Sharing tulisan
Kebenaran tak butuh Pembenaran pun Pembelaan
Idealnya, kita memang harus percaya pada kebenaran. Namun dalam prakteknya, itu tidaklah selalu mudah, karena tidaklah mudah untuk melihat kebenaran. Makanya, apa yang kita percayai selama ini, belum tentu kebenaran. Ia bisa saja hanya sebentuk pembenaran atas sesuatu yang sebetulnya tidak benar, namun terlanjur dianggap benar oleh banyak orang, atau, sesuatu yang masih disangsikan kebenarannya, tapi dipercayai oleh seseorang yang besar pengaruhnya di masyarakat.
Kita tahu kalau pada dasarnya, kebenaran tidak butuh pembenaran. Hanya yang belum tentu benar, atau yang masih disangsikan kebenarannya sajalah butuh upaya-upaya pembenaran. Inilah yang butuh argumentasi-argumentasi, bahkan dalih serta alasan. Namun, betapa masuk-akal pun suatu argumentasi, dalih atau alasan itu adanya, tetap saja tidak mampu mentransformasikan yang tidak benar menjadi benar. Apa yang mampu dilakukannya paling-paling sekedar memanipulasi yang tidak benar sehingga kelihatan seolah-olah benar.
Kebenaran juga tak butuh pembelaan. Ia membela dirinya sendiri. Oleh karenanya, mereka yang mengaku-ngaku sebagai ‘pembela kebenaran’ sangat boleh jadi hanyalah sekelompok orang yang selalu mencari pembenaran atas setiap tindakan tak senonohnya. Jenis orang seperti ini memang banyak sekali di dunia. Sebetulnya, justru mereka inilah yang amat sangat membutuhkan pembelaan dari kebenaran itu sendiri.
Dua jenis Kebenaran.
Secara sederhana, ada dua jenis kebenaran: kebenaran relatif (vyavaharika dharma) dan kebenaran absolut (satya dharma).
Kebenaran duniawi, yang dapat diterima oleh banyak orang hanya lantaran ketidak-mampuan mereka untuk melihat kebenaran secara menyeluruh, termasuk jenis kebenaran relatif. Yang seperti ini umumnya bertumpu kuat pada kesaksian indriawi. Contohnya, anggapan bahwa “Matahari terbit di Timur, dan terbenam di Barat”. Kebenaran jenis ini juga bisa disebut sebagai kebenaran empiris-subjektif.
Segala bentuk kebenaran yang bisa diterima oleh akal-pikir manusia yang terbatas, juga tergolong ke dalam kebenaran relatif. Kalau mau disebutkan, banyak sekali contoh-contoh yang bisa kita kemukakan untuk yang satu ini. Namun salah-satu contoh yang sangat signifikan adalah adalah, anggapan bahwa “Kebenaran haruslah masuk-akal, harus rasional, harus bisa dicerna nalar. Bila tidak, maka ia tak bisa dianggap benar”. Walaupun yang ini sudah lebih tinggi lagi kwalitasnya ketimbang yang sebelumnya—karena sudah tidak lagi mendasarkan diri hanya pada pola-pandang kasat-indria, melainkan sudah melibatkan akal-pikir—, ia masih tergolong kebenaran relatif. Kebenaran jenis ini juga bisa disebut sebagai kebenaran analitis-objektif.
Kebenaran hipotetis, yang hanya bisa dianggap benar lantaran belum ada cukup bukti-bukti untuk menyanggahnya, juga tergolong kebenaran relatif. Ia bisa dikatakan sebagai punya kwalitas yang lebih tinggi lagi ketimbang yang sebelumnya. Dan, kelihatannya, banyak sekali dogma-dogma agama dan kepercayaan bertumpu pada kebenaran jenis ini. Contohnya adalah, dogma tentang “adanya Sorga dan Neraka sebagai sebentuk alam kehidupan paska kematian raga ini”.
Kesepakatan dilahirkan demi ketertiban dan ketenteraman komunitas, yang kalau dindahkan, diharapkan bisa mendatangkan kebaikan bagi semua pihak terkait. Ia tidak harus benar. Oleh karenanya, ia belum tentu benar. Disini, penekanan lebih diberikan kepada ‘fungsi atur’-nya. Segala bentuk aturan dan perundang-undangan—termasuk hukum adat—merupakan contoh konkrit dari kebenaran jenis ini. Ia lebih berimplikasi hukum dan sesuatu yang bersifat normatif. Makanya, ia juga bisa kita sebut sebagai kebenaran yuridis-normatif. Ia tergolong kebenaran relatif juga adanya.
Kebenaran analogis, juga merupakan bentuk lain dari kebenaran relatif. Kebenaran ini diturunkan melalui analogi-analogi, dengan pola-pikir kurang-lebih berbunyi: “Kalau manusia bernafas, maka semua makhluk hidup juga bernafas—dengan caranya masing-masing”, atau “Sejauh dewa atau malaekat adalah makhluk hidup, maka manusiapun bisa menjadi dewa atau malaekat”.
Kebenaran relatif lainnya lagi adalah—apa yang kita sebut dengan—kebenaran komparatif. Kebenaran ini ditarik dari upaya pembandingan atau komparasi dengan hal-hal sejenis di tempat-tempat atau komunitas-komunitas lain. Ia diturunkan dari pola-pikir yang kurang-lebih berbunyi: “Kalau disana dan dalam lingkungan komunitas itu ia (dianggap) benar, sangat boleh jadi itu memang benar adanya”. Memang benar kalau kebenaran ini punya kemiripan yang besar dengan kebenaran analogis. Mereka juga sama-sama bersifat hipotetis, sehingga bisa dianggap sebagai bagian dari kebenaran hipotetis.
Perlukah menguji Kepecayaan kita kembali.
Kepercayaan adalah sesuatu yang sangat pribadi sifatnya. Kepercayaan yang kita anut, umumnya kita sakralkan. Sayangnya, pensakralan ini juga berarti tabu untuk mengkritisinya dengan cara mengujinya. Disinilah sebetulnya dogmatisme hingga fanatisme-ekstrim itu mengakar.
Setiap bentuk kepercayaan punya sebentuk landasan kebenaran, pada landasan mana mereka berpijak dan dari landasan mana mereka mulai melangkah. Semua bentuk kebenaran relatif, butuh landasan luar, landasan yang bukan dari dirinya sendiri. Namun tidak kebenaran absolut. Kebenaran absolut melandasi DiriNya Sendiri. Ia tak butuh landasan apapun kecuali DiriNya Sendiri. Justru yang lainnyalah yang butuh melandaskan dirinya kepada-Nya.
Seorang pendamba kebenaran sejati atau kesujatian jelastidak akan menerima dan memutlakkan begitu saja kebenaran relatif, untuk dijadikan sebagai landasan dari kepercayaannya. Walaupun, secara sadar, ia tidak akan menentang dan memposisikan dirinya secara berhadap-hadapan dengannya, apa yang ia tuju tetap adalah kebenaran absolut, kebenaran mutlak, kebenaran hakiki, kebenaran tertinggi.
Menguji suatu kepercayaan adalah sebuah upaya pengujian dengan mencermati kemungkinan sifat relatif yang terkandung pada setiap klaim akan kebenaran dari setiap bentuk kepercayaan. Ini bukanlah pengujian yang sepenuhnya mengarah ke luar. Bahkan sebetulnya ia lebih dimaksudkan untuk diarahkan ke dalam, melalui mempertanyakan kepada diri kita: Mengapa kita mempercayainya? Adakah hanya lantaran ikut-ikutan? Adakah hanya lantaran kita terlahir di lingkungan komunitas yang mayoritas anggotanya mempercayainya? Adakah hanya karena ia disampaikan oleh seseorang yang kita kagumi, sangat kharismatik, mampu mempertontonkan keajaiban-keajaiban, atau punya pengaruh dan kekuasaan besar di masyarakat?
Guna pengujian ini, Hindu memberi landasan metodis: “neti, neti”—bukan ini, dan bukan itu. Di alam dualistik ini, dengan berhasilnya ditetapkan sesuatu sebagai bersifat relatif—tentunya setelah melalui menelitinya dengan cermat dan sistematis—, kebenaran absolut bisa ditemukan. Dengan mengenali sesuatu sebagai kebenaran relatif dan menyanggahnya, cepat atau lambat seorang pendamba kesujatian akan diantarkan kepada-Nya.
================================================================================
Kebetulan baca tulisan salah satu kompasianer jadi tertarik sharing artikel ini,tulisan Bpk Ngurah Agung diambil dari Milis Berkas Cahaya Kehidupan, posting pertama saya di kompasiana,"itung-itung" latihan mempublish tulisan, siapa tahu bermanfaat juga :D Sumber gambar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H