Rasanya kuping mendadak gatal ketika tahu ada kurikulum baru, Kurikulum 2013. Sama dengan kebanyakan orang, respons awal yang muncul di benak saya; ganti lagi? Memang, saya bukan usia sekolah lagi, orang tua murid, guru, apalagi pemerhati dunia pendidikan. Tapi daripada berkomentar ‘asal bunyi’, saya akhirnya mengintip situs www.kemdiknas.go.id sebagai sumber utama info yang saya cari. Selain itu, saya kemudian berselancar ke berita-berita seputar Kurikulum 2013 supaya mendapat pemahaman yang berimbang.
Dulu sewaktu sekolah, saya tidak pernah memusingkan soal perubahan kurikulum. Mau berubah seperti apa pun, yang saya tahu tugas saya hanya belajar dan jangan nakal di sekolah. Sekarang, saya sesekali terusik jika ada berita tentang nasib anak sekolah saat ini. Ada tiga hal yang mengusik. Pertama, kasus bunuh diri karena tidak lulus Ujian Nasional (UN). Kedua, metode menghapal yang konon masih kental. Siswa tidak memiliki pemahaman yang mendalam terhadap apa yang dipelajarinya. Ketiga, beban pelajaran yang banyak sehingga waktu bermain berkurang. Kesibukan siswa seolah bersaing ketat dengan kesibukan orang tuanya sendiri.
Lalu, sampailah saya pada penerawangan Kurikulum 2013 ini. Seperti disebutkan di atas, saya bukanlah ahli dalam urusan pendidikan dan metode pembelajaran. Saya hanya berandai-andai jika masih sekolah dan belajar dengan Kurikulum 2013 ini.
Tematik-Integratik
Saya tidak menelaah lebih dalam alasan kenapa kurikulum perlu berubah. Kalau dikatakan kurikulum yang lama itu salah, saya akan protes. Berarti, saya produk pendidikan yang salah, dong. Ketika kurikulum dikatakan harus berubah sesuai zaman, saya sangat setuju. Ini bukan persoalan salah atau benar, tetapi bentuk mana yang cocok dengan perkembangan. Saya yakin pemerintah lewat Kemdikbud telah berpikir jauh ke depan. Pendidikan generasi yang sekarang sudah dipikirkan dengan kebutuhan di masa depan.
Begitu saya melihat buku seri mata pelajaran untuk SD, saya terpukau sendiri. Kurikulum 2013 ternyata mengusung metode tematik-integratik. Artinya, pelajaran dikumpulkan dalam tema-tema yang sesuai dengan perkembangan nalar anak dan kehidupan di sekelilingnya. Jenis-jenis mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Matematika, dan lain sebagainya, dipadukan dalam satu tema cerita.
Sebagai penulis, saya melihat ini disajikan dengan teknik story telling. Buku pelajaran disajikan seperti buku cerita, namun terkandung berbagai mata pelajaran. Penyajian ini menjadi menarik dan menyenangkan. Dulu ketika melihat buku pelajaran dengan judul ‘Matematika’, saya langsung lemes. Maklum, saya juga termakan rumor bahwa Matematika itu pelajaran tersulit. Di kurikulum yang integratik ini, mata pelajaran Matematika menyatu dalam satu tema bersama mata pelajaran yang lain.
Contohnya di buku kelas satu SD yang bertema Diriku. Pada subtema Aku dan Teman Baru, siswa diajarkan cara memperkenalkan diri dan memperkenalkan temannya. Setelah itu, cara perkenalan itu dilakukan sambil bernyanyi. Setelah bernyanyi, siswa diajak membuat kartu namanya sendiri lalu pindah ke bagian Mengenal Bilangan Bersama Teman Baru. Dari sini, siswa sedang diajarkan tata krama berkenalan, keberanian memperkenalkan diri, mengamati temannya, bernyanyi, menggambar, dan berhitung.
Setelah saya pikir, cara memperkenalkan teman seperti ini baru saya alami ketika mengikuti seminar atau pelatihan, jauh setelah saya lulus SD. Latihan seperti ini mengasah kemampuan mengamati sebagai salah satu modal dalam interaksi sosial.
Dari judul-judulnya saja, saya menangkap bahwa tema-tema itu diarahkan sebagai penguat fondasi karakter. Di buku kelas satu SD, tema-tema untuk semester satu adalah sebagai berikut; Diriku, Kegemaranku, Kegiatanku, dan Keluargaku. Andai saya masih SD, teman-teman saya akan cepat bisa membaca. Bayangkan, ketika kelas tiga SD, saya pernah ditugaskan guru untuk mengajarkan salah seorang teman yang belum lancar membaca!
Kembali kepada ketiga hal yang mengusik saya tadi. Dengan bentuk tematik-integratik, rasanya bisa meminimalkan pelajaran yang hanya mengandalkan hapalan semata. Jika terus dipertahankan hingga kelas enam, kasus bunuh diri karena tidak lulus UN semoga hanya menjadi sejarah saja. Selain itu, pembelajaran bukan menjadi sebuah beban karena dilakukan sambil bermain. Bahkan pada topik-topik tertentu, guru ditantang untuk melakukan pembelajaran di luar kelas.
Tadinya saya iri, kenapa dulu saya tidak mendapat pembelajaran seperti ini. Tapi karena kebutuhan zaman selalu berkembang, saya sadar bahwa metode pembelajaran akan berbeda setiap generasi. Dari yang saya sampaikan di atas, itu hanyalah secuil dari banyak hal baru di Kurikulum 2013. Maklumlah, yang beredar cuma berita kontra seputar kesiapan guru, distribusi buku, dan penyesuaian metode penilaian. Persoalan teknis selalu dibesar-besarkan hingga hal yang fundamental jadi terpinggirkan. Padahal, lebih baik repot sekarang demi menuai generasi unggul di masa depan, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H