Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan serta didukung daratan yang subur telah berkontribusi bagi kejayaan lada Indonesia sebagai negara pemasok komoditas lada dalam perdagangan rempah dunia. Eksistensi lada putih dikenal dengan brand Muntok White Pepper (MWP) telah menorehkan sejarah dalam perdagangan lada dunia.
Selain dikenal sebagai pulau timah, Bangka Belitung merupakan daerah penghasil lada putih terbaik di dunia yang memiliki mutu dan cita rasa yang tinggi dibandingkan negara produsen lainnya. Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara pemasok utama dalam perdagangan lada dunia hingga dijuluki sebagai The King of Spice (raja rempah-rempah) oleh bangsa penjajah rempah nusantara. Kini, posisi Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam yang menjadi negara produsen dan eksportir lada dunia, padahal dulu peringkat tersebut berada di tangan Indonesia.
Nasib Petani Lada Kian Tragis, Pemerintah Tidak Bisa Intervensi Harga Lada
Saat ini, persoalan harga lada masih menyulitkan kehidupan petani tetapi animo masyarakat masih saja antusias walaupun terkendala, seperti penyakit kuning lada, pupuk, ketersediaan bibit dan lainnya. Petani lada kian menjerit dikarenakan biaya penanaman tidaklah sebanding dengan nilai penjualan saat ini.
Dalam pembukaan Asian Agriculture & Food Forum (ASAFF) di Istana Negara, Jakarta Pusat beberapa bulan lalu. Seorang petani asal Bangka, Jauhari curhat soal rendahnya harga lada kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dikatakan Jauhari, harga lada Bangka di era 90-an sempat mencapai Rp 200 ribu per kilogram tetapi hari ini harga lada per kilonya hanya Rp 50 ribu-an/kg. Padahal, tahun 2015 lalu harga lada di petani hingga Rp 150.000/kg. Singkatnya, Presiden Jokowi menjelaskan bahwa harga lada rendah karena merupakan harga pasar dunia dan pemerintah tidak bisa intervensi karena harga dunia yng menentukan. Dalam kesempatan itu, Jokowi juga menggelar kuis berhadiah sepeda. Para petani yang diminta maju oleh Jokowi mendapatkan sepeda. (Kompas, 28 Juni 2018)
Memang, mengatasi harga lada petani tidak mudah untuk dicarikan solusinya. Melalui Kementerian Perdagangan (Kemdag) setidaknya ada upaya dalam meningkatkan pengawasan terhadap mata rantai perdagangan lada itu sendiri. Seperti ada indikasi permasalahan dirantai distribusinya, bisa oligopoly atau monopoly. Kendati demikian, cara terbaik tentunya dengan penjualan langsung atau direct sale. Sementara untuk strategi lain, para eksportir pun perlu dikumpulkan untuk mencari solusinya. Dengan sistem resi gudang mungkin saja bisa menaikkan harga melalui pembatasan penjualan. Pasalnya harga lada di petani dan ritel mengalami ketimpangan tajam, jika harga lada di petani sebesar Rp 50.000 per kilogram (kg), sementara di ritel modern Rp 330.000 per kg. Ada selisih sebesar 560% antara harga di petani dan di ritel. Sehingga, harga lada di tingkat petani juga berlarut-larut turun, sekalipun kontribusi lada Bangka Belitung tidak dominan karena real-nya produksi lada petani masih rendah.
Ditengah hiruk pikuk tahun politik terkini, masyarakat petani lada Bangka Belitung terus menaruh harapan kepada pemerintah supaya harga lada perlahan akan membaik. Apalagi, impor pemerintah dan pelemahan rupiah saat ini sangat berpengaruh terhadap kenaikan harga pangan dan kebutuhan ikutan lainnya. Tak pelak, jeritan petani lada yang kian lantang saban hari diviralkan warganet hingga ke media sosial, bahkan nyaris setiap pekan pemberitaan terkait anjloknya harga lada menjadi sajian empuk media massa lokal.
Lada Sebagai Penyeimbang Perekonomian Bangka Belitung
Menginjak usia remaja sebagai sebuah provinsi kepulauan, pengembangan sektor-sektor unggulan seperti lada, peternakan dan pariwisata terus diperkuat tanpa mengabaikan potensi lainnya. Barangkali, pemerintah mampu menangani tata niaga perdagangan lada selain timah sebagai komoditas ekspor terbesar Bangka Belitung.
Melalui Kementerian Perdagangan RI, campur tangan atau intervensi pemerintah sangatlah penting. Adanya keseriusan dalam implementasi kebijakan tata niaga lada hingga dapat memberikan jaminan harga lada di tingkat petani maupun ritel supaya stabilisasi harga tetap terjaga. Fungsi penyeimbang perdagangan lada antara produksi dan permintaan terhadap komoditas lada dianggap perlu perlindungan daya saing. Selain itu, fungsi konsolidasi ekspor komoditas juga dapat memperluas pasar rempah Indonesia ke luar negeri. Hal ini perlu diterapkan pemerintah dalam tata niaga lada sebagai salah satu komoditas utama rempah Indonesia, sekalipun produksi lada dalam negeri masih belum signifikan.
Di era 1990-an, masyarakat petani mengalami masa kejayaan lada. Bahkan warga pedesaan justru sangat konsumtif dan mereka berpendapat tidak ada krisis di Bangka saat sebagian wilayah Indonesia dilanda krisis perekonomian 1997. Berdasarkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam kurun waktu 2012 - 2016 lalu, lada merupakan salah satu jenis rempah yang memberikan kontribusi utama dalam penerimaan devisa negara serta menyumbang nilai ekspor lebih dari USD 400 juta dengan rata-rata volume perdagangan mencapai 54 ribu ton.
Bagi masyarakat petani lada Bangka Belitung, lada atau sahang menjadi tanaman yang bernilai strategis serta menjadi andalan ditengah menipisnya cadangan timah yang masih menjadi urat nadi perekonomian Bangka Belitung. Apalagi, harga komoditi sawit dan karet petani saat ini terancam anjlok berlarut-larut, sehingga komoditas strategis seperti lada atau sahang berpotensi menjadi penyeimbang perekonomian Bangka Belitung. Kelak, masyarakat pun perlahan mulai terbiasa untuk lepas dari ketergantungan timah yang selama ini menjadi primadona masyarakat pasca berdirinya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Marwah Bangka Belitung Sebagai Provinsi Lada
Terdapat isu strategis dalam Pekan Poros Maritim Berbasis Rempah di Lawang Sewu, Semarang pada November 2017 silam. Sejalan dengan implementasi nawacita, pemerintah berkomitmen untuk mengembalikan kejayaan rempah Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, disepakati adanya relawan secara besar-besaran sehingga rempah kita menjadi komoditas yang mendunia seperti jargon Rempah Kita Untuk Dunia.
Akan tetapi, komitmen pemerintah tersebut tidaklah selaras dengan menggebunya semangat para petani lada di Bangka Belitung. Walaupun dalam tekanan pelbagai kendala tetapi daya juang petani lada untuk terus berkebun tak pernah surut, bahkan disaat merosotnya harga lada yang tak sinergis.
Gubernur Bangka Belitung Erzaldi Rosman, membuat terobosan untuk mengembalikan kejayaan lada dengan motivasi tinggi melalui strategi inovasi diantaranya kebijakan di hulu, on farm, hilir serta strategi yang bersifat menunjang. Secara masif terus disosialisasikan seperti temu karya petani lada hingga kebijakan Sistem Resi Gudang (SRG) yang merupakan instrumen penting dan efektif dalam sistem pembiayaan perdagangan. Dengan adanya Sistem Resi Gudang (SRG) Syariah, akan terbuka peluang bagi petani untuk mendapatkan harga jual yang lebih baik, mendapatkan kepastian mutu dan jumlah, mendapatkan pinjaman dari Bank untuk pembiayaan modal kerja pada musim tanam berikutnya dengan jaminan Resi Gudang tanpa agunan berikutnya, mempermudah jual-beli komoditi secara langsung maupun melalui pasar lelang tanpa membawa komoditinya sebagai contoh tetapi cukup membawa resi, mendorong petani untuk berusaha secara berkelompok sehingga meningkatkan efisiensi biaya dan posisi tawar petani.
Dengan keseriusan dan komitmen daerah serta dukungan khalayak, marwah Bangka Belitung sebagai provinsi lada akan tetap terjaga. Fokus pemerintah harus mewujudkan paradigma pembangunan yang berorientasi kesejahteraan petani, sehingga iklim perekonomian daerah dapat kondusif dan berkelanjutan. Petani lada sejahtera, Bangka Belitung berjaya.
Semoga Berkah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H