Mohon tunggu...
Odilia Astuti Wijono Banjuradja
Odilia Astuti Wijono Banjuradja Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

I'm not lucky - I'm so blessed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sin Cia dan Gerimis Pagi Hari

2 Februari 2011   16:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:57 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_88702" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Malam ini, kami sekeluarga, saya, suami, dan dua jagoan kami makan malam bersama. Di luar sana, keluarga-keluarga tionghoa sedang berpesta, mereka berkumpul bersama keluarga besar mereka masing-masing. Ya, malam ini adalah malam tahun baru - kami menyebutnya Sin Cia. Perayaan awal musim semi di daratan Tiongkok sana, yang tradisinya begitu kuat dipegang dan dilestarikan, bahkan ketika orang-orang tionghoa hidup di tanah rantau, bahkan sampai generasi sekarang, yang de facto dan de yure sudah tidak ada hubungan lagi dengan tanah leluhur. Tiba-tiba pikiran saya kembali ke masa kecil saya. Keluarga saya dulu tinggal di suatu kota kecil di Jawa Timur, namanya Wlingi, sebuah kota Kawedanan (lebih besar dari kecamatan) di Kabupaten Blitar. Di bawah represi rezim orde baru, orang tionghoa merayakan Sin Cia dalam diam. Tidak ada petasan, tidak ada silaturahmi, tidak ada jor-joran hiasan rumah, seperti lampion dan hiasan serba merah lainnya, tidak ada baju baru, juga tidak ada angpo (ini yang saya sesali). Semuanya berjalan seperti tidak terjadi apa-apa, tapi entah kenapa, saat ini saya merasa rindu untuk kembali ke sana, ke masa kecil saya, di dekade 70an dan 80an. Memang kami merayakannya dalam diam, tetapi saya justru bisa merasakan kekhusukannya. Di malam tahun baru seperti ini, makanan berlimpah ruah di rumah kami. Meskipun kami tidak merayakannya, dalam arti tidak ada acara sembahyang leluhur di rumah kami. Tetangga kiri kanan mengirimi kami dengan aneka penganan, sama ketika hari Natal, Ibu saya akan membagi kue bikinannya ke tetangga kami. Kami menyebutnya sebagai ater-ater. Tradisi saling mengirim makanan di hari raya masing-masing keluarga dibawa dalam tenong (seperti rantang berukuran besar) bersusun. Juga kami mendapat limpahan 'berkat' dari adik laki-laki Nenek saya, saya memanggilnya Ku Kong. Ku kong, sebagai anak laki-laki tertua dalam keluarga Nenek, mempunyai kewajiban untuk memelihara abu leluhur. Yang dimaksud abu di sini bukan abu jenasah, tetapi abu dari hio yang dibakar di altar sembahyang secara turun temurun. Untuk keluarga Kakek, abu dipelihara oleh kakak tertua beliau, kami memanggilnya Kong De, beliau tinggal di Blitar. Dengan memelihara abu, otomatis mereka punya kewajiban untuk mengadakan sembahyangan di hari ini, sehari sebelum Sin Cia. Saya ingat, banyak sekali yang disajikan di meja sembahyang. Yang wajib ada adalah SAM SENG - tiga macam masakan yang mewakili semua jenis hewan. Ada babi sebagai wakil hewan di darat berkaki empat, ada ayam mewakili hewan udara dan Ikan (biasanya bandeng) sebagai hewan air. Juga aneka masakan lainnya, berbahan dasar rebung, tahu, sayur, telur, misoa, semuanya sembilan macam. Buah-buahan pasti tidak ketinggalan - rambutan (dari kebun Ku Kong sendiri yang legit dan garing) dan lengkeng sebagai lambang kebahagiaan (rambutan berwarna merah) dan kemuliaan (lengkeng yang berwarna kuning); pisang raja yang dihias rumbai-rumbai kertas krepe warna merah; jeruk bali, juga berhias pita dari kertas krepe, lagi-lagi harus berwarna merah; bukan apel merah dan jeruk kuning seperti sekarang, karena waktu itu buah-buah tsb sangat mahal dan sulit sekali didapatkan. Ada tebu, ada manisan, ada kue-kue yang terbuat dari ketan - lemper, kue ku warna merah,kue mangkok, dan wajik. Dan sebagian dari sesajian ini sudah dikirim ke rumah kami sebelum waktu sembahyang, karena keluarga kami Kristen, Ku Kong menghormati kami dengan tidak mengirim sisa sembahyang. Oh ya, kami semua tanpa kecuali, membersihkan rumah masing-masing, juga mengapurnya (memang pakai kapur, bukan cat, paling banter pakai oker warna hijau telur asin atau kuning), sekitar seminggu sebelum Sin Cia. Cuma persiapan yang sederhana, supaya rumah bersih. Tetangga saya mulai menyusun uang kertas untuk dikirim ke leluhur. Uang-uangan ini dibuat dari kertas merang yang ada semacam stempel warna perak ditengahnya, dilipat berbentuk seperti uang tiongkok kuno, dirangkai dengan benang bersusun-susun, banyak sekali. Semakin banyak semakin baik, supaya leluhur mereka tidak kekurangan di alam sana. Saya senang membantu membuatnya, pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Tidak ada pagar, tidak ada pintu yang tertutup, karena kami tinggal di sebuah jalan yang dulunya disebut kampung famili - semua yang tinggal di situ adalah keluarga kami. Tetapi lambat laun satu dua 'orang luar' menjadi tetangga kami. hampir semua penghuni jalan ini membuka toko. Semua anak bisa dan boleh keluar masuk rumah orang tanpa merasa sungkan. Paginya,  wangi hio dan bau uang kertas dibakar semerbak memenuhi udara. Ini bagian yang saya suka! Tetangga sebelah rumah, kakak beradik yang membujang sampai tua. Kakak tertua namanya Pek (panggilan untuk laki-laki yang lebih tua dari ayah, karena dianggap kakak ayah) Liong Kie, salah satu adiknya Tante It. Tante It ini rupanya yang bertugas membakar uang, karena hanya dia yang dari tahun ke tahun yang melakukan ritual ini. Setiap kali dia membakar uang kertas, sambil mulutnya komat-kamit berdoa, matanya tak henti melirik  ke atas, ke langit. Saya dan kakak-kakak saya suka memperhatikan ini. Rupanya dia menantikan mendung dan gerimis di pagi hari Sin Cia. Katanya, jika turun gerimis - bukan hujan, di pagi hari, sepanjang tahun yang akan datang kami akan berlimpah berkat (baca: rejeki). Suatu pagi  Sin Cia, matahari begitu garang bersinar, tidak ada tanda-tanda mendung datang, apa lagi gerimis. Tante It ini gelisah sekali, keluar masuk rumah, mendongak ke langit, sedikit ngomel, masuk lagi ke rumah, sebentar sudah keluar lagi. Koko saya keluar isengnya. Tiba-tiba dia teriak keras-keras, "Gerimis!  Gerimis!". Sontak Tante It keluar tergopoh-gopoh, menjulurkan tangannya, dan mendongak ke langit yang terang benderang! "Bocah kurang ajar! nggodoi (menggoda) orang tua! kualat kamu!" Dan sumpah serapahnya keluar tak terbendung.  Tapi herannya dia tidak kapok juga. Tetap mondar-mandir untuk mengecek gerimis. Dan Koh De tetap juga jail menggoda dia. Ternyata, yang menantikan gerimis di pagi Sin Cia bukan hanya Tante It, hampir semua orang mempercayai gerimis di pagi Sin Cia akan membawa banyak rejeki.  Dan Jika terjadi kebalikannya, matahari bersinar terang dan udara panas sekali, ini pertanda kehidupan di tahun yang akan datang akan menjadi berat. Rejeki akan sulit didapat. Bagaimana kalau turun hujan deras ditambah dengan angin ribut dan petir? Ini adalah firasat buruk! Hidup akan penuh cobaan dan mara bahaya. Mereka sangat mempercayai tanda-tanda langit ini dan merasuk sampai ke jiwanya. Menurut Ibu saya, justru apa yang mereka pikirkan itu yang akan terjadi. Yang paling benar sebetulnya adalah kerja keras dan berserah diri pada Allah. Hari ini di kota saya turun gerimis di pagi hari dan hujan lumayan lebat menjelang sore hari. Saya berharap besok akan turun gerimis pagi-pagi (meskipun ini berarti cucian dua hari tidak kering). Bukan karena saya ikut-ikutan percaya dengan sugesti ini, saya menanti gerimis lebih karena saya sedang rindu orang-orang tersayang saya, juga mereka yang saya kenal di masa kecil saya; Emak, Engkong, Papie, Cek De, Ku Kong, Kong De, semua leluhur saya yang sudah kembali ke alam sana, Tante IT, Pek Liong Kie, dan semua tetangga saya, yang sedikit banyak ikut membentuk karakter saya. Semoga arwah mereka bahagia dan sejahtera di sana. Kiong Hie, semoga semua berkat terbaik berlimpah atas kita semua, kesehatan, kesejahteraan, kebahagiaan, kesuksesan, KIONG HIE!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun