"Semua kursi tiga slot udah penuh. Tersisa kursi dua slot yang di duduki mereka di barisan depan..." Aku memoncongkan bibir ke arah Kia dan Tata. "...dan di sini."
Denis menunjuk kursi di sebelahku, "Berarti tinggal kursi ini yang kosong. Aku duduk di sini ya!"Â
Sudah seperempat perjalanan. Keramaian murid kelas A dan kelas B rupanya membaur dan tercipta dengan natural. Akupun turut senang. Tapi bagaimana kabar Kia dan Tata? Apakah situasi di kursi mereka sepi tanpa kehadiranku? Aku membuka tas, mengeluarkan ciki yang sudah kujanjikan untuk kubagikan bersama mereka. Namun, saat aku menghampiri mereka...
"Mana camilan kalian? Yuk sharing!" Aku bersemangat.
"Duh, camilan kita sudah habis." Ujar Tata
"Kita kira, kamu gak bakal ke sini."
"Oh, okay. Aku balik lagi ke belakang." Aku meremas ciki yang sudah terbuka kemasannya, memutar badan dan kembali ke kursiku.Â
Denis meledek, "Ngapain kamu bawa jauh-jauh camilanmu sampai ke kursi depan? Kan ada aku di sampingmu yang siap nampung."
Tanganku menyodorkan ciki secara sukarela kepada Denis, "Untukmu saja, habiskan."
Sesampainya di lokasi study tour, aku kira dapat bergabung bersama Kia dan Tata. Nyatanya, aku selalu tertinggal. Ada saja yang menghambat pergerakanku. Lantas, mereka pun seolah tidak tahu kalau aku bersusah payah menerobos kerumunan untuk bisa berdekatan dengan mereka.
Aku pikir akan beda jadinya saat perjalanan pulang. Di bus, berkali-kali aku mendongak ke kursi Kia dan Tata, mereka cekikikan entah menertawakan apa. Sayang, aku tidak bisa menyertai. Aku juga sudah tidak ada tenaga untuk menyusuri koridor bus yang rasanya sangat jauh untuk menjangkau mereka.