Mohon tunggu...
Oddi Arma
Oddi Arma Mohon Tunggu... profesional -

menulis apa yang dilihat, rasa, dan dengarkan @odiology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Beratnya Beban Pantura

17 Juli 2014   21:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:02 914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.



[caption id="attachment_315756" align="aligncenter" width="620" caption="Jalur Pantura. sumber: tempo.co"][/caption]

Di Indonesia, Jalur Pantai Utara Jawa (Pantura) adalah jalan nasional yang paling terkenal bahkan fenomenal terlebih menjelang arus mudik dan balik Lebaran. Jalan ini menjadi perbincangan hangat di rapat kabinet, menjadi headline media massa, sampai obrolan di warung-warung kopi. Itulah Pantura, jalan yang tahun 2014 ini menapaki usianya yang ke-206 tahun ini, sejak dibangun hingga sekarang memang banyak menyimpan cerita.

Sebagain besar Jalan Pantura yang ada saat ini adalah bekas jalan Anyer – Panarukan yang dibangun pada masa Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36 yang memerintah antara tahun 1808–1811. Jalan yang kala itu lebih dikenal dengan nama Jalan Raya Pos (De Grote Postweg)—jalan ini sangat penting memperlancar komunikasi antardaerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa melalui surat—dibangun untuk pertahanan militer Belanda mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggris. Dalam perkembangannya, jalan sepanjang 1.000 kilometer yang hanya dibangun selama setahun (1807-1808) menjadi denyut aktivitas ekonomi untuk menunjang sistem tanam paksa saat itu. Dengan adanya jalan ini hasil bumi dari Priangan lebih mudah dikirim ke pelabuhan di Cirebon untuk selanjutnya dibawa ke negeri kincir angin. Perjalanan darat dari Batavia-Surabaya yang harus menempuh 40 hari perjalan dipangkas hanya menjadi tujuh hari dengan hadirnya jalan ini. Namun, sejarah juga mencatat bahwa pembangunan jalan ini harus dibayar oleh nyawa ribuan penduduk pribumi karena dibangun dengan sistem kerja rodi.

Denyut Nadi Ekonomi yang Kelebihan Beban

[caption id="attachment_315757" align="aligncenter" width="300" caption="Kemacetan di Jalur Pantura. sumber : http://ntmc-korlantaspolri.blogspot.com"]

14055827101396738177
14055827101396738177
[/caption]

Dalam perkembangannya, Jalan Lintas Utara Jawa sepanjang 1.182 km yang membentang sepanjang Pantai Utara Jawa (Banten sampai Banyuwangi) ini menjadi denyut nadi ekonomi tidak hanya pulau Jawa, tetapi Indonesia. Sebab, hampir 85 persen kelancaran distribusi barang dan jasa nasional ditentukan di jalur jalan ini. Dari jalan inilah mayoritas kebutuhan masyarakat, mulai dari kebutuhan pokok sampai hasil kerajinan dan industri bergerak atau didistribusikan sebelum sampai ke tangan pembeli.Sebagai informasi, arus lalu lintas dan logistik melalui akses infrastruktur darat di Pulau Jawa mencapai 90 persen. Dari jumlah itu, sekitar 85 persen menggunakan jalan nasional Pantura dan lima persen memakai jalur kereta api. Akibatnya, Pantura kelebihan beban.

Setidaknya ada dua permasalahan yang saat ini dihadapi pada jalan Pantura yaitu kapasitas dan daya dukung jalan yang sudah mencapai titik jenuh (over capasity dan overload). Idealnya Pantura dilewati 1.600 satuan mobil penumpang. Namun, faktanya berapakah kendaraan yang lewat? 40 ribu sampai dengan 45 ribu kendaraan per hari!! Dengan jumlah kendaraan 45 ribu per hari, tingkat kejenuhan mencapai 1,3. Padahal idealnya,kejunuhan jalan Pantura 0,4 sampai dengan 0,6. Inilah kenapa, begitu ada gangguan sedikit saja, jalur Pantura langsung macet total.

Lebih parahnya lagi, volume kendaraan yang melintas justru berupa kendaraan berat yang melebihi tonase. Padahal, jalan ini didesain untuk dilalui kendaraan dengan muatan sumbu terberat (MST) sebesar 10 ton. Faktanya lagi, ternyata banyak kendaraan dengan MST hingga 90 ton yang melintas jalan ini. Tentunya kondisi ini sudah pasti memperpendek usia jalan Pantura. Untuk daya beban, truk yang lewat berdasarkan pemantauan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU, dalam lima tahun terakhir iniyaitu 125 juta eqivalen standar exeload. Ini berarti, daya dukung jalan di Pantura sudah mencapai dua sampai tiga kali beban lalu lintas yang lewat dalam waktu lima tahun terakhir ini. padahal, seharusnya hanya sepertiga beban lalu lintas yang lewat.

Perbaikan Hanya Menjelang Lebaran?

Uraian diatas diharapkan dapat menjawab masyarakat yang bertanya-tanya kenapa perbaikan jalur Pantura berlangsung terus menerus sepanjang tahun seakan tidak ada habisnya, terutama menjelang lebaran. Beratnya beban yang harus ditanggung jalan Pantura inilah yang bisa menjadi jawaban pertanyaan banyak orang kenapa jalan pantura selalu rusak padahal selalu ada perbaikanbahkan ada anggapan proyek ini tambal sulam.

[caption id="attachment_315758" align="aligncenter" width="300" caption="Kerusakan jalan di Jalur Pantura. sumber: tempo.co"]

1405582853121582747
1405582853121582747
[/caption]

Selain itu, yang harus dipahami adalah konstruksi badan jalan pantura sudah cukup tua dan sebagian diantaranya belum tersentuh rekonstruksi. Sementara, perbaikan yang dilaksanakan masih sebatas pada lapisan perkerasan, belum menyentuh badan jalan.Hal ini menyebabkan kapasitas daya dukung menurun dengan sendirinya. Selain itu, tanah dasar yang berupa endapan atau rawa menyebabkan badan jalan sangat rentan terhadap air tanah. Lokasi perbaikan Jalur Pantura juga sebenarnya selalu berpindah. Namun memang masyarakat melihatnya perbaikan jalan nasional di Pantura seolah-olah dilakukan berulang-ulang, padahal tidak.

Selama kondisi di atas masih berlangsung dan tidak ada pengawasan tegas dari pihak berwenang terhadap kendaraan bertonase melebihi kekuatan jalan, maka Pantura akan terus seperti ini. Selama tujuan arus barang dari dan ke Tanjung Priok, semua lewat Pantura, maka selama itu juga kita akan menyaksikan kerusakan di beberapa titik Pantura dan selama itu juga akan terus dilakukan perbaikan karena jalur Pantura adalah denyut nadi ekonomi yang jika terjadi sumbatan lalu lintas, sudah pasti akan mengganggu roda ekonomi nasional.Pemeliharaan kelayakan alur Pantura Jawa sangat penting dalam mendukung perputaran roda perekonomian nasional.

Seperti kita tahu, Pantura merupakan jalur yang difavoritkan para pengemudi baik saat mudik lebaran maupun di luar musim lebaran untuk melakukan perjalanan terutama dari arah Jakarta menuju ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain karena jalannya yang lebar dan datar jika dibandingkan dengan jalur selatan pulau Jawa, jalur Pantura merupakan jalur utama yang menghubungkan kota-kota besar seperti Jakarta, Cirebon, Tegal, Semarang, sampai ke Surabaya.

Membagi Beban Pantura

[caption id="attachment_315760" align="aligncenter" width="600" caption="peta jalan tol trans jawa (setkab.go.id)"]

1405583458436805956
1405583458436805956
[/caption]

Selain digunakan sebagai jalur utama transportasi umum, Pantura juga merupakan jalur utama bagi penyaluran atau distribusi logistik yang menggunakan kendaraan berat. Penumpukan kenderaan pada saat arus mudik dan juga arus balik sudah dapat dipastikan berbuah kemacetan di jalur Pantura.

Selama Pantura masih menjadi satu-satunya tumpuan kita melintasi Pulau Jawa maka persoalan kerusakan dan kemecatan akan terus terjadi. Ide betonisasi Jalur Pantura yang sempat mencuat masih harus dikaji kembali keefektifannya. Selain mahal, apakah betonisasi daya dukung jalan Pantura bisa menjamin tidak terjadi kemecatan akibat penumpukan volume kendaraan. Umur jalan mungkin lebih lama tetapi jalur pantura tidak akan bertambah luas karena penambahan lajur tidak mungkin dilakukan di sepanjang jalur ini.

Memang, sebagai jalan nasional,jalur Pantura yang panjang seharusnya diiringi dengan pembatasan akses. Namun hal ini tidak bisa dilakukan mengingat Pantura menjadi tumpuan kelancaran kegiatan ekonomi nasional. Oleh karena itu, konsep penanganan Panturapun harus sistemik untuk alokasi distribusi beban.

Salah satu solusi membagi beban pantura adalah harus ada alternatif jalur transportasi lain misalnya jalan tol dan kereta api. Andai saja proyek pembangunan 24 jalan tol Trans Jawa tahun ini selesai maka jalur Pantura dari Jakarta ke Surabaya akan terhubung jaringan jalan tol, dan ini akan membagi beratnya beban yang harus ditanggung Pantura. Rencananya, ada sembilan dari 24 ruas jaringan jalan tol Trans Jawa itu yang melintasi Pantura, yakni Cikampek-Palimanan, Pejagan-Pemalang, Pemalang-Batang, Batang-Semarang, Semarang-Solo, Solo-Ngawi, Ngawi-Kertosono, Kertosono-Mojokerto, dan Mojokerto-Surabaya. Jalan tol Trans Jawa dinilai dapat mengurangi beban jalan Pantura hingga 60 persen.

Namun, karena terkendala pembebasan lahan, sampai saat ini, proyek-proyek ruas Tol Trans Jawa belum juga selesai. Dalam 10 tahun terakhir ini, hanya ruas tol Cikampek-Palimanan yang hampir rampung.

[caption id="attachment_315761" align="aligncenter" width="300" caption="Pengerjaan rel ganda kereta apa Pulau Jawa (kompas.com)"]

14055835511639700117
14055835511639700117
[/caption]

Beban Pantura juga akan semakin berkurang, andai saja jalur ganda (double track) kereta api di Jawa bisa teralisasi dalam waktu dekat ini karena akan akan merelokasi beban logistik dari kendaraan trailer ke kereta api. Hingga Juli 2014 ini belum ada kabar apakah pengerjaan jalur ganda kereta api dari Jakarta-Surabaya ini sudah rampung dan bisa digunakan saat lebaran.

Jika saja dua pembangunan infrastruktur ini lancar, maka tidak lama lagi beban Jalan Nasional Pantura yang paling terkenal dan fenomenal ini akan berkurang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun