Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SIBBuK (Bag. 7): Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 27 November 2024   17:52 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentuk "尸利佛逝國" yang ditemukan dalam buku sensei Takakusu (Dokpri)

Sri, namamu misteri

Mengundang 1000 imaji

Dalam pikiran-sanubari negeri ini

Sri, walau namamu abadi seperti dewi

Kau terlihat sepi tersendiri

      Tertinggal waktu tak henti

    Sri, apa arti nama ini?

    Pun jauh terus kucari

   Tetaplah misteri


Sayang ini

bukan puisi

Aduh, Sri...

Permasalahan eksistensi Sriwijaya, pada hakikatnya, sebetulnya bukanlah permasalahan sejarah – tetapi, lebih kepada permasalahan “bahasa”. Sebab, jika eksistensi Sriwijaya merupakan permasalahan sejarah, kita hanya harus melihat bukti-bukti yang ada. Dan, bukti-bukti tertulis (kerajaan?) ini jelas terpampang pada tugu-tugu batu bertulis (prasasti-prasasti) di mana nama ini disebutkan, seperti pada prasasti Kedukan Bukit (tahun Saka 605), prasasti Kota Kapur (tahun Saka 608), prasasti Karang Berahi (tahun Saka 608), prasasti Ligor (tahun Saka 697), dan prasasti Palas Pasemah (tidak disebutkan). Katakanlah, jika nama “Sriwijaya” ini betul disebutkan dalam peninggalan-peninggalan tertulis tersebut, nama ini sebetulnya sudah cukup baik, setidaknya, untuk menjadi “bukti awal” eksistensi dari kerajaan(?) tersebut. Hal ini dikarenakan bukti-bukti tertulis sejatinya sama pentingnya dengan temuan benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah.

Benda-benda dan bangunan-bangunan sesungguhnya tidak “bercerita” – yang “bercerita” sebetulnya adalah manusianya. Pun, bisa diargumentasikan bahwa benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah memiliki ciri, pola, atau karakteristik yang bisa “menunjukkan” atau “menceritakan” sejarah dari benda-benda atau bangunan-bangunan itu sendiri, tetapi tetap yang mengenali, melakukan analisa, dan pada akhirnya menceritakan kembali tetap manusianya, bukan? Untuk itu, tetap saja, pada dasarnya, benda-benda dan bangunan-bangunan bersejarah tidak bercerita, yang bercerita atau menceritakan kembali tetaplah manusianya! Dan, tulisan-tulisan atau peninggalan-peninggalan tertulis adalah “cara” untuk menghubungkan pikiran-pikiran manusia yang berbatas waktu (dan ruang).

Kita, sebagai manusia, sesungguhnya tidak saja terhubung dalam “darah” atau secara genetik semata, tetapi kita sejatinya juga terhubung melalui “kata” – melalui “bahasa”. Dari menggunakan “medium” (perantara) inilah, ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan itu kita dapatkan; baik yang berasal dari masa lalu maupun dari daerah-daerah atau wilayah-wilayah lain – baik lisan dan tulisan (di masa lalu, terutama melalui buku-buku atau kitab-kitab). Ilmu (&) pengetahuan tentang peristiwa di masa lampau alias “sejarah” yang kita dapatkan sebetulnya juga melalui jalur yang sama: adakah orang yang mengetahui sejarah atau “kejadian” di masa lalu tanpa melalui perantaraan “bahasa”? Jangankan sejarah ratusan tahun yang lalu, cerita orang-orang tua kita dulu pun kita dapatkan melalui perantaraan bahasa. Apakah cerita-cerita itu kita bawa serta dalam darah kita ataukah orang-orang tua kita yang sesungguhnya bercerita dari lisan atau tulisan tangan mereka?

Hal yang sama juga terjadi dengan kerajaan bersejarah yang kita kenal sebagai “Sriwijaya”. Eksistensinya, pada masa ini, tetap dikenal melalui tugu-tugu batu bertulis yang menyebutkan tentang nama ini – tulisan yang diukir oleh seorang manusia untuk dibaca oleh manusia lainnya. Walau mungkin tidak lengkap atau masih banyak kekurangannya, tulisan-tulisan itulah yang sesungguhnya mengantarkan “semangat” atau “jiwa” para pendahulu negeri ini kepada para penerusnya – yang, sayangnya, sepertinya tidak mau tahu tentang keberadaan semangat itu...

Padahal, walau kerajaan ini telah lama runtuh dan menghilang, “semangat” dari kerajaan itu sendiri sebetulnya masih bisa tetap hidup dan terabadikan jika saja kita mau membaca, mengingat, dan memahami tulisan-tulisan pada prasasti-prasasti tersebut. Akankah semangat itu, pada akhirnya, juga akan menghilang bersama zaman? Entahlah... Namun, satu hal yang pasti di sini adalah: setidaknya kita tahu bahwa nama “Sriwijaya” memang disebutkan dalam tugu-tugu batu bertulis yang tersebar di beberapa tempat – hal ini, sekali lagi, yang sebetulnya cukup tidak terbantahkan. Akan tetapi, pun demikian, nama “Sriwijaya” ini sebetulnya bukan tanpa masalah. Masalahnya, sebagaimana yang telah penulis nyatakan sebelumnya, berada di seputar “bahasa” yang digunakan.

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan pada tulisan sebelumnya, permasalah pertama adalah: nama ini dikaitkan dengan nama-nama yang berbeda yang ditemukan dalam dokumen-dokumen sejarah dunia. Tentu hal ini bukanlah masalah, jika nama-nama lain tersebut memang merujuk pada nama “Sriwijaya”. Tetapi, akan berbeda ceritanya jika nama-nama itu tidak merujuk pada nama “Sriwijaya”. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan.

Seperti yang terjadi pada nama “Sribuza” yang oleh monsieur George Cœdès dihubungkan dengan nama “Sriwijaya”.  Dengan mencantumkan keterangan yang beliau dapatkan dari koleganya, monsieur Jean Sauvaget, monsieur Cœdès menghubungkan nama “Sribuza” yang disebut-sebut dalam catatan para pedagang Arab-Persia pada abad ke-10 dengan Sriwijaya. Namun, sensei Takakusu, Herr. Friedrich Hirth, dan Mr. William Woodville (WW) Rockhill  yang menyebutkan nama yang sama (Sarbaza dan Serboza) tidak menghubungkan nama ini dengan nama “Sriwijaya”, tetapi dengan nama “Sribhoja”. Perbedaan inilah yang sebetulnya menjadi awal masalahnya.

Sayangnya, permasalahan yang sebetulnya menjadi masalah pratama ini sepertinya tidak banyak diketahui dan, entah bagaimana, nama “Sribhoja” seakan-akan terabaikan dan menghilang begitu saja. Padahal, nama ini sejatinya cukup penting untuk diketahui, sebab nama “Sribhoja” diam-diam turut memperjelas eksistensi dari “Sriwijaya” itu sendiri. Karenanya, pun terjadi tumpang tindih antara nama “Sribhoja” dan “Sriwijaya”, kedua nama ini sebetulnya saling terhubung – dan, karenanya, dua nama ini sama-sama butuh untuk dikenali dan dipahami.

Keterkaitan dua nama ini yang sesungguhnya membuat bahasan ini menjadi sangat menarik: walau pada awalnya kita membahas ketepatan tentang “identifikasi nama”, yang membawa kita pada posisi benar-dan-salah,  pada akhirnya hubungan antara dua nama inilah yang justru dapat memperjelas eksistensi dari kerajaan yang kita kenal sebagai “Sriwijaya”. Lalu, bagaimana kita dapat meluruskan misidentifikasi yang terjadi?

Kunci dari permasalahan misidentifikasi yang terjadi sesungguhnya berada dalam catatan biksu I-tsing/Yijing, di mana beliau menyebutkan dua nama: “Shih-li-fo-shih” dan “Fo-shih”. Dari penyebutan dua nama inilah, nama “Sribhoja” dan “Bhoja” didapatkan. Menariknya, walau buku biksu I-tsing/Yijing sendiri diterjemahkan oleh sensei Junjiro Takakusu, keterangan terkait permasalahan “nama” ini sebetulnya justru diberikan oleh Herr. Hirth dan Mr. Rockhill dalam buku terjemahan mereka, Chau Ju-kua: on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries (1911):

Dari keterangan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill, kita dapat melihat bagaimana nama “Shi-li-fo-shi” dihubungkan dengan nama “Sribhoja” dan, lalu kemudian, dengan nama “Serboza” (Sribuza - versi monsieur Cœdès). Namun, yang mungkin luput untuk dipahami di sini adalah, baik Herr. Hirth dan Mr. Rockhill serta Takakusu sensei sebetulnya tidak hanya menghubungkan nama-nama ini, sebagaimana yang juga dilakukan oleh monsieur Cœdès, tetapi juga menghubungkan nama “Fo-shi” dengan “Bhoja” – dan dengan sendirinya dengan “Boza” (Ser-boza).

Hal inilah yang justru luput untuk disertakan dalam keseluruhan pembahasan tentang “Sriwijaya” – sesuatu yang terbilang sangat sederhana, tetapi imbasnya cukup signifikan dalam memahami tentang kerajaan “Sriwijaya”. Nama “Fo-chi” (Fo-shi) sendiri bukan tidak dihubungkan dengan Sriwijaya. Adalah Mr. John Vivian Gottlieb (JVG) Mills dalam buku terjemahan Ying-yai Sheng-lan versi beliau, The Overall Survey of the Ocean’s Shores (1970), yang menghubungkan nama ini dengan “Sriwijaya” (hal. 98) – walau dengan menghilangkan awalan “Sri” di depan nama tersebut:

Keterangan Mr. Mills yang menghubungkan antara
Keterangan Mr. Mills yang menghubungkan antara "Fo-chi(-hu)" dengan "Vijayo" (Wijaya - Dokpri)

Pertanyaannya sampai di sini, tentu, mana nama yang sebetulnya berhubungan dengan nama Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza? Sejujurnya untuk mencari tahu nama asli dari Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza, secara adil, kita butuh untuk melihat sumber-sumber yang disertakan Herr. Hirth dan Mr. Rockhill. Dengan melihat sumber-sumber tersebut, kita akan memahami “argumen” yang membuat Herr. Hirth dan Mr. Rockhill menghubungkan nama-nama itu dengan “Sribhoja” dan juga dengan “Bhoja”. Sayangnya, hal ini jelas membutuhkan waktu dan, mungkin juga, pendanaan – sesuatu yang tidak saya miliki untuk saat ini.

Namun, pun dengan perbedaan-perbedaan yang ada, terdapat satu kesamaan di antara keterangan-keterangan ini. “Kesamaan” inilah yang sebetulnya cukup jelas dari keseluruhan pembahasan yang telah diberikan, yaitu terkait penggunaan kata “Sri”. Dan sebab penggunaan kata “Sri” yang sama-sama terdapat dalam kata “Sribhoja” dan “Sriwijaya” serta (sepertinya) sama-sama dapat dilesapkan menjadi “Bhoja” dan “Wijaya” (Vijaya), secara logis, kata inilah yang (mungkin) seharusnya dipahami terlebih dahulu.

Penggunaan Kata "Sri"

Sebagai pengguna bahasa Indonesia – bahasa yang banyak meminjam dari bahasa Sanskerta, penggunaan kata “Sri” ini sepatutnya menjadi bagian yang cukup menarik perhatian kita – setidaknya di tahap awal. Mengapa? Sebab, penggunaan kata “Sri” sebagai “gelar” cukup dikenal oleh masyarakat Asia Tenggara, termasuk di Indonesia – khususnya sebagai gelar kebangsawanan Jawa. Yang paling terkenal, tentu saja, gelar “Sri Sultan” yang diberikan pada raja-raja Jawa yang dimuliakan, dengan salah satu rajanya pada saat ini: paduka yang mulia Sri Sultan Hamengkubuwana X. Ada lagi, contoh lainnya, penggunaan gelar kehormatan “Sri Baginda” dan “Sri Paduka” - di mana yang terakhir ini, menurut situs Wikipedia, merupakan “kata ganti orang ketiga tunggal untuk menyebut Adipati Mangkunagaran atau Adipati Pakualaman” (laman Gelar Kebangsawanan Jawa, pada bagian Penguasa - dilihat: 30/09/2024). 

Sejujurnya, penulis kurang begitu mengerti penggunaan dari gelar-gelar ini. Dan, untuk itu, tidak etis rasanya jika saya menulis dengan gaya tulisan seolah-olah penulis memahami penggunaan dari gelar-gelar ini. Ada banyak sumber yang mungkin dapat ditemukan dalam mesin pencarian daring. Namun, sayangnya, sumber-sumber yang penulis temukan tidak secara khusus membahas tentang gelar “Sri”. Yang karenanya pada tulisan ini, gelar-gelar tersebut, pada akhirnya, hanya semata disajikan sebagai contoh bahwa: orang-orang Indonesia mengenal penggunaan kata “Sri” sebagai “gelar” – ini bagian yang harus diingat.

Dan bukan hanya di Indonesia, penggunaan kata “S(h)ri” sebagai “gelar kehormatan”, khususnya yang berada di depan (awalan/prefiks) sebuah nama, juga dikenal di kalangan orang-orang Asia Tenggara, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia. Namun, sepertinya, penggunaan gelar kehormatan ini tidak lagi digunakan di Thailand dan Filipina, sebab contohnya sangat sulit untuk ditemukan – setidaknya bagi penulis yang melakukan pencarian cepat.

Baik di Thailand dan Filipina, penggunaan kata “Sri” ini dapat ditemukan pada raja-raja jaman dahulu, seperti pada nama Śrī Indrāditya (Si Inthrathit) pendiri kerajaan Sukhotai di Thailand dan pada nama Sri Rajahmura Lumaya (Sri Lumay) pendiri kerajaan Cebu di Filipina. Sedangkan di Malaysia, penggunaan gelar kehormatan ini masih dapat ditemukan hingga kini, seperti pada gelar-nama yang dimuliakan Dato' Sri (Datin Sri) Siti Nurhaliza binti Tarudin, yang mulia Datuk Seri Utama Haji Anwar bin Ibrahim, dan juga pada gelar para penguasa negara bagian Malaysia: Seri Paduka Baginda (Yang di-Pertuan Agong).

Penggunaan gelar yang hampir sama juga digunakan di Brunei Darussalam, seperti pada yang mulia Paduka Seri Begawan Sultan Haji Omar 'Ali Saifuddien Sa'adul Khairi Waddien, gelar ayahanda dari Sultan Brunei; yang mulia Paduka Seri Baginda Sultan Hassanal Bolkiah. Dan, sebagaimana yang terjadi dengan contoh-contoh penggunaan gelar kehormatan ini di Indonesia, penulis juga secara jujur mengakui tidak mengetahui secara pasti aturan-aturan penggunaan gelar-gelar ini. Adapun, gelar-gelar ini disertakan tidak lain sebagai contoh bahwa, seperti Indonesia, gelar “Sri” ini juga dikenal – dan bahkan masih digunakan di beberapa kawasan di Asia Tenggara.

Penggunaan gelar-gelar yang menggunakan kata dalam bahasa Sanskerta ini yang kembali menghubungkan India dengan Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Kata ini diambil dari bahasa Sanskerta “श्री” (Shri) dan, menurut kamus bahasa Sanskerta Sir Monier Williams (A Sanskrit-English Dictionary, 1872), kata ini memiliki beberapa arti.

Sejujurnya, tidak mudah memahami arti kata ini dalam kamus yang disusun oleh Sir Williams, sebab arti katanya lumayan banyak. Yang pasti, kata ini memang digunakan di depan (awalan atau prefiks) nama  dewa-dewa (deities), orang-orang yang dihormati, karya-karya agung (seperti buku Sri-Bhagavata atau Bhagavata Purana), dan benda-benda sakral/keramat sebagai gelar pemujaan atau kehormatan (honorific or respectful prefix - hal. 1025).

Arti dan penggunaan kata
Arti dan penggunaan kata "Sri" dalam kamus Sir Sir Monier Williams (Dokpri)

Gelar kehormatan “Sri” sepertinya sudah sangat lama digunakan. Contohnya, gelar kehormatan ini terukir pada prasasti peninggalan kerajaan jaman dahulu di India, seperti yang dapat ditemukan dalam prasasti Prayag (Prayag Prashasti) yang dipahat di tiang (pilar) Allahabad. Pada prasasti yang disebut-sebut diukir oleh penyair dan menteri Sri Harishena atas perintah maharaja Samudragupta yang berkuasa pada abad ke-4 Masehi ini, kita dapat menemukan gelar “Maharaja Sri Gupta” – pendiri dinasti Gupta di India. Dalam situs Wikipedia tentang raja ini, raja Gupta (Gupta [king]), terdapat penjelasan bahwa gelar tersebut juga diberikan pada dua nama lain dalam prasasti yang sama, yaitu Sri Gatotkaca dan Sri Chandragupta. Sayangnya, berbeda dari keterangan yang ada pada gelar maharaja Sri Gupta, bagian ini tidak diperlihatkan secara langsung atau dijelaskan lebih lanjut.

Sedikit catatan, situs tersebut juga menyebutkan bahwa, pada awalnya, gelar “Sri” dianggap sebagai (bagian) “nama” dari maharaja Gupta (Sri Gupta) – belakangan, baru diketahui bahwa kata “Sri” tidak lain merupakan suatu “gelar kehormatan” dan bukan bagian dari nama sang maharaja agung (dilihat pada 16/07/2024). Bagian ini yang sebenarnya cukup penting untuk disimak – tentu, dengan penelusuran lebih lanjut dan sumber yang lebih spesifik.

Penggunaan gelar
Penggunaan gelar "Sri" (श्री) di depan nama Maharaja Samudragupta - Wikipedia “Samudragupta” (Dokpri)

Keterangan terkait gelar “Sri” yang pada awalnya dianggap sebagai bagian dari nama maharaja Gupta (Sri Gupta) yang terdapat dalam situs Wikipedia “Gupta (king)” mengacu pada penjelasan yang diberikan guru Ashvini Agrawal dalam bukunya, Rise and Fall of the Imperial Guptas (1989, hal 84-85). Sayangnya, penulis tidak berhasil membaca isi dari sumber ini. Karenanya, penulis tidak dapat menyertakan dan membahas tentang keterangan beliau. Pun demikian, terdapat keterangan mengenai hal yang serupa dalam buku Corpus Inscriptionum Indicarum Vol. III: Inscriptions of the Early Gupta Kings and Their Successors (1888) karya Mr. John Faithfull Fleet. Dalam bukunya, Mr. Fleet membahas terkait penggunaan kata "Sri" di depan nama (maharaja) "Gupta":

Pembahasan Mr. Fleet terkait penggunaan kata
Pembahasan Mr. Fleet terkait penggunaan kata "Sri" dalam bukunya (Dokpri)

Dalam bukunya, Mr. Fleet menerangkan bahwa Mr. VA Smith, yang menulis buku The Early History Of India, menyarankan (menyimpulkan) bahwa nama maharaja Gupta bukanlah hanya “Gupta” semata, tetapi “Srigupta”. Dalam kasus ini, partikel “Sri” menjadi bagian dari nama “Gupta” – dan bukan suatu gelar. Menurut argumentasi Mr. Smith, hal ini dikarenakan bentuk lampau “Gupta”, yang berarti “dilindungi”, tidak dapat berdiri sendiri untuk sebuah nama. Berbeda jika nama ini ditambahkan awalan “Sri”, nama ini akan berarti “(yang) dilindungi (dewi) Sri (= Dewi Padi) atau dewi Laksmi”. Dalam pandangan Mr. Smith, hal ini akan membuat nama ini memiliki suatu pemaknaan yang utuh.

Mr. Fleet, dalam sanggahannya, menerangkan bahwa kata “Gupta”, dalam bentuk (lampau) serta arti yang sama, dapat digunakan sebagai “nama” secara independen - seperti pada nama biksu Buddha yang legendaris, biksu Upagupta. Beliau melanjutkan, bahwa saat awalan “Sri” menjadi bagian dari suatu nama yang dianggap penting, kebiasaan yang berlaku untuk menghapus keragu-raguan terhadap awalan itu adalah dengan tetap menambahkan awalan “Sri” di depan nama tersebut (bagian: The Gupta Inscriptions; No. 1, Plate I – hal. 9). Bagian ini yang mungkin perlu digarisbawahi.

Beliau mencontohkan, gelar “Sri” tetap ditambahkan di depan kata (nama?) “Srimati” dalam: “mahadevyam sri-Srimatyam = utpannah” (yang dilahirkan dari Mahadewi, Srimati yang agung) atau dalam “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur) -  di mana kata “Sri” beliau terjemahkan menjadi “yang agung” dan “yang termasyhur”. Dan, dengan dua contoh ini, beliau menerangkan jika nama maharaja “Gupta” adalah “Srigupta”, maka kata “Sri” sebagai gelar kehormatan akan tetap ditambahkan di depan nama ini, menjadi: Sri-Srigupta. Akan tetapi, bentuk ini tidak ditemukan pada awal peninggalan-peninggalan tertulis dinasti Gupta (Early Gupta inscriptions).

Dalam keterangan yang diberikan Mr. Faithfull Fleet, kita dapat melihat adanya dua pendekatan dalam penggunaan elemen/kata “Sri” di depan nama. Pendekatan pertama, atau pendekatan Mr. VA Smith, mengacu pada pendekatan “makna” – di mana beliau menekankan pada “arti nama”. Sedangkan, pendekatan kedua, atau pendekatan Mr. Fleet, mengacu pada “aturan penggunaan” dari kata/gelar “Sri” – di mana beliau tidak menekankan pada “arti” dari kata/nama yang digunakan, tetapi lebih kepada kebiasaan atau aturan dari penggunaan gelar “Sri” itu sendiri. Dua pendekatan ini sebetulnya dapat digunakan untuk memahami permasalahan bahasa dalam penggunaan nama “Sriwijaya”.

Di Indonesia, kecenderungan pendekatan dalam memahami nama “Sriwijaya” menggunakan pendekatan pertama atau pendekatan yang berbasis “makna kata” – di mana kata “Sri” yang berarti “cahaya” atau “bercahaya” digabungkan dengan kata “Wijaya” yang berarti kemenangan (Sriwijaya = kemenangan yang gemilang). Pendekatan ini, terlepas benar-dan-salah, sebetulnya hanyalah salah satu pendekatan yang ada. Lalu, bagaimana dengan pendekatan yang kedua?

Di sini, kita akan mencoba menggunakan pendekatan yang diberikan oleh Mr. Fleet. Namun, sebab Mr. Fleet sebetulnya menggunakan “aturan” yang didapatkan dari “kebiasaan”, yang pertama-tama perlu ditemukan justru kebiasaan penggunaan kata “Sri” itu sendiri – di sini khususnya dalam prasasti-prasasti atau peninggalan-peninggalan tertulis di era yang sama atau berdekatan dengan yang ditemukan di India, dengan satu pertanyaan: apakah kebiasaan atau aturan ini berlaku secara umum – termasuk di Indonesia?

Pada abad-abad yang berdekatan dengan penanggalan prasasti Prayag (Prayag Prashasti) yang terukir di tiang (pilar) Allahabad atau sekitar abad ke-4 Masehi di India, penggunaan gelar kehormatan serupa juga terekam dalam tugu-tugu batu bertulis yang ditemukan di nusantara dan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa prasasti di Indonesia – setidaknya, sejauh penulis amatir ini dapat temukan. Salah satunya pada prasasti Yupa yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi.

Pada prasasti ini, kita dapat menemukan gelar ini pada nama (gelar?) raja Mulawarman (Sri Mulawarman) – raja agung kerajaan Kutai Martapura. Selain dalam prasasti Yupa, satu contoh lain yang bisa diberikan tertera dalam prasasti Talang Tuo yang bertahun 684 Masehi (Saka 606), yaitu pada nama Sri Jayanasa/Sri Jayanaga (śrī Jayanāca) sendiri – sosok raja agung yang mulia, yang disebut-sebut sebagai, pendiri kemaharajaan Sriwijaya.

Sedikit catatan, contoh-contoh yang disajikan di sini hanya berbatas pada nama-nama yang dianggap “nama (personal)” dan bukan “gelar”, seperti gelar “Sri” di depan gelar “Maharaja” (Sri Maharaja - śrī mahārāja) yang disebutkan dalam prasasti Ligor (B) bertarikh Saka 697. Dan, dua contoh yang digunakan hanya yang terdapat “transliterasi” dari transkripsi (tulisan) aslinya. Contoh-contoh yang disajikan juga berbatas pada tahun-tahun yang berdekatan dengan penanggalan prasasti Prayag (Prayag Prashasti) di India - atau sekitar abad ke-4 Masehi. Contoh lain yang bisa diberikan, jika cakupan penanggalannya diperluas, sebetulnya termasuk penggunaan gelar “Sri” di depan nama “Haridewa” (Sri Haridewa) yang disebutkan dalam prasasti Hujung Langit yang menyebutkan tahun Saka 919.

Jika cakupannya bisa diperluas atau ada informasi terkait sumber-sumber lain beserta transkripsi asli yang belum disertakan, mungkin contohnya bisa semakin banyak. Adapun, kedua contoh yang disajikan terakhir ini menunjukkan secara sederhana bahwa penggunaan gelar kehormatan “Sri” dikenal di Indonesia pada masa-masa yang berdekatan dengan prasasti Prayag di India, masih digunakan 300 tahun kemudian, dan bahkan hingga masa ini. Dalam artian lain, gelar kehormatan ini sudah dikenal dan digunakan di nusantara selama (lebih-kurang) 1400 tahun.

Penggunaan Gelar "Sri" dalam Catatan Sejarah Cina dan Narasi Bhoja-Melayu

Selain dalam prasasti-prasasti, penggunaan gelar “Sri” sebetulnya juga terekam pada catatan-catatan sejarah Cina – tetapi, tentu, tidak dalam bentuk (aksara) aslinya. Untuk melihat hal ini, cara termudah adalah kembali pada catatan biksu I-tsing/Yijing sebagaimana yang diterangkan oleh Takakusu Junjiro sensei. Dalam bukunya, sensei Takakusu menerangkan bahwa ibu kota kerajaan yang saat ini kita kenal sebagai “Sriwijaya” dari awal disebut sebagai “Bhoja”. Akan tetapi, saat terjadi perluasan kerajaan hingga mencapai wilayah Malayu (Mo-lo-yu), entah melalui penaklukan atau penggabungan secara sukarela, nama seluruh kerajaan berganti  menjadi “Sribhoja”. Bagian ini cukup jelas dalam keterangan yang diberikan oleh Takakusu sensei.

Namun, satu hal yang mungkin luput untuk dipahami di sini adalah: sebagaimana nama “Melayu” sebetulnya tidak hanya dipahami sebagai nama wilayah, tetapi juga pada nama suku (orang-orang Melayu), nama “Bhoja” sebetulnya tidak hanya mengarah pada nama wilayah, tetapi juga pada nama suku (orang-orang Bhoja). Nama ini khususnya dikenal di India. Karenanya, peristiwa nama Melayu menjadi “Sribhoja” sebetulnya tidak hanya bercerita tentang perluasan (ekspansi) kerajaan, tetapi diam-diam juga bercerita tentang menyatunya/meleburnya/bercampurnya orang-orang Melayu dengan orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang Bhoja (Hal. xl).

Peristiwa bersatunya orang-orang Bhoja dan Melayu menjadi Sri Bhoja (Dokpri)
Peristiwa bersatunya orang-orang Bhoja dan Melayu menjadi Sri Bhoja (Dokpri)

Pada masa ini, kita jelas mengenal suku/bangsa atau orang-orang Melayu. Dan, sebab nama suku ini cukup dikenal di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, kita atau penulis mungkin tidak perlu lagi memperkenalkan siapa orang Melayu. Namun, berbeda halnya dengan orang-orang “Bhoja”. Jika kita bertanya kepada orang-orang Indonesia: siapa orang-orang Bhoja yang dikenal dalam catatan sejarah dunia mengenai nusantara, mungkin tidak banyak yang mengetahui tentang eksistensi orang-orang yang disebut sebagai “Bhoja” ini di Indonesia. Padahal, sebagaimana keterangan yang diberikan oleh biksu I-tsing/Yijing dan lalu dijelaskan kembali oleh sensei Takakusu, orang-orang nusantara pada masa-masa Sriwijaya kemungkinannya justru lebih dikenal sebagai orang-orang “Bhoja” ketimbang “Melayu” – yang karenanya, kerajaannya/wilayahnya disebut sebagai “Sri Bhoja”.

Permasalahan ini sebetulnya tidak lebih dari permasalahan bahasa semata – atau, lebih tepatnya, permasalahan “nama”. Namun, berbanding terbalik dengan nama “Melayu” yang lebih dikenal di Indonesia dan sekitarnya, nama “Bhoja” seakan-akan menghilang begitu saja. Padahal, nama ini masih digunakan sebagai nama kabupaten di Indonesia. Takakusu sensei bahkan menghubungkan nama ini dengan “Surabaya” – entah bagaimana hubungannya:

Nama Surabaja (Surabaya) dan Boja-nagara (Bojonegoro) yang dihubungkan dengan (orang-orang) Bhoja (Dokpri)
Nama Surabaja (Surabaya) dan Boja-nagara (Bojonegoro) yang dihubungkan dengan (orang-orang) Bhoja (Dokpri)

Berbeda dengan nama “Bojanagara” (Bojonegoro), di mana kata/nama “B(h)oja” menjadi bagian dari nama tersebut, memahami bagaimana nama “Bhoja” dikaitkan dengan “Surabaya” tentu jauh lebih sulit. Apakah kata “-baya” dalam kata “Surabaya” berasal dari kata “B(h)oja”? Lalu, aturan apa yang melandasi perubahan atau adakah bukti kebiasaan/pola/tradisi yang mengubah huruf “j” menjadi “y” yang membuat elemen “-baya” (bisa dibuktikan) memang berasal dari kata “B(h)oja”? Sejujurnya, penulis tidak mengetahui permasalahan ini. Hanya saja, sedikit catatan, bahasa Madura untuk Surabaya adalah “Sorbhâjâ”. Apakah hal ini cukup membuktikan hubungan yang ada? Entahlah...

Bahasa Madura untuk Surabaya (Dokpri)
Bahasa Madura untuk Surabaya (Dokpri)

Kembali pada pembahasan tentang “Sri” pada nama “Sribhoja” atau bahkan pada nama “Sriwijaya”, penggunaan partikel “Sri” di depan kedua nama ini merupakan dua bagian yang sebetulnya cukup tidak terbantahkan – sebab keduanya memang diawali dengan kata “Sri”. Sayangnya, jika aksara asli (Sanskerta) dari nama asli “Sriwijaya” cukup mudah ditemukan, yaitu “श्रीविजय”, berbeda halnya dengan nama asli dari “Sribhoja”. Bentuk asli dari nama ini sulit penulis temukan, bahkan dari buku-buku yang menyebutkan tentang nama ini. Namun, jika – dan hanya “jika” – nama Sanskerta dari “Sribhoja” mengikuti pola yang sama dengan aksara Sanskerta yang ada pada “Sriwijaya” , kata “Sri” yang digunakan kemungkinan tetap menggunakan bentuk “श्री” – sebagaimana yang dapat kita temukan pada nama “Sriwijaya” (श्रीविजय).

Aksara Sanskerta “श्री” (Sri) inilah yang lalu kemudian bertransformasi/diterjemahkan/dialih-aksarakan menjadi “尸利” (Shī lì) dalam catatan biksu I-tsing/Yijing. Sedikit catatan, dalam situs Wikipedia “Sanfotsi”, nama “Shi-li-fo-shi” ditulis dalam aksara Cina menggunakan bentuk “室利佛逝” (Shì lì fó shì). Namun, bentuk ini berbeda dengan bentuk yang tertera pada buku Takakusu sensei, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Bentuk yang tertera pada buku beliau adalah: “尸利佛逝國”(secara harfiah: Shī lì fó shì guó - hal. xxxix). Walau perbedaan ini menimbulkan tanya tersendiri, baik bentuk “室利”(Shì lì) maupun “尸利”(Shī lì) tetap sama-sama merujuk pada kata “Sri” (श्री) dalam bahasa Sanskerta.

Bentuk
Bentuk "尸利佛逝國" yang ditemukan dalam buku sensei Takakusu (Dokpri)

Satu hal yang menarik dari alih aksara kata “Sri” dari bentuk Sanskerta “श्री” menjadi bentuk “室利” atau “尸利”(Shī lì) dalam aksara Cina sejatinya mempunyai terapan yang mirip-mirip dalam bahasa Thailand. “Sri” (श्री) dalam bahasa Sanskerta ditulis sebagai “ศรี” (Ṣ̄rī) tetapi dilafalkan menjadi “Si” (สี) dalam bahasa Thailand. Penggunaan kata “ศรี” (Sri) yang dilafalkan menjadi “Si” (สี) ini hampir mirip dengan alih aksara kata “Sri” (श्री) menjadi “Shī lì” (室利 atau 尸利) dalam bahasa/aksara Cina. Sedangkan, contoh penggunaan kata “Sri” sebagai gelar kehormatan juga masih dikenali di Thailand, seperti di depan nama pendiri kerajaan Sukhotai di Thailand, Śrī Indrāditya (ศรี-อินทราทิตย์) – yang dibaca menjadi “Si Inthrathit” dalam bahasa Thailand. Selain sebagai gelar kehormatan raja terdahulu, penggunaan gelar ini juga dapat ditemukan pada nama-nama tempat di Thailand. Beberapa nama tempat yang menggunakan gelar “Sri” adalah:

  • Nakhon Si Thammarat (นคร “ศรี” ธรรมราช) yang berasal dari bahasa Pali: Nagara Sri Dhammaraja (Negara Sri Darmaraja). Sedikit catatan, nama “Darmaraja” juga digunakan sebagai nama kecamatan di wilayah Sumedang, Jawa Barat
  • Sisaket, nama wilayah (provinsi dan kota) di Thailand. Asal-usul nama ini masih sulit ditemukan oleh penulis. Namun, elemen “Sri” (ศรี) masih dapat ditemukan dalam nama ini (“ศรี”สะเกษ – Si Sa Ket)
  • Si Racha adalah nama distrik sekaligus nama subdistrik dan kota di Thailand. Nama ini asalnya dari bahasa Sanskerta, “Śrī Rāja”, yang datang melalui bahasa Pali dan lalu bertransformasi ke dalam bahasa Thailand menjadi “Si Racha” (“ศรี”ราชา). Di sini, kita bukan saja melihat bagaimana “Sri” menjadi “Si”, tetapi bagaimana gelar “Sri” digunakan di depan gelar “Raja” – sebagaimana yang juga ditemukan dalam prasasti-prasasti (Sri Maharaja) dan, sebetulnya, masih digunakan di kawasan Asia Tenggara seperti pada gelar Sri Sultan, Seri Paduka, dan sebagainya

Dari keterangan-keterangan yang telah diberikan, kita dapat melihat bahwa penggunaan kata “Sri” di depan “nama” umumnya merujuk pada suatu “gelar kehormatan” atau, katakanlah, suatu “tanda penghormatan”. Tradisi ini dapat ditemukan di kawasan Asia Selatan hingga ke Asia Tenggara (terutama di masa lalu) dan bahkan terekam dalam catatan-catatan sejarah sejauh Cina (室利 - 尸利 = Shī lì) dan Arab-Persia (Sar/Ser/Sri dalam Sarbaza/Serboza/Sribuza). Dan, sebagaimana contoh yang telah diberikan, tradisi ini sebetulnya tetap bertahan di beberapa negara di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dari contoh-contoh ini, dapatkah dikatakan bahwa “tradisi” ini khususnya bertahan di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya berbicara dalam bahasa Melayu? Dan, sebagaimana gelar ini berasal dari India (Asia Selatan), penggunaan gelar yang sama juga masih diterapkan di India, seperti di depan nama perdana menteri India saat ini Shri Narendra Modi.

Dari contoh-contoh yang telah diberikan, kita dapat melihat penggunaan gelar/sebutan/tanda kehormatan “Sri” yang sudah bertahan sangat lama di wilayah Asia Selatan dan Tenggara – setidaknya, sudah lebih dari 1000 tahun gelar ini digunakan di kawasan-kawasan tersebut. Disebabkan rentang waktu yang cukup panjang ini dan pergerakan manusianya dalam jangka waktu tersebut, penggunaan gelar itu sendiri menjadi tidak terbatas pada satu bahasa saja, tetapi juga bertransformasi dan/atau beradaptasi dengan bentuk bahasa-bahasa lainnya. Dalam artian, kata yang awalnya memiliki bentuk Sanskerta “श्री” ini pada akhirnya memiliki bentuk “ꦱꦿꦶ” dalam bahasa Jawa, “سري” dalam bahasa Jawi, “ศรี” dalam bahasa Thailand,  “室利” atau “尸利” dalam bahasa Cina, dan mungkin bentuk-bentuk lain dalam bahasa-bahasa lainnya. Lalu, apa yang bisa kita dapatkan dari temuan-temuan ini?

Temuan-temuan penggunaan kata “Sri”, dalam beragam bentuknya, sebagai suatu “gelar kehormatan” yang digunakan bukan saja di Indonesia tetapi juga di Asia Tenggara, termasuk dalam prasasti-prasasti, sebetulnya memberikan landasan bagi kita untuk mempertanyakan peran elemen “Sri” di depan “Sriwijaya” dan juga “Sribhoja”:

Apakah elemen “Sri” di depan kedua nama ini merupakan bagian dari “nama” ataukah elemen tersebut digunakan sebagai gelar kehormatan?

Penggunaan elemen “Sri” di depan nama “Sribhoja” sebetulnya jauh lebih memberi kepastian, sebab catatan biksu I-tsing/Yijing yang diterjemahkan oleh sensei Takakusu menerangkan bagaimana perluasan wilayah Bhoja hingga ke Malayu (Melayu) mengubah nama wilayah atau kerajaan(?) ini menjadi “Sri Bhoja”. Di sini, penggunaan gelar “Sri” mengindikasikan kemasyhuran/keluasan/keagungan dari wilayah atau kerajaan(?) Bhoja, atau dalam bahasa Inggris: “The Great Bhoja”, sebagai hasil dari perluasan wilayah itu sendiri. Penerjemahan ini mengikuti contoh yang diberikan oleh Mr. Fleet dalam menerjemahkan elemen "Sri" dalam "sri-Srimatyam = utpannah” (yang dilahirkan dari Mahadewi, Srimati yang agung) dan “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur) menjadi "glorious" (sederhananya: yang agung) dan “famous" (yang termasyhur).

Tetapi, tentu, pertanyaannya adalah: apakah hal yang sama dapat diterapkan pada nama “Sriwijaya”? Dengan temuan pola/kebiasaan/tradisi penggunaan gelar “Sri” di depan nama yang diagungkan di kawasan Asia Tenggara, sebagaimana yang juga dapat ditemukan di India – baik pada masa kini hingga masa lampau, setidaknya hal ini dapat memberikan legitimasi (pembenaran) yang baik terhadap pendekatan kebiasaan penggunaan gelar “Sri” untuk diterapkan pada nama "Sriwijaya". Dalam artian:

Jika gelar “Sri” adalah suatu keharusan dalam menyebutkan suatu nama yang diagungkan, bukankah kata “Sri” seharusnya juga digunakan di depan nama “Sriwijaya” menjadi: Sri Sriwijaya – sebagaimana gelar ini tetap ditambahkan di depan kata (nama?) “Srimati” atau di depan kata "Sripathayam"? Alasan inilah yang digunakan oleh Mr. Faithfull Fleet dalam menerangkan bahwa elemen “Sri” bukanlah bagian dari nama “Gupta”, sebab jika elemen ini adalah bagian dari nama “Gupta”, maka gelar “Sri” tetap akan ditambahkan pada nama tersebut, menjadi: “Sri Srigupta”. Lalu, apakah hal ini juga berlaku pada nama “Sriwijaya”?

Pada titik ini, penulis ingin mengingatkan bahwa, sebelum kita menerima atau menolak argumen yang diberikan Mr. Fleet, mungkin kita terlebih dahulu ingin mempertimbangkan pendekatan yang beliau gunakan. Hal ini disebabkan pendekatan yang dilakukan oleh Mr. Fleet terbilang mengikuti kaidah penalaran yang baik. Dan, dari penalaran tersebut, kita mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan rasional yang dibutuhkan untuk memahami kebenaran secara lebih baik. Sebagai contoh, pendekatan yang beliau gunakan dan contoh-contoh temuan yang telah diberikan membawa kita pada pertanyaan:

  • Bukankah aneh jika gelar “Sri” tetap digunakan pada “nama-nama” yang dimuliakan dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di nusantara dan sekitarnya, tetapi gelar ini justru tidak digunakan pada nama “Sriwijaya” itu sendiri?
  • Dan untuk itu, bukankah akan jauh lebih logis jika awalan “Sri” dalam nama “Sriwijaya”, tidak lain dan tidak bukan, sesungguhnya adalah gelar kehormatan itu sendiri?

Jika memang awalan "Sri" dalam kata "Sriwijaya" sebetulnya merupakan gelar kehormatan, hal ini sesuai dengan tradisi dan kebiasaan dari penggunaan gelar yang ditemukan terbentang dari India ke tanah Jawa (katakanlah: utara-selatan) dan dari Sri Lanka sampai ke Filipina (atau, katakanlah: barat-timur). Dan, berbicara tentang Sri Lanka, Mr. Fleet sebetulnya memberikan contoh bagaimana gelar ini tetap digunakan pada nama tempat “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur). Contoh ini mungkin bisa digunakan untuk dikembangkan lebih lanjut – di sini, tentu dengan catatan: jika nama “Sriwijaya” memang merujuk pada nama suatu tempat/wilayah kerajaan.

Penggunaan Gelar "Sri" pada Nama Tempat

Jika kita mau melihat contoh sederhana, cara yang paling mudah untuk melihat penggunaan gelar "Sri" pada nama tempat terdapat pada laman “S(h)ri” dalam situs Wikipedia. Ini cara paling mudah. Sayangnya, kebanyakan contoh yang diberikan kurang akurat baik secara etimologis maupun historis. Dalam artian, tidak semua kata “Sri” yang dicontohkan dalam nama-nama tempat tersebut merujuk pada gelar “Sri”: ada yang merupakan kependekan dari nama Sang Mahadewa Siwa (Shiva) seperti pada nama “Shimoga”, ada yang terbentuk dari nama dewi kemakmuran (dewi Lakshmi di India atau dewi Sri di Indonesia) seperti pada nama “Srinagar” dan "Seri Menanti", dan sebagainya. Sayangnya juga, tidak semua nama-nama tempat ini menyediakan informasi terkait asal-usul dari nama tersebut, yang semakin mempersulit penelusuran. Tetapi, tetap, terdapat beberapa contoh penggunaan gelar “Sri” di depan nama wilayah yang cukup pasti, seperti pada nama “Sri Lanka”.

Nama “Lanka” sudah cukup lama dikenal sebagai nama tempat, sebab nama ini disebutkan baik dalam kitab Ramayana dan Mahabharata sebagai pulau sekaligus benteng dari raja raksasa Ravana (Rahwana). Penggunaan gelar “Sri” di depan nama “Lanka” ini menjadi contoh yang baik bahwa gelar tersebut dapat diberikan pada nama tempat “Lanka”. Namun, penggunaan nama Sri Lanka sendiri terbilang baru. Situs Wikipedia tentang nama Sri Lanka, Names of Srilanka, menjelaskan bahwa nama ini diperkenalkan oleh partai beraliran Marxisme, yaitu partai Lanka Sama Samaja yang didirikan pada 1935. Sedangkan, penggunaan gelar kehormatan “Sri” di depan nama “Lanka” diperkenalkan oleh partai Sri Lanka Freedom Party yang didirikan pada 1952. Sayangnya, untuk informasi ini, situs tersebut tidak menyertakan sumber-sumber lebih jauh.

Sebelum penggunaan nama ini, Sri Lanka sendiri dikenal oleh para pribumi (penduduk lokal) sebagai Silam, Sihala, dan Sailan, yang lalu diadaptasi oleh orang-orang Portugis yang datang ke negara ini menjadi “Ceilão” mulai dari tahun 1505 – dan, lalu kemudian, disebut Zeilan atau Zeylan dalam bahasa Belanda dan Ceylon dalam bahasa Inggris. Nama “Lanka” sendiri tetap dikenal oleh masyarakat Sri Lanka sejak lama, sebagaimana nama ini dikenal pada abad ke-10 dan 12 M. Yang karenanya, walau penggunaan nama “Sri Lanka” terbilang baru, nama ini telah dipertimbangkan sebagai nama negara tersebut selama sekitar 11 abad.

Masih dari Sri Lanka, satu contoh lain dari nama-nama tempat yang menggunakan gelar kehormatan “Sri” ini, sejauh yang dapat penulis temukan, adalah Sri Jayawardenepura (Jayawardhanapura) Kotte - ibu kota legislatif Sri Lanka. Kota ini disebut-sebut berawal dari perdana menteri raja Vikramabahu III yang berkuasa pada abad ke-14, yaitu Nissaka Alakesvara, yang mendirikan “benteng” (kotte) di tempat tersebut. Pada masa penaklukan tempat ini oleh kerajaan Jaffna di bawah raja Sapumal pada sekitar tahun 1391, kota ini diberi nama “Sri Jayawardenepura”.

Selain di Asia Selatan, penggunaan kata “Sri” juga ditemukan pada nama-nama tempat di Asia Tenggara, seperti pada nama ibu kota Brunei Darussalam: Bandar Seri Begawan – di mana “Bandar”, yang awalnya bermakna “pelabuhan”, diartikan sebagai “kota” dan “(sri) begawan”, yang diberkahi, merujuk pada anggota kerajaan yang telah pensiun (turun tahta). Karenanya, Bandar Seri Begawan bermakna “kota orang-orang (terutama mantan sultan) yang diberkahi” – dengan gelar kehormatan “Seri” ditempatkan di depan kata/nama/gelar “begawan”, yang berasal dari kata Sanskerta untuk “Tu(h)an” (भगवान = bhagavān). Contoh lain, yang datangnya dari dalam negeri sendiri adalah Siak Sri Indrapura, ibu kota kabupaten Siak di Riau. Sayangnya, penulis belum/tidak menemukan informasi terkait asal-usul nama ini. Dan karenanya, serta sayangnya, nama ini sulit untuk dijadikan contoh.

Ada satu hal unik yang mungkin patut disertakan dalam tulisan ini. Kata “pura” yang berada di akhir nama “Jayawardenepura” dan "Indrapura" sebetulnya mengikuti suatu tradisi yang dapat ditarik jauh ke masa dinasti Gupta di India. Menurut situs Wisdomlib.org, kata “pura” (पुर) yang berasal dari bahasa Sanskerta ini dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan tertulis dinasti Gupta yang berkuasa pada abad ke-3 Masehi. Akhiran yang diletakkan di akhir nama-nama tempat ini sejatinya bermakna “benteng” atau “tempat perlindungan” (rampart, fort, or stronghold) pada bagian-bagian akhir kesusastraan Veda (Weda). Menurut situs ini, kata “pura” yang bermakna “kota” atau semata mengindikasikan suatu “tempat” merupakan suatu perkembangan baru dan tidak digunakan pada (masa) kesustraan Veda (Weda). Namun, masih dalam penjelasan situs tersebut, kata ini tetap dapat bermakna "kota", dengan mengutip penjelasan Mr. Thomas Burrow.

Menurut Mr. Burrow, kata "pura" berasal dari kata "√pri" yang berarti "mengisi" (to fill). Kata ini dieja dalam dua bentuk: "pur" dan "pura". Kata "pur" (kota) berasal dari "puru" (banyak) dan "purna" (penuh) yang bermakna "memenuhi" (plentitude - dalam konteks ini, penuh orang atau multitude of settlers). Contoh yang diberikan terkait kata "pura" ini dalam situs tersebut, di antaranya, adalah: "Simhapura/Sinhapura" atau secara harfiah "Singapura", "Peshawar" dari nama "Purushapura" (kota laki-laki atau kota Purusha), dan bahkan "Lahore" yang diduga berasal dari nama "Lavapura" (kota [pangeran] Lava). Hal ini menjadi menarik, sebab di India ada desa yang diberi nama "Bhojapura". Jika kita menggunakan arti nama "pura" yang digabung dengan nama "Bhoja", kita akan mendapatkan makna "kota Bhoja". Pemaknaan ini sesungguhnya mirip dengan makna "Bojanagara" (Bojonegoro) atau "negara Boja".

Satu hal lain, dalam catatan biksu I-tsing/Yijing terdapat wilayah yang disebut "Fo-shih-pu-lo", yang oleh  Takakusu sensei diartikan sebagai "Bhoga-pura" - di mana kata "Fo-shih" (佛逝) beliau artikan sebagai "Bhoga" (Bhoja) dan "Pu-lo" sebagai "pura". Penggunaan ejaan Cina "pu-lo" yang diartikan sebagai bahasa Sanskerta "pura" tidak hanya ditemukan dalam tulisan beliau, tetapi juga dijelaskan dalam the Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland - Volume Seventeenth (1860, hal. 106). Dengan keterangan yang telah diberikan, kita dapat menyimpulkan bahwa: Fo-shih-pu-lo = Bhojapura = Bojanagara. Walau mungkin lokasi wilayah ini pada masa itu tidak berada di Jawa Timur, tetapi orang-orangnya tetap disebut "orang Bhoja". Dan, sebagaimana kata "pura" yang terletak di belakang nama-nama ini, begitu juga dengan kata "pura" yang ada dalam nama “Jayawardenepura” dan "Indrapura", bukan?

Jika kata (elemen) “pura” (पुर) dalam Indrapura berarti "benteng" atau "kota", maka nama ini akan bermakna benteng/kota Indra. Namun, pun kita temukan arti dari nama ini, tetap saja sulit memahami "Indra" yang dimaksud dalam nama tersebut: apakah “Indra” di sini merupakan nama pribadi seseorang atau merujuk pada hal lain? Dan, jika nama “Indra” memang sebuah “nama”, nama siapa yang sebetulnya digunakan: apakah Indra yang dimaksud adalah dewa Indra ataukah nama ini adalah nama dari seorang raja agung? Yang pasti, dari keterangan terkait elemen atau kata “pura”, kita dapat memahami bahwa nama ini merujuk pada kota atau benteng Indra.

Sedikit berbeda dengan nama "Indrapura", nama “Jayawardenepura” sedikit membawa kepastian. Jika kita menggunakan rujukan yang, menariknya, dapat kita temukan di nusantara, nama “Jayawardene” sebetulnya dapat menjadi nama suatu "gelar". Kata “Jayawardhana” terdapat dalam gelar yang dimiliki Raden Wijaya – raja Majapahit yang berkuasa di sekitar abad yang sama (1293-1309), yaitu: Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardhana. Apakah kota atau benteng ini ada hubungannya dengan Raden Wijaya? Entahlah...

Yang pasti, nama "Jayawardene", dengan menggunakan rujukan yang kita temukan di nusantara, bisa merujuk pada suatu "gelar". Satu hal menarik di sini adalah: pendirian benteng hingga pemberian nama Sri Jayawardenepura Kotte (kotte = benteng = pura) sendiri pun disebut-sebut terjadi pada abad yang berdekatan dengan masa pemerintahan maharaja Raden Wijaya. Entah apa hubungan yang ada di antara keduanya, atau malah tidak ada sama sekali, yang pasti nama/gelar "Jayawardana/Jayawardene" ini sama-sama digunakan pada sekitar abad ke-14 – walau pada wilayah yang jauh berbeda.

Penggalan artikel pada situs web.archive.org di mana pada bagian atas terdapat tulisan: The Official Website of the Government of Sri Lanka (Dokpri)
Penggalan artikel pada situs web.archive.org di mana pada bagian atas terdapat tulisan: The Official Website of the Government of Sri Lanka (Dokpri)

Menjejaki asal kata sebetulnya tidaklah mudah, sebab penggunaan kata-kata sesungguhnya memiliki sejarahnya sendiri; kita tidak bisa sembarangan alias main tebak-tebakan dalam menyimpulkan sejarah nama-nama ini. Untungnya, dalam tulisan ini, penulis semata menelusuri penggunaan gelar kehormatan “Sri”. Hal ini masih terbilang mudah (meski tetap merepotkan) dibandingkan masuk ke ranah “etimologi kata” yang sesungguhnya. Dari keterangan-keterangan dan contoh-contoh penggunaan gelar “Sri” yang diberikan, walau mungkin dengan segala kekurangan, ketidakpastian, dan segala keterbatasan, kita setidaknya dapat menarik satu kesimpulan sederhana yang cukup jelas, bahwa:

Kata “Sri”, walau pada saat ini banyak dikenal sebagai bagian dari “nama”, namun kata ini sangat umum digunakan sebagai “gelar kehormatan” dan umumnya ditulis secara “terpisah”. Untuk itu, sekali lagi, pertanyaannya adalah: apakah awalan “Sri” dalam “Sriwijaya” dan “Sribhoja” sebenarnya adalah “gelar” dan bukan bagian dari nama?

Kompleksitas dalam Kesederhanaan dan Kesederhanaan yang Kompleks

Mengapa lalu hal ini menjadi masalah yang cukup penting? Walau awalnya terlihat sebagai permasalahan yang sangat-sangat sederhana, turunan dari masalah ini sebetulnya menjalar ke mana-mana. Masalah yang awalnya merupakan masalah bahasa yang sangat sepele, di mana penulisan gelar “Sri” dijadikan sebagai bagian dari nama, berimbas kepada identifikasi, analisis, dan pada akhirnya kesimpulan terhadap sejarah Indonesia dan bahkan, mungkin, mempengaruhi pemahaman terkait sejarah Asia Tenggara pada umumnya. Jika kita terapkan penggunaan gelar ini sebagaimana kebiasaan yang berlaku secara umum di Asia Selatan hingga Tenggara sesuai dengan contoh-contoh yang kita temukan, yaitu dengan memisahkan antara “gelar” dengan “nama” yang berada di belakangnya, kita dapat melihat masalah yang sesungguhnya:

Sri Wijaya (Vijaya) & Sri Bhoja

           (Gelar + Nama)


Jika kita memisahkan antara gelar “Sri” dengan nama yang berada di belakangnya, kita dapat melihat bahwa fokusnya sesungguhnya tidak berada pada nama "Sriwijaya" dan "Sribhoja", tetapi justru pada nama "Wijaya" (Vijaya) dan "Bhoja". Di sini, secara komikal, kita juga dapat melihat bagaimana permasalahan dipisah atau disambung yang terlihat sangat-sangat sederhana dalam bahasa ini, yang karenanya wajar saja untuk diabaikan, imbasnya terbukti cukup signifikan. Dari sinilah, kita dapat melihat permasalahan utama sejarah Indonesia: mungkin selama ini kita salah fokus dalam memahami kerajaan yang menjadi pembuka narasi sejarah nusantara dan, sangat mungkin, turut mempengaruhi sejarah Asia Tenggara ini.

Ingatlah bahwa penggunaan gelar “Sri” yang menghubungkan antara Asia Selatan dengan Asia Tenggara menjadi indikasi yang baik dari, setidaknya, kesamaan “tema” dari narasi yang ada. Dan, ini semua terjadi semata karena kealpaan kita dalam memahami nama; dalam memahami penggunaan “gelar” – gelar yang masih digunakan di Indonesia hingga saat ini. Mengapa hal ini bisa sampai terjadi?

Sebetulnya, ada beberapa alasan yang bisa disajikan. Namun, sesungguhnya tidak seberapa penting untuk mencari-cari alasan dalam suatu kesalahan – apalagi mencari orang untuk disalahkan. Tidaklah guna mencari-cari kambing hitam, sebab saya membatasi konsumsi daging kambing, kalau sapi mungkin saya pertimbangkan. Yang, mungkin, kita butuhkan sekarang adalah terus bergerak maju untuk memperbaiki kesalahan yang telah terjadi - atau justru sekalian saja kita perbanyak kesalahan yang ada, biar makin mumet sejarah Indonesia. Untuk itu, solusi yang mungkin bisa diberikan saat kita telah menemukan fokus pencarian ini, kita hanya harus terus menelusuri dua nama yang telah ditemukan.

Satu hal yang harus kembali diingat, dua nama tersebut sebetulnya saling berhubungan yang, karenanya, pencarian keduanya sama-sama penting untuk dilakukan. Lalu, dari mana kita tahu keduanya saling terhubung? Di sini, penulis akan mengunggah ulang tangkapan layar yang telah penulis berikan pada tulisan sebelumnya - yang menjadi jalan untuk menghubungkan kedua nama tersebut:

Brahma Purana (buku 1) Bab. 12;45-50 (Dokpri)
Brahma Purana (buku 1) Bab. 12;45-50 (Dokpri)

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun