Apakah dongeng yang kubawakan tidak seru? Membosankan ya? Lalu, bagian mana yang luput dari dramatisasi? Menurut kalian, adegan saat aku hampir tertipu dengan taktik murahan itu apakah masih kurang realistis?
2014
Jarak rumah dan sekolahku kira-kira hanya tiga kilometer. Jarak yang terbilang cukup dekat jika ditempuh menggunakan kendaraan umum.Â
Hari itu menjadi sejarah bagiku. Akan kuingat selalu adegan menegangkan yang tak pernah kuduga akan terjadi pada diriku. Tahu tidak? Aku pernah hampir... hampir... menjadi korban pencopetan di angkot. Seperti ini ceritanya.
Aku menaiki angkot dengan nomor yang biasa membawaku ke sekolah. Aku berangkat seorang diri. Di dalam angkot rupanya sudah ada dua murid perempuan yang hendak ke sekolahku juga. Nampak jelas dari logo sekolah di dada kiri seragam mereka. Keduanya duduk berhadapan di kursi paling pojok dekat kaca lebar angkot bagian belakang.
Aku memilih duduk dekat pintu, karena selain tempatnya strategis agar tidak kelamaan turun saat sampai di sekolah, aku juga bisa mendapatkan hembusan angin pagi yang amat segar. Sudah biasa aku menggendong tas besar nan berat yang isinya beragam. Mulai dari buku LKS, buku paket, buku tulis, botol air minum, bekal makan siang, kotak pensil yang menyimpan pulpen, pensil, penghapus, penggaris, gunting, selotip, stapler, lembaran note, dan tip ex. Banyak kan? Makanya, aku sering dipanggil fotocopy berjalan. Hehe. Oh iya, ada lagi! Payung lipat, jas hujan, tote bag, jaket, parfum, dan selembar roti untuk jaga-jaga.
Tidak lama setelah aku menaiki angkot, kendaraan itu berhenti untuk mengangkut penumpang. Seorang lelaki usia 30-an, berbadan kurus-tinggi, botak tiga senti, dan bola mata yang besar. Dia memintaku untuk bergeser. Aku turuti.
Sepuluh meter kemudian, angkot tersebut kembali menepi. Aku tidak berhasil menghitung berapa banyak bapak-bapak usia 40-an yang naik secara bergerombol. Satu hal pasti, mereka memenuhi body angkot hingga tiada celah sedikitpun di kursi penumpang. Sesak sekali, aku membuka kaca di belakangku. Namun, lelaki botak disampingku menoleh. Aku merasa tidak enak, mungkin dia terganggu.
"Kenapa mas?"
"Gak,"
"Eh mas, tolong tutup jendelanya!" Ujar bapak berkumis tebal, salah satu dari gerombolan yang duduk di hadapanku menyuruh lelaki itu.Â
Aku hanya berpikir karena mereka sudah paruh baya jadi rentan bila terkena angin pagi yang dingin.
"Mas, buka lagi jendelanya, sedikit aja!" Bapak berkumis kembali meminta.
"Iya." Lelaki botak tiga senti hanya mengangguk. Dia menggeser kaca seakan sangat sulit hingga salah satu tangannya mental mengenai kepalaku. Rasanya seperti ditoyor dari belakang.
"Aduh." Aku mulai tidak nyaman.
Lima detik kemudian, "Duh, gimana nih... tolong dek, tolongin. Tangan saya kejepit!" Lelaki botak tiba-tiba merintih. Matanya hampir keluar.
Bapak berkumis berteriak kepadaku, "Dek tolongin orang di sebelahmu!" Pun, dengan gerombolannya yang membuat suasana makin heboh, "Ya ampun, dek cepat tolongin daripada dia harus ke rumah sakit. Bahaya!"
Lelaki botak menunjukkan ekspresi kesakitannya makin menjadi-jadi. Dua murid perempuan yang aku bahas di awalpun terlihat ketakutan. Angkot menjadi ramai tak terkendali. Aku ikut tegang. Tapi, masih dapat mengontrol pernafasan dengan baik.
Aku yang memiliki daya pikir lelet merasa beruntung karena memiliki waktu untuk merangkai fakta demi fakta yang terjadi. Pertama, mengapa lelaki botak itu memilih duduk di sampingku, padahal masih ada kursi lain yang lowong sebelum gerombolan bapak-bapak itu naik bersamaan. Kedua, ganjil rasanya melihat bapak usia 40-an berduyun-duyun secara mendadak memenuhi kendaraan umum, mereka bisa saja membagi formasi untuk naik angkutan selanjutnya. Ketiga, bukan hanya aku yang ada di samping lelaki botak itu, tapi ada bapak-bapak lain, kenapa harus meminta bantuanku saja? Aneh.
Aku melirik satu persatu antara lelaki botak yang sedang kesakitan beserta tangannya yang 'katanya' terjepit padahal aku tahu tidak mungkin. Lalu, aku menyipit pada bapak-bapak yang tiada henti memprovokasi agar aku membantu lelaki itu. Aku dapati mereka juga memerhatikan tasku. Nah, terjawab sudah.Â
"Kalian mau ngambil tas saya? Memang kalian kira apa saja isinya?" Aku berbicara dengan jutek. Keributan langsung hilang. Aku lanjut membuka tasku dan menjejalkan isinya satu per satu kepada penumpang yang mencurigakan, "...nih, saya bawa jas hujan. Mau? Botol minum satu liter mau juga? Gak punya uang ya untuk beli? Oh, kalian butuh alat tulis untuk belajar? Pantas, di usia kalian sekarang ini masih gagal untuk mengelabui seorang anak ingusan seperti saya."
Tanpa aba-aba, lelaki botak tiga senti beserta pak kumis and the gank, meminta supir menghentikan angkot. Lalu, turun bersamaan. Raut wajah mereka tentu membentuk lengkungan bibir setengah lingkaran yang menekuk turun. Pertanda kecewa berat.
Langsung terpikir olehku untuk menceritakan kejadian itu pada Tata dan Kia. Mereka pasti takjub dengan keberanianku. Seorang diri mampu menghempaskan komplotan pencopet angkutan umum tanpa perlawanan berarti.
"Ta, Ki, aku mau cerita deh!" Kataku menggebu-gebu saat tiba di ruang kelas mampir ke meja Tata dan Kia.
"Sebentar Yun, kita lagi ngerjain tugas yang kemarin." Jawab Kia tanpa menoleh dari buku tugasnya.
"Loh, kalian belum selesai? Aku sih udah."
"Coba lihat Yun," pinta Kia
Aku memberi buku tugas pada Kia sembari memberi sedikit prolog ceritaku tentang kejadian di angkot, "Kalian mau tau gak, tadi aku hampir kecopetan!" 3... 2... 1... huh, tidak ada tanggapan.
Tata sedikit memberi perhatian, "Kalau mau cerita, cerita aja Yun. Kita dengerin kok."
Mendapat lampu hijau dari Tata, aku mulai berbagi cerita. Peristiwa yang terjadi dari awal hingga akhir kurangkai sesempurna mungkin agar mereka bisa larut dalam pengalaman buruk yang baru saja kualami. Tapi jawaban mereka hanya; oh, terus, begitu ya.Â
Istirahat jam makan siang, kelasku sepi. Tata dan Kia membeli mi instan di kantin. Denis menyambangi mejaku. Dia menyunggingkan bibir, "Apa cuma kamu manusia yang hampir kecopetan tapi tetap tenang menyantap bekal?"
"Salah?"
"Yun, please, jangan berpura-pura tegar. Aku tahu, kamu pasti bergetar setengah mati saat di angkot. Tanganmu juga masih tremor waktu masuk kelas. Kamu tahu gak, kakimu jalannya mleyot. Astaga... kamu masih sempat mendongeng buat Tata dan Kia."
"Kamu pikir ceritaku bohong?"Â
"Bukan begitu. Maksudku, jika Tata dan Kia menganggapmu sahabat, pasti mereka memperlakukanmu lebih dari menjawab 'oh, terus, begitu ya' setidaknya ada pelukan hangat atau elusan untuk mengusap punggung tanganmu."
Aku terkesima dengan perkataan Denis. Tapi geli rasanya di dalam perutku yang keroncongan. Aku tertawa sejenak, "Kamu belajar kata-kata itu dari mana?"
"Dari apa yang terjadi padamu hari ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H