawa Bagian Timur. Kedatangan raja besar itu disambut langsung oleh Prabu Kresna. Setelah berbasa-basi sejenak, Duryudana menyelipkan seikat amplop ke balik jas Kresna seraya membisikkan sesuatu. Kresna menolak dengan halus. Duryudana menyerahkan kunci mobil. Kresna menolak dengan halus. Duryudana menyerahkan sebuah potret wanita cantik, Kresna menolak dengan agak kasar.

“Sudahlah Adik Prabu Duryudana, saya punya dua alternatif yang harus Adik pilih salah satu. Yakni, mana yang Adik pilih satu orang atau sejuta pasukan lengkap dengan persenjataannya.” Selesai berkata demikian Kresna lalu mencipta sejuta pasukan yang seolah-olah tampak berbaris dengan rapi di Alun-alun.

“O .. o .. o kalau itu yang Kanda Prabu Kresna sodorkan, tentu saja saya lebih cenderung pilih sejuta pasukan dong!”

Seusai menerima sejuta pasukan Duryudana segera mundur ke Astina. Tapi setelah sampai di wilayah Astina, pasukan sejuta itu hilang lenyap. Bukan main marahnya Sang Duryudana, maka sejak saat itu dia telah mengancam suatu saat pasti mau balas sakit hatinya pada Prabu Kresna yang keterlaluan.

Diangkat dari Kumpulan Cerpen Wayang Humor karya: dMs

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun