Mohon tunggu...
Ode Abdurrachman
Ode Abdurrachman Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Trading Blogger - Pemerhati Pendidikan | Ketua IGI Provinsi Maluku | Ketua Dikdasmen PDM Kota Ambon Guru, Pengajar, aktivis Muhammadiyah Kota Ambon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Memaknai Kembali Masohi Sebagai Orang Masohi; Renungan di Haul Kota Masohi ke-56, 3 Nopember 2013

27 Oktober 2013   17:12 Diperbarui: 4 April 2017   17:58 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memaknai kembali masohi sebagai orang Masohi;

Renungan di Haul kota Masohi ke 56,

(3 Nopember 1957 - 2013)

Ode Abdurrachman

odeabdurrachamn@yahoo.com

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Mungkin tesis saya berikutnya bahwa masohi sebagai simpul gotong royong masyarakat maluku, sangat terancam akibat didominasi oleh kelompok kapitalis. Siapa yang mendanai dan memiliki dana maka berhak atas masohi. Padahal masohi sejatinya adalah pendobrak sekat kelas sosial yang mampu merekatkan multikelas sosial dan golongan yang ada di tengah masarakat Masohi.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

13834480281965851723
13834480281965851723

Adalah Masohi, kata yang begitu segar di ingatan kita orang Maluku ketika menyebutnya. Sebab kata Masohi ini identik dengan ibu kota kabupaten Maluku Tengah, yang kini digadang-gadang akan mengganti ibu kota propinsi Maluku kota Ambon. Kota propinsi sebuah kota kecil yang berdiam asri di bagian Selatan pulau Seram, dengan semboyan kota gotong royong; yang diambil dari  padanan kata yang berarti kerjasama atau kerja bersama-sama yang dalam Istilah sehari-hari kita dikenal dengan Gotong Royong, serapan bahasa Jawa yang berati gotong=angkat dan Royong=bersama-sama.

Kota Masohi yang kini berusia 56 tahun sejak dibangun pada tahun 1957 yang diresmikan lewat peletakan batu pertama oleh sang proklamator peresiden pertama RI Ir. SOEKARNO, dengan harapan kota ini dibangun dengan kerjasama semua pihak dan memanfaatkan potensi bersama tentu bermanfaat bagi semua dengan semangat masohi.

Jika dikonversi ke usia manusia maka 56 tahun adalah usia yang sudah sangat dewasa dan matang, baik dalam berfikir, bertindak dan bermanfaat bagi sesama. Sayangnya sampai hari ini Masohi masih berkutat dengan masalahnya sendiri. Dari masalah pasar, terminal, penataan kota, pelabuhan udara, pelabuhan laut, pertanian, perikanan, hingga ke ekonomi masyarakat, inflasi yang tinggi, penegakkan hukum keadilan kesejahteraan, masih belum banyak yang terpuaskan dengan masalah ini. Belum lagi minim investasi, minim lapangan kerja, sehingga jika dilihat suasana kota Masohi secara umum tidak maju-maju.

13834478991808322968
13834478991808322968

Seiring bergulirnya waktu, dan berganti kepemimpinan dari satu masa masa ke masa lainnya, tidak banyak yang berubah, selain eforia pergantian kepemimpinan yang cukup menyita waktu dan energi warga kota. Sebenarnya Kota Masohi tidak banyak yang berubah. Mungkin dari sisi wajah kota di tengahnya berdiri sebuah bangunan yang disebut Plaza Masohi (Maplaz) tapi tidak juga berstandar seabgai palza  dengan pusat perbelanjaan lengkap namun cenderung terbatas. Di bagian selatan plaza ada terminal yang tidak teratur, hukum lalu lintas yang hanya berlaku setengah hari. Warganya cukup jenuh dengan keadaan ini, sehingga lebih mencari nuansa baru dengan mendatangi tempat-tempat melepas kejenuhan sebagai wisata yang meskipun jauh di bagian utara Seram, atau mau capek-capek datang ke ‘air terjun’, padahal hanya air yang meluber, ini semua karena Masohi tidak lagi menjanjikan apa yang dikatakan Masohi beberapa puluh tahun lalu, yakni kota beriman (bersih indah dan mantap), tentu harapannya bahwa bukan hanya ‘beriman’ di pandangan mata, tapi ’beriman’ di hati dan perasaan, bahwa orang masohi harus nyaman tinggal di masohi bukan sekedar aman.  Yang jelas Masohi dalam pandangan penulis sebagai warga kota yang sudah sejak 15 tahun di kota Masohi, tidak nampak banyak ada yang berubah termasuk merubah nasib kebanyakan warga Masohi yang kini didiami oleh ragam budaya dan etnis, juga agama.

Masohi yang semula hanya sebagai sebutan slogan dan menjadi nama kota dalam realitanya tergerus dan terkikis dari masa ke masa.  Kini makna gotong royong seakan hanya tampil sebagai simbol formal terlebih lagi dalam acara seremonial, karena tidak lagi dimaknai sebagai masohi sebagai panggilan jiwa dan kewajiban sosial warga Maluku khususnya Maluku Tengah yang muncul karena kesadaran sendiri untuk hidup berdampingan dan bahu membahu bekerja bersama orang lain di sekitarya.

Meskipun masih tetap nampak dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, kegiatan masohi kini tidak banyak mendapat perhatian luas, kalaupun ada hanya sebatas bertahan pada komunitas dan kelas masyarakat tertentu. Misalnya komunitas masyarakat adat dan kelas masyarakat formal.

Dalam komunitas masyarakat adat tertentu, makna gotong royong masih menjadi perekat dan simbol pemersatu yang utama, hal ini bisa dilacak dalam berbagai bentuk aktivitas dan kegiatan masyarakat adat, lihat saja misalnya istilah masohi selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat adat, dan aktivitas mayarakat adat, dari melakukan kegiatan membagun rumah adat, sarana peribadatan hingga kegiatan adat lainnya.

Tetapi dalam kelas mayarakat perkotaan, masohi kemudian hadir sebagai simbol formal yang didisain untuk kepentingan tertentu, kenyataannya berbagai kegiatan masyarakat perkotaan yang terbungkus kegiatan masohi selalu muncul karena instruksi atasan, tekanan penguasa dan bukan atas kesadaran tertentu. Lihat saja berbagai kegiatan pembangunan sarana prasarana dan fasilitas umum yang membutuhkan kerja gotong royong, masyarakat yang hadir bukan lagi karena suka rela, tapi karena tekanan bukan panggilan jiwa. Mereka masih harus diberikan perintah menggunakan pelantang suara (loundspeakers) untuk hadir melakukan masohi bukan atas kesadaran sendiri, mereka yang hidup di tegah kota Masohi harus dikondisikan pada situasi tertentu bahkan ironisnya harus diberitahu berulang ulang untuk berperan aktif dan terlibat langsung dalam kegiatan masohi, bukan muncul dari kesadaran dan panggilan pribadi.

Parahnya lagi dari pengamatan penulis jika masohi yang kita kenal adalah kegiatan yang membumi antara masyarakat multikelas, atau seluruh golongan, di beberapa kegiatan masyarakat, kota Msohi, masohi kini didominasi pada peran kelas masyarakat tertentu yang berkantong tebal. Tetapi jika kita datangi masohi pada kelas masyarakat bawah atau ekonomi lemah, inisiatif masohi tidak banyak mendapat perhatian. Lihat saja kegiatan masohi di tengah kota, hanya ada pada kelas mayarakat ekonomi kelas menengah ke atas,  akan sangat berbeda keterlibatan kalangan ekonomi menengah ke atas.

Sehingga mungkin tesis saya berikutnya bahwa masohi sebagai simpul gotong royong masyarakat maluku, sangat terancam akibat didominasi oleh kelompok kapitalis. Siapa yang mendanai dan memiliki dana maka berhak atas masohi. Padahal masohi sejatinya adalah pendobrak sekat kelas sosial yang mampu merekatkan multikelas sosial dan golongan yang ada di tengah masarakat Masohi.

Olehnya itu Hemat penulis momentum ulang tahun masohi ke 56 tahun ini adalah terlebih dahulu mereduksi dan melakukan redefenisi label formal masohi atau gotong royong dari peran  pasif ke aktif. Butuh peran aktif dari setiap elemen masyarakat di samping butuh partisipasi warga untuk megaktualisasi masohi sebagai perekat bukan sekedar labelisasi atau simbol formal.

Peran Pemerintah  daerah harus cukup lebih respon dengan masukan berharga ini, sehingga selain bisa mewujudkan visi misi pemda Maluku Tengah ke depan yang menjamin stabilitas sosial politik dalam suasana perikehidupan masyarakat yang aman, rukun, bersatu, maju, adil dan sejahtera potensi kedaerahan masohi ini juga perlu mendapat perhatian serius.

Sehingga semboyan masohi tidak berhenti pada aktivitas formal tetapi harus hadir menjiwai, dalam setiap aktivitas masyarakat kota, baik itu masyarakat adat maupun komunitas masyarakat lainnya.

Reposisi warga kota Masohi

Selanjutnya tugas warga kota Masohi selain memberi porsi lebih pada pemaknaan kata masohi sebagai gotong royong, juga harus secara sadar bahwa masohi bukan milik orang per orang, tapi milik bersama, selebihnya mengawal dan melestarikan potensi budaya masohi ini dengan melibatkan diri dalam aksi nyata masohi. Secara riil butuh peran aktif warga masohi yang menunjukan jati diri bahwa kegiatan masohi bukan milik budaya dan adat tertentu saja, tapi menjadi kebutuhan selurubh warga kota, bukan hanya kalangan pemilik modal atau kelas sosial tertentu.

Slanjutnya kewajiban pemerintah sebagai institusi yang mengawal simbol adat dan budaya memberi akses dan fasiltias seluas-luasnya masohi ini dengan merawat dan menumbuhkan semangat masohi sebagai aset budaya, jangan sampai tergerus, bila perlu menghadirkan visi misi kota Masohi dengan citra kedaerahan masohi. Sehingga mungkin anak cucu kita di 200 ratus tahun ke depan akan bangun di waktu pagi masih tetap bersyukur karena nenek moyangnya masih merawat dengan apik khasanah masohi dalam tata pergaulan masyarakat, sehingga suka dan duka yang dialami warga kota Masohi masih tetap terjaga dalam atmosfir masohi, saling tolong menolong dalam kesahajaan.

Masohi sebagai Solusi Kehidupan warga Masohi

Menjadikan kegiatan masohi dalam berbagai aktivitas yang diberi pemuatan makna dan pencerahan, mengunggulkan konteks budaya bukan pemaknaan teks semata, akan menjadi masohi lebih apik dan sinergi. Sebab dengan hadirnya ragam budaya yang mendiami kota Masohi saat ini,  masohi harusnya bisa menjadi perekat di tengah ragam kelas masyarakat kota. Sehingga warna-warni budaya yang hidup dan tinggal di kota Masohi bisa menjadi harmoni. Bayangkan saja potensi setiap elemen adat dan budaya yang membaur di kota Masohi, bisa menjadi irama yang menghasilkan musik yang dinamis dan terarah jika ini dipimpin oleh komposer yang handal, dan dibingkai dan dinaungi oleh kelompok musik orkestra yang bernama Masohi.

Sayangnya potensi ini kerap terabaikan lantaran semua potensi adat dan budaya yang tinggal di Masohi semua bergerak dan berjuang sendiri-sendiri, maka makin nampak disharmonisasi sedang terjadi di kota Masohi dan ini terjadi berlarut-larut, sehingga terkesan ada gap (jurang pemisah) antara kelas adat dan bukan adat, apalagi antara kelas ekonomi atas dan bawah, yang sangat rentan konflik. Komentar yang muncul kemudian adalah kota masohi tidak maju, tidak bersinergi tidak harmoni, dan lain sebagainya.

Kalaupun dilibatkan nampak kelas masyarakat adat hanya tampil sebagai simbol formal, dan untuk kepentingan tertentu, artinya jika ada upacara resmi kedaerahan mereka diundang, jika ada pelaksanaan formal mereka dilibatkan, tetapi kontribusi saran, masukan bahkan SDM mereka jarang dipakai dalam membangun kota masohi, kenyataan potensi SDM masyarakat Adat dan kelas masyarakat sosial yang ada di lingkungan kota Masohi tidak semua mendapat tempat dalam birokrasi pemerintahan, atau terpakai kontribusi positifnya. Kalaupun ada SDM yang terpakai hanya terbatas pada ruang-ruang tertentu yang selalu bermuatan politis dan hanya untuk kepentingan sesaat, akan tetapi institusi budaya masohi yang mengakar tempat berkiprahnya budaya masohi sebagai simpul sosial gotong royong jarang diberi tempat.

Memang diakui bahwa pandangan politik dalam mencapai kekuasaan berandil besar dalam menentukan arah pembangunan kota Masohi, tetapi untuk menentukan arah dan nasib warga kota yang sebagian besar adalah masyarakat adat yang cenderung marginal, mereka juga harus dilibatkan untuk menentukan nasibnya sendiri. Minimal pandangan-pandangan serta masukan mereka dipakai juga untuk memberdayakan mereka. Lihat saja kelas masyarakat di pinggiran kota masohi yang selama ini terabaikan, dari penataan desa dan perumahan warga saja kita bisa tebak bahwa sentuhan masohi pemerintah kota tidak pernah sampai kepada kelas masyarakat pinggiran ini.

Jika sentuhan masohi itu ada pun, hanya sampai pada orang-orang tertentu saja, sementara sebagian masyarakat lainnya tidak pernah dilibatkan. Bagaimana bisa mencicipi hasil dan masohi itu sementara membaui saja tidak pernah. Sehingga masohi tidak lantas menjadi simbol formalitas masyarakat yang wajib diikuti lantaran hasil dan rejeki dari masohi itu tidak pernah merata, jika masohi selalu bersama-sama, tapi hasilnya hanya di nikmati sebagian orang saja, akan memperpanjang kesenjangan keadilan yang tidak merata.

Mestinya Berikan kesempatan seluruh elemen yang ada di Kota Masohi tumbuh berkembang dengan kualitas dan kompetensinya masing-masing secara sehat, toh tidak perlu kawatir sebab masohi tetap menjadi pemersatu sebagai perekat yang bisa mempertemukan kembali berbagai kelas tesebut dalam berbagai  kegiatan masohi, buktinya apapun kelas sosial, kelas dan golongan termasuk agama, selalu bisa dipertemukan dalam kegiatan masohi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun