Mohon tunggu...
Oddi Arma
Oddi Arma Mohon Tunggu... profesional -

menulis apa yang dilihat, rasa, dan dengarkan @odiology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebangetan Nasional: Harkitnas Cuma Seremoni

20 Mei 2013   14:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:18 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_262505" align="aligncenter" width="620" caption="Pekik Merdeka (salah satu patung di sudut Monas)/Sumber : Dok. PribadiOddi Arma"][/caption]

Setiap memasuki bulan Mei, kata "bangkit" menjadi akrab di telinga kita. Kata bangkit bergema dari balik ruang-ruang diskusi mahasiswa, dari mulut tokoh-tokoh nasional dan pimpinan parpol, juga dari lembaran pidato-pidato pejabat negara. Namun setelah bulan Mei lewat, kata bangkit mulai redup, sayup, kemudian menghilang.

Bangsa ini memang sangat suka dengan moment-tepatnya memanfaatkan momen-untuk merayakan "kejayaan masa lalu" sebagai pengobar semangat. Cuma pengobar semangat, jarang yang menjadikan momentum-memontum penting perjalanan bangsa ini sebagai pecut untuk mencambuk anak bangsa untuk bangkit, berdiri dan lari.

Lama dijajah, diinjak dan dijadikan budak, benar-benar menjadi bekas yang susah hilang dari ingatan bangsa kita. Terbiasa tunduk saat menatap para penjajah yang berkulit beda, terbawa sampai sekarang. Terbiasa selalu diperintah dan tidak punya percaya diri menentukan nasib bangsanya sendiri juga terikut sampai sekarang. Dan yang paling parah, karena sudah terbiasa kekayaan alamnya dijarah, bangsa ini juga tidak berdaya saat aset-aset pentingnya dijilati oleh lidah bangsa lain.

Kalau pada masa penjajahan, sebagian besar anak bangsa ini melawan terhadap penindasan dan pengerukan kekayaan negeri ini, tetapi sekarang anak-anak negeri ini sangat bangga bisa bekerja pada korporasi-korporasi asing yang menggerus isi bumi kita. Bekerja di perusahaan internasional dengan gaji yang fenomenal, telah membuat mereka menjadi jelmaan para penguasa-penguasa nusantara dulu, yang lebih memilih bekerjasama dengan para penjajah yang menindas rakyatnya demi harta dan kelenggengan kekuasaan.

Kenapa sudah menjelang 68 tahun merdeka, sifat-sifat menghamba ini terus melekat, bahkan sudah seperti menjadi bayangan, yang selalu mengikuti kemana saja langkah negeri ini. Kenapa mental inlander terus saja menjadi blunder perjalanan bangsa ini? Bukankah perjuangan terbesar para founding father dan pejuang bangsa ini adalah merubah mindset (pola pikir) rakyatnya yang selalu merasa lebih rendah, bodoh, takut, tidak percaya diri dan bermental menghamba.

Dalam setiap perayaan Hari Kebangkitan Nasional, semua eleman masyarakat menyuarakan agar Indonesia bangkit dari tidurnya, bangkit dari keterpurukannya. Namun slogan-slogan dan teriakan semangat itu sama seperti buih di lautan selama anak-anak negeri ini masih punya mental inlander, mental menghamba.

Tulisan ini, bukan untuk menyuarakan anti asing dan menolak segala kerjasama dengan negara lain. Namun, hanya coba mempertanyakan apakah segala bentuk kerjasama dengan korporasi-korporasi asing yang dijalin selama ini menguntungkan bangsa ini? Kata kerjasama juga perlu dikritisi ulang, karena selama ini bentuknya lebih mirip pelayanan hamba kepada tuannya.

Saat ini, Indonesia bukan hanya harus bangkit, tapi harus membuat lompatan jauh ke depan. Negeri ini harus berani mengambil dan menguasai sesuatu yang memang haknya. Tanah air ini ada, kerena sebuah perjuangan panjang dengan lautan keringat, darah dan air mata. Kita berhak atas apa saja yang ada di negeri ini, bukan orang lain.

Selama ini nasionalisme kita masih sebatas marah dan tersinggung kalau tarian, nyanyian, atau makanan kita diklaim oleh negara lain. Namun, ketika tangan-tangan asing mengusai kekayaan negeri ini, nasionalisme kita sama sekali bisu. Malah dengan senang hati kita menjadi kaki tangan korporasi-korporasi raksasa lanjutan penjajah-penjajah dulu.

Bangsa ini harus bisa melepaskan "rantai gajah" dan "kotak korek api" ketidakpercayaan diri, merasa rendah, bodoh, mentalitas inlander yang sudah merasuk sampai ke tulang sum-sum. Keberanian adalah kata kunci untuk melakukan lompatan ke depan. Para pemimpin negeri inilah yang harus memulai menularkan rasa percaya diri ke rakyatnya, dengan bersikap berani mengambil kembali apa-apa saja yang sebenarnya menjadi hak rakyat. Berani dan percaya diri, kalau kita mampu mengelola kekayaan negeri ini secara berdikari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun