Mohon tunggu...
Oddi Arma
Oddi Arma Mohon Tunggu... profesional -

menulis apa yang dilihat, rasa, dan dengarkan @odiology

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anies, FPI, dan Linunya Logika

11 Januari 2017   14:39 Diperbarui: 11 Januari 2017   14:58 5314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka anggap Anies sudah merobek-robek nilai keagungan tolerensi karena mendatangi FPI yang disekitar markasnya terdapat beberapa gereja dan tidak pernah terjadi kericuhan. Namun, mereka yang gembira saat ada ‘tangan besi’ yang melarang pemutaran film Jakarta Unfair di TIM, begitu angkuhnya mengajari Anies soal toleransi. Mengajari sosok yang telah mengajarkan bagaimana makna tolerensi sesungguhnya kepada ratusan anak muda (sebagaian besar lulusan S2 luar negeri) sehingga dengan sukacita mereka mendatangi pelosok, mendatangi manusia Indoensia yang baik agama, suku, adat istiadatnya berbeda dari mereka. Anak-anak muda muslim mengajari anak-anak kristen (dan sebaliknya). Mereka berbaur, tinggal bersama, menjadi saudara. Jika mereka sekedar koar-koar soal toleransi, Anies telah melakukannya. Bagi Anies toleransi dipraktikkan, bukan jadi ucapan dan tulisan Indah saja.

Bagi mereka Anies telah menjadi seorang politisi yang tidak punya idealisme. Tapi saat pujaannya berjanji tidak menggusur saat kampanye, namun saat jadi gubernur menggusur tanpa ampun tidak mereka anggap sebagai noda dari sebuah idealisme.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Memang cara orang bermutu dan kurang bermutu menghadapi perbedaan, berbeda. Cara pertama membuka ruang dialog sementara yang kedua memilih menutupnya rapat-rapat. Entah tabiat siapa yang mereka ditiru. Mungkin tabiat sang gubernur jenderal yang lebih suka menurunkan sardadu agar warganya takut dan rela digusur dari pada membujuknya dengan dialog.

Namun dari semua itu, hanya satu soal yang tidak mereka kritik dari kedatangan Anies ke Patamburan, yaitu sikap tegas Anies yang akan hentikan Reklamasi Teluk Jakarta, sebuah proyek serakah nan tamak dan telah dinobatkan KPK sebagai proyek penuh dusta dan terindikasi kuat ada grand corruption di sana. Mereka juga enggan membahas sikap FPI yang juga menolak reklamasi. Kalau soal ini bukan hanya mendukung Ahok, para cerdikpandai, para aktivis lingkungan juga enggan memberikan apresiasi atas sikap FPI ini.

Sikap banyak orang Jakarta soal Reklamasi Teluk Jakarta ini memang unik. Band legandaris yang kepeduliannya begitu luar bisa terhadap lingkungan hidup dan juga anti korupsi juga engganberkomentar, malah mendukung sang petahana yang begitu ngotot hingga harus menunjukkan urat leher untuk melanjutkan reklamasi. Padahal Reklamasi Teluk Benoa mereka ikut menolak. Jangan tanya kelas menengah, penggusuran saja mereka tepuk tangan kok.

Tapi jika ingin coba memahami kenapa mereka bisa seperti ini, karena keberhasilan Ahok mencitrakan dirinya sebagai satu-satu tokoh di Indonesia yang paling bersih, menjadi pendekar dan musuh serta mimpi buruk para koruptor (walau saat ditantang pembuktian terbalik untuk hartanya dia mengeles). Saking cemerlang memainkan isu korupsi ini, Pemprov DKI yang dipimpinnya membeli tanah miliknya sendiri seluas 4,6 hektare di Cengkareng Barat senilai Rp648 miliar ditambah pajak Rp 20 miliar. Persoalan-persoalan kayak gini mereka tak tampak, mungkin karena julukan pujaan mereka yaitu Sang Cahaya Fajar Rembang Pagi yang sinarnya terang, tetapi menyilaukan banyak orang yang ingin melihatnya. Cahaya tersebut begitu terang,  sehinggat tidak ada yang bisa menahannya.

Makanya jangan heran kenapa dulu Soeharto bisa bertahan 32 tahun, karena dia oleh pemujanya dianggap satu-satunya yang bisa menyelamatkan Indonesia dari komunis dan menjadi satu-satunya orang Indonesia yang punya kemampuan menyejahterakan rakyat seantero negeri. Setiap pengkritiknya, oleh pemujanya akan dicap pengkhianat dan musuh bangsa. Kalau sekarang di cap pro koruptor, intoleren, rasis, anti kebinekaan, dan anti-anti yang lain. #

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun