Sayangnya organisasi profesi guru yang ada, tidak banyak menyentuh seluruh aspek perawatan  ’maintenance’ guru. Hanya mengambil beberapa peran yang dominan saja. Sebab faktanya orprof yang ada hanya terlihat fokus pada kesejahteraan guru semata, guru masih dianggap akan baik jika kesejahteraan guru diutamakan, sebagaimana tuntutan guru. Kenyataannya, suatu tanaman jika dianggap berkualitas dan sehat, tidak hanya dilihat dari kesuburan pertumbuhannya atau hijau daunnya, tetapi dilihat juga seberapa jauh kualitas tanaman tersebut, apakah layak dikonsumsi atau tidak bisa saja menjadi racun yang mematikan.
Kendala lainnya adalah biaya pelatihan guru, yang selalu mengandalkan iuran para anggota dan orprof yang ada terkesan menjadi alat atau diperalat oknum pemerintah daerah sehingga yang terjadi beberapa pelatihan guru mandek karena politisasi birokrasi yang otomatis membuat guru bimbang apakah harus mandiri ataukah harus mengikuti cara oknum pemda mengarahkan para guru sejalan dengan kinerja pemdanya ataupun jika terpaksa mandiri, sudah pasti tidak mendapat dukungan, ini sudah sering terhadi di beberapa daerah, termasuk di Maluku.
Beberapa pemda mungkin juga tidak mensuport pendanaan yang kontinyu dan terungkap sangat terbatas, padahal pendanaan dari APBN dan APBD 20% yang terbilang cukup bisa menopang segala kegiatan peningkatan mutu guru di berbagai daerah. Ujung-ujungnya adalah berbagai program pendampingan guru dan peningkatan kualitas yang dimotori oleh orprof tidak berjaan maksimal karna hanya mengandalkan dana yang terbatas atau dibatasi.
Regulasi Organisasi Profesi Guru
Amanat undang-undang guru dan dosen pasal 41 menyatakan setiap guru wajib bergabung pada organisasi profesi, untuk meningkatkan karir dan mutu guru. Setiap tanaman yang akan dirawat, dimungkinkan menggunakan perawatan dengan cara atau pupuk apapun, tidak saja hanya pada merek tertentu. Demikian juga organisasi profesi guru. Sayangnya ruh undang-undang ini tidak tersosialisasi dengan baik sehingga yang terjadi di lapangan, hanya didominasi oleh organisasi dengan merek tertentu. Demikian juga terjadi pada tanaman, yang kadang sulit menentukan pilihan pupuk perawatan, karna yang tersedia hanya ada dengan merek tertentu.
Padahal Pemerintah pusat telah melegalkan beberapa organisasi profesi yang pantas mendampingi profesi guru dalam meningkatkan mutu dan profesinya. Setidaknya ada 6 organisasi profesi yang terakhir diakui bahkan sempat diundang pemerintah dalam hal ini kemendiknas dalam berbagai kegiatan untuk membahas upaya peningkatan mutu, di antaranya , PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), PERGUNU(Persatuan Guru Nahdatul Ulama), PGSI (Persatuan Guru Seluruh Indonesia), FGSI (Federasi Serikat Guru Seluruh Indonesia), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII).
Dari sekian banyak organisasi guru hanya PGRI dan IGI lah yang kini memiliki kepengurusan pusat hingga daerah, karna organisasi profesi guru lainnya tidak membuka perwakilannya di seluruh daerah dan haya berkonsentrasi penuh pada kantong kantong pendidikan di wilayah popinsi tertentu.
Ikatan Guru Indonesia (IGI)
Ikatan guru Indonesia lahir dimotori oleh beberapa guru yang berkonsen pada peningkatan kualitas, inisiasi awal IGI bermula ketika dibentuknya klub Guru yang berkonsen pada peningkatan kualitas guru melalui pelatihan dan pendampingan guru. Setelah disahkan oleh pemerintah melalui SK Depkumham Nomor AHU-125.AH.01.06.Tahun 2009, tertanggal 26 November 2009. IGI, diharapkan menjadi wadah para guru agar bisa mengubah dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada pihak lain dan sekaligus bersiap menjadi lokomotif penggerak perubahan bagi bangsa.
Dengan motto "Sharing and Growing Together", Ikatan Guru Indonesia akan menjadi komunitas yang tepat bagi para guru dan siapa saja yang tertarik dan peduli pada pentingnya memajukan dunia pendidikan dan keguruan.
Perwakilan IGI kini hadir di 34 propinsi di Indonesia, bukan saja di ibu kota propinsi tapi semangat guru IGI telah hadir di berbagai kabupaten kota hingga pelosok desa. Termasuk sebagian besar wilayah Indonesia Timur.