Mohon tunggu...
Darminto M Sudarmo
Darminto M Sudarmo Mohon Tunggu... wiraswasta -

Peminat Masalah Sosial Budaya; Pemerhati Humor, Lawak dan Kartun.

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Indonesia Juga Punya Tradisi Sejenis "Stand Up Comedy"

28 Desember 2011   06:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:39 1313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_159613" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock)"][/caption]

Inti dari pertunjukan kesenian jenis ini adalah

individu menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.

SAMPAI detik ini kok saya masih percaya, bahwa Indonesia memiliki reputasi baik di mancanegara karena genuitas karya seni dan budayanya; kalau belakangan terjadi eforia karena diterimanya "tamu" seni lawak dengan formula baru, hendaklah itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar-wajar saja. Toh sejarah membuktikan selain sebagian dari kita tergila-gila pada fried chicken; sebagian yang lain justru sadar, bahwa ayam kampung goreng ternyata tak kalah dari itu, bahkan lebih aduhai. Izinkan saya mem-posting tulisan di bawah sekadar untuk mengajak para pembaca merenungkan sejenak, apa benar rumput tetangga selalu tampak lebih hijau?

Sejujurnya agak mengagetkan juga ketika sebuah koran nasional yang terbit di Jakarta, edisi Minggu, 9 Oktober 2011, mengangkat laporan utama tentang pertunjukan stand up comedy (lawak tunggal) di Indonesia sebagai seni pertunjukan humor alternatif yang belakangan mulai marak di kafe dan televisi. Laporan ini terasa sebagai oasis yang memberikan kesegaran dan harapan baru. “Orang-orang berbagi tawa untuk melepas kegetiran hidup”, tulis koran tersebut. Ketika kondisi sosial budaya di masyarakat terasa stag, runcing dan stereotip; ketika tekanan hidup terjadi karena berbagai persoalan politik, ekonomi, hankamnas dan lain-lain, stand up comedy menjadi semacam media katarsis yang akrab dan dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Begitu sederhananya bentuk pertunjukan ini, seseorang dapat tampil meski dengan hanya memakai t-shirt dan celana pendek. Spontan, segar dan kadang menyelinapkan materi-materi cerdas yang mencerahkan. Pertunjukan ini dapat dikatakan sederhana karena seorang penampil tidak perlu dipusingkan oleh berbagai kewajiban menyediakan uba rampe fisik yang rumit seperti yang terdapat pada seni pertunjukan pada umumnya; yaitu seting panggung/tata ruang, kostum/tata busana, properti, hand-prop, tata cahaya, tata rias wajah, musik dan tata suara yang canggih. Semua dapat diakomodasi sesuai apa yang ada, apalagi pada sesi open mic (forum para pendatang baru menjajal nyali). Hal yang paling penting justru kekuatan di materi lawakan, teknik penampilan dan penonton yang menunjang. Kecuali, tentu saja, kemasan pertunjukan memang akan ditata dalam bentuk yang megah, artifisial, bahkan spektakular. Secara selintas, upaya mentradisikan stand up comedy di Indonesia telah dirintis oleh Ramon P Tommybens yang  didukung oleh Harry de Fretes lewat Comedy Cafe di Tanah Kusir, Jakarta, pada kurun waktu sekitar 1997-an; yang kemudian berpindah-pindah lokasi ke Pondok Karya, Semanggi, dan terakhir di Kemang, Jakarta Selatan. Buah dari kegigihan Ramon, yang konsisten dan tak pernah kenal menyerah meski kemudian ia berjuang mengusung tekadnya sendiri, baru mulai terasa hasilnya terutama sejak awal-awal tahun 2011. Publik mulai terbuka matanya. Ketambahan lagi ketika sekelompok segmen pencinta humor sepertinya tidak mendapatkan sajian humor yang sesuai dengan tuntutan intelektualitas mereka di hampir semua stasiun TV yang ada. Kini, stand up comedy, salah satu genre pertunjukan lawak yang menurut literatur berasal dari luar – Inggris memiliki warisan tradisi cukup lama, antara abad 18 – 19 dalam versi klasik; sementara di Amerika, mereka yang dikenal sebagai pembaru jenis pertunjukan ini adalah komedian-komedian seperti: Jack Benny, Bob Hope, George Burns, Fred Allen, Milton Berle dan Frank Fay —kini mulai diterima dan diminati kelompok penonton kita dari strata sosial tertentu. Mereka umumnya angkatan muda yang aktif di jejaring sosial, berpendidikan SLTA ke atas dan berjiwa broadminded; generasi yang tampaknya sedang berupaya membebaskan diri dari warisan sejarah bangsa yang kelam dan penuh kemelut. Seperti yang ditulis koran itu, mereka dapat tertawa dan menertawai kegetiran hidup yang dialami maupun yang terjadi di sekitarnya.

Stand up Comedy Indonesia

Situasi ini mengingatkan kita pada salah seorang "stand up comedian" Indonesia yang "legendaris"; yaitu Cak Markeso. Seniman ludruk tunggal dan garingan (tanpa iringan musik) yang merintis karier sejak zaman kolonial ini -- pada 1949, ia memilih keluar dari grupnya "Ludruk Cinta Massa" karena persoalan intern  -- biasa mengamen dari kampung ke kampung di Surabaya lalu bermonolog membawakan salah satu cerita bila ada warga yang nanggap. Ia juga punya kemampuan untuk mengiringi cerita dengan musik dari mulutnya sendiri. Cak Markeso tercatat dalam sejarah seni ludruk karena celetukan-celetukannya sangat khas dan piawai dalam memancing imajinasi penonton.

Bentuk pertunjukan lawak tunggal sejenis stand up comedy juga pernah ada di TVRI (antara tahun 1970 - 1980-an) dan cukup boom serta digemari masyarakat. Tercatat misalnya nama pelawak Arbain,  dengan logat Tegal-nya yang kental ia sanggup membuat penonton tergelak-gelak karena joke-joke yang dilempar sangat mengena dan tepat sasaran; apalagi ia juga mempunyai keterampilan sulap yang memadai sehingga acaranya di TVRI bertahan cukup lama. Sementara itu, meskipun tidak rutin, seniman serba bisa Kris Biantoro, pernah membawakan “stand up comedy” di TVRI dengan sangat genuin dan prima, bahkan belum tertandingi bila dibanding produk pertunjukan sejenis hingga saat ini.  Secara parodis ia pernah tampil sendiri membawakan figur-figur terkenal waktu itu lengkap dengan gaya busana, tata rias wajah dan aksen bicara, beberapa di antaranya wanita; bergantian secara cepat. Bukan hanya gagasan fisik yang dia garap, tetapi juga kedalaman materi yang dapat menimbulkan efek tawa; semua terjaga, elegan dan berkualitas.

[caption id="attachment_152240" align="alignright" width="300" caption="Maestro Dagelan Mataran"][/caption] Tradisi Kesenian Serupa

Pertanyaan mengapa maraknya stand up comedy dapat mendatangkan  kesegaran dan harapan baru bagi publik pencinta humor di Indonesia? Karena secara roh budaya negeri ini juga memiliki tradisi kesenian serupa meskipun dalam kemasan yang sedikit berbeda. Dagelan Mataram misalnya, memulai acaranya dengan memunculkan seorang pelawak yang bermonolog; sebut saja misalnya Basiyo; setelah ger-geran antara lima hingga 10 menit, barulah format kelompok beraksi. Di pertunjukan ketoprak, pada segmen dagelan, seorang pelawak membuka komunikasi beberapa saat dengan penonton kemudian disusul interaksi dengan pelawak atau pemain lain. Begitu juga di pertunjukan ludruk; sesi Jula-juli, menampilkan pelawak tunggal yang selain menyanyikan laguJula-juli dengan syair-syair kocak yang terus-menerus diperbarui, juga bermonolog sambil menyelipkan bahan-bahan lucu di antara celetukan-celetukan ringannya. Kilmaksnya, bila kita renungkan lebih mendalam, apa yang dilakukan ki dalang (baik wayang kulit maupun golek) nyaris punya kesamaan pola; ki dalang adalah seorang player yang jenis pertunjukannya berada dalam disiplin atau genre seni yang tak jauh dari tradisi stand up comedy. Individu menjadi pusat seluruh aliran pertunjukan.

Di masa kini pertunjukan yang mungkin makin mendekati sejenis stand up comedy adalah pentas monolog. Butet Kartaredjasa, mencuat debutnya sejak ia mementaskan monolog dengan dialog menyerupai suara Presiden Soeharto di jaman Orba. Hamsad Rangkuti, pentasnya di Taman Ismail Marzuki, membacakan cerpen "Sukri Membawa Pisau Belati" sempat menorehkan kesegaran tersendiri bagi publik kesenian negeri ini. Dramawan Putu Wijaya, tergolong paling produktif dalam bermonolog membawakan naskah-naskahnya sendiri. Iwel Well, secara mengejutkan tampil tunggal dalam paket pentas stand up comedy pyuuurrr di Gedung Kesenian Jakarta beberapa tahun, bahkan sebelum kesenian ini diramaikan orang begitu menggebu.Tentu masih banyak pe-monolog lain yang tak dapat disebutkan satu persatu. Pada akhirnya kita berharap, selain sebagai off air event yang sudah berjalan dan mulai mentradisi, televisi sebagai salah satu media yang memiliki daya jangkau luas dapat melihat fenomena stand up comedy ini sebagai salah satu kekuatan budaya yang  perlu diperhitungkan. Bangsa ini benar-benar sudah sangat membutuhkan tontonan yang selain menarik juga bermanfaat. Setidaknya, tontonan alternatif yang dapat membangun kesegaran dan harapan baru bagi masyarakat pencinta humor di Indonesia. Konklusi dari seluruh uraian di atas, kita punya darah seni sejenis stand up comedy yang sebenarnya tidak kalah greget dan pukau; sangat bijak bila kita tidak usah terlalu kaget, terlalu mendewa-dewakan dan memandang hadirnya kesenian ini sebagai "ikon" baru sehingga yang lain seakan-akan menjadi tidak penting.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun