Perhelatan pemilihan kepala daerah (PILKADA) di tingkat kabupanten di Indonesia sudah sering digelar bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dengan hiruk pikuk politik dan kondisi bangsa di seluruh penjuru tanah air, sehingga suasana yang berbeda dan tidak biasa nampak ketika saat-saaat pilkada maupun pesta pemilihan yang serupa. Sayangnya perhelatan itu jauh dari kesan mendidik....
Mendidik sangatlah penting, bagaimana membangun bangsa ini dengan moralitas dan mentalitas cerdas? mendidik untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata Internasional. mencerdaskan bangsa adalah tugas negara yang wajin dilaksanakan semua orang termasuk pemerintah dan non pemerintah (NGO) sebagaimana amant Undang-undang.
Tapi jika dalam even resmi seperti pilakda saja sudah banyak indikator mengarah ketidak cerdasan (pembodohan), lantas kapan daerah itu akan maju? lihat saja jika datang waktu PILKADA/PILKOT/PILPRES, selalu saja banyak unsur penipuan, kamuflase, intimidasi, suap, penyimpangan, ketidak jujuran, ketidakadilan dan lain sebagainya dari para pelaksana birokrasi sampai pada politisi? mungkin yang jujur hanyalah para pendidik atau para guru....
Tapi itupun tidak ada jaminan jika mereka tidak terinfeksi 'politik dukung mendukung ABS (baca: asal bapak senang). Tapi jika benar ini terjadi maka yang dikhawatirkan banyak orang itu akan terjadi, yakni pembodohan sistemik, atau pembodohan terstruktur dari birokrat sampai pada yang menjadikan orang cerdas (guru).
Bukan cerita baru jika ada guru yang dimutasikan atau kepala sekolah yang tiba-tiba dilengserkan gara-gara tidak mendukung suksesi kepemimpinan yang mendukung pasangan tertentu dalam pencalonan pilkada atau semacamnya. Belum lagi para kepala bagian, kepala dinas dalam jabatan birokrasi sering bergeser atau lompat jabatan jika mendukung pasangan tertentu.
Negara apa ini?
Suhu politik daerah sampai pada tingkat nasional biasanya akan meninggi di saat-saat ini, dari menggasak, menggesek, sampai menggosok, hingga pada perang opini terbuka sering terjadi antara kandidat maupun calon yang dijagokan, dan biasanya selalu saja berakhir bentrok bahkan adu fisik yang tidak bisa dicegah. sayangnya atas nama demokrasi hal seperti ini hanya dianggap sebagai dinamika politik yang terus saja dibiarkan dan kemudian menjadi kebiasaan yang terus menerus seakan dilestarikan.
Belum lagi yang harus menjadi korban adalah rakyat kecil yang terganggu dengan even lima tahunan ini dikarenakan banyak dari mereka terpaksa harus meninggalkan pekerjaan mereka dan bekerja dengan rasa was-was dikarenakan selalu dikawatirkan karena akan bertemu dan berjumpa dengan mereka yang berbeda pendukung calon yang diusung partai yang diikuti.
Entah mengapa di Maluku hal yang seperti ini selalu menjadi momok yang menakutkan di antara para pendukung calon atau pasangan calon. Sehingga kebanyakan masyarakat kecil akhir-akhir ini tidak lagi tertarik dengan kampanye yang menjagokan pasangan calon, dan jika ada itu hanya akan nampak pada poster pasangan calon yang sengaja di tempel di depan tembok rumah mereka atau kalender yang ada di ruang tamu. Lebih jauh penelusuran penulis bahwa poster dan kalender itu hanyalah bentuk toleransi mereka saja atas perhelatan pikada yang akan datang, tetapi belum tentu juga memilih atau bahkan tidak akan memilih pada saat pencontrengan/pencoblosan kecuali dijelaskan manfaatnya. pilihan mereka yang penting bisa bejerja tenang dan bisa menghidupi keluarga sudah cukup dibandingkan ikut dalam hiruk pikuk politisi yang tidak pasti.
Kabupaten tertua di Maluku yakni Maluku Tengah kini diambang Pilkada yang segera digelar beberapa bulan lagi, para kandidat yang resmi terdaftar di KPU hingga kini terdapat delapan pasangan yakni Tuasikal Abua – Marlatu Leleury (Tulus), Ana Latuconsina – Christian Leihitu, Sefnat Wattimena – Hasan Slamat (Selamat), dr Makmur Tamany – Philip Halattu (Mata Hati), Lutfi Sanaky- Nanci Purmiasa (Sanpurna), Jar Wattiheluw – Roy Halattu ( Waktu), Hamzah Sangadji – Melky Mozes Lohy (Hasil), dan, Yusuf Latuconsina-Lilian Aitonam (Ina-Ama) yang kini terdaftar di KPUD Malteng.
Kita hanya berharap Pilkada yang menentukan nasib Maluku Tengah 2012-2017 ini akan membawa warna baru bagi Maluku Tengah ke depan, sudah lama Maluku Tengah sebagai kabupaten statis dan seakan tidak bergerak di tengah dinamika bangsa yang begitu pesat berkembang. Jangan memperunyam keadaan dengan persaingan tidak sehat yang berujung kekerasan yang tidak berkesudahan.