Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

SIBBuK (Bag. 7): Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 27 November 2024   17:52 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pembahasan Mr. Fleet terkait penggunaan kata "Sri" dalam bukunya (Dokpri)

Peristiwa bersatunya orang-orang Bhoja dan Melayu menjadi Sri Bhoja (Dokpri)
Peristiwa bersatunya orang-orang Bhoja dan Melayu menjadi Sri Bhoja (Dokpri)

Pada masa ini, kita jelas mengenal suku/bangsa atau orang-orang Melayu. Dan, sebab nama suku ini cukup dikenal di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, kita atau penulis mungkin tidak perlu lagi memperkenalkan siapa orang Melayu. Namun, berbeda halnya dengan orang-orang “Bhoja”. Jika kita bertanya kepada orang-orang Indonesia: siapa orang-orang Bhoja yang dikenal dalam catatan sejarah dunia mengenai nusantara, mungkin tidak banyak yang mengetahui tentang eksistensi orang-orang yang disebut sebagai “Bhoja” ini di Indonesia. Padahal, sebagaimana keterangan yang diberikan oleh biksu I-tsing/Yijing dan lalu dijelaskan kembali oleh sensei Takakusu, orang-orang nusantara pada masa-masa Sriwijaya kemungkinannya justru lebih dikenal sebagai orang-orang “Bhoja” ketimbang “Melayu” – yang karenanya, kerajaannya/wilayahnya disebut sebagai “Sri Bhoja”.

Permasalahan ini sebetulnya tidak lebih dari permasalahan bahasa semata – atau, lebih tepatnya, permasalahan “nama”. Namun, berbanding terbalik dengan nama “Melayu” yang lebih dikenal di Indonesia dan sekitarnya, nama “Bhoja” seakan-akan menghilang begitu saja. Padahal, nama ini masih digunakan sebagai nama kabupaten di Indonesia. Takakusu sensei bahkan menghubungkan nama ini dengan “Surabaya” – entah bagaimana hubungannya:

Nama Surabaja (Surabaya) dan Boja-nagara (Bojonegoro) yang dihubungkan dengan (orang-orang) Bhoja (Dokpri)
Nama Surabaja (Surabaya) dan Boja-nagara (Bojonegoro) yang dihubungkan dengan (orang-orang) Bhoja (Dokpri)

Berbeda dengan nama “Bojanagara” (Bojonegoro), di mana kata/nama “B(h)oja” menjadi bagian dari nama tersebut, memahami bagaimana nama “Bhoja” dikaitkan dengan “Surabaya” tentu jauh lebih sulit. Apakah kata “-baya” dalam kata “Surabaya” berasal dari kata “B(h)oja”? Lalu, aturan apa yang melandasi perubahan atau adakah bukti kebiasaan/pola/tradisi yang mengubah huruf “j” menjadi “y” yang membuat elemen “-baya” (bisa dibuktikan) memang berasal dari kata “B(h)oja”? Sejujurnya, penulis tidak mengetahui permasalahan ini. Hanya saja, sedikit catatan, bahasa Madura untuk Surabaya adalah “Sorbhâjâ”. Apakah hal ini cukup membuktikan hubungan yang ada? Entahlah...

Bahasa Madura untuk Surabaya (Dokpri)
Bahasa Madura untuk Surabaya (Dokpri)

Kembali pada pembahasan tentang “Sri” pada nama “Sribhoja” atau bahkan pada nama “Sriwijaya”, penggunaan partikel “Sri” di depan kedua nama ini merupakan dua bagian yang sebetulnya cukup tidak terbantahkan – sebab keduanya memang diawali dengan kata “Sri”. Sayangnya, jika aksara asli (Sanskerta) dari nama asli “Sriwijaya” cukup mudah ditemukan, yaitu “श्रीविजय”, berbeda halnya dengan nama asli dari “Sribhoja”. Bentuk asli dari nama ini sulit penulis temukan, bahkan dari buku-buku yang menyebutkan tentang nama ini. Namun, jika – dan hanya “jika” – nama Sanskerta dari “Sribhoja” mengikuti pola yang sama dengan aksara Sanskerta yang ada pada “Sriwijaya” , kata “Sri” yang digunakan kemungkinan tetap menggunakan bentuk “श्री” – sebagaimana yang dapat kita temukan pada nama “Sriwijaya” (श्रीविजय).

Aksara Sanskerta “श्री” (Sri) inilah yang lalu kemudian bertransformasi/diterjemahkan/dialih-aksarakan menjadi “尸利” (Shī lì) dalam catatan biksu I-tsing/Yijing. Sedikit catatan, dalam situs Wikipedia “Sanfotsi”, nama “Shi-li-fo-shi” ditulis dalam aksara Cina menggunakan bentuk “室利佛逝” (Shì lì fó shì). Namun, bentuk ini berbeda dengan bentuk yang tertera pada buku Takakusu sensei, A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago. Bentuk yang tertera pada buku beliau adalah: “尸利佛逝國”(secara harfiah: Shī lì fó shì guó - hal. xxxix). Walau perbedaan ini menimbulkan tanya tersendiri, baik bentuk “室利”(Shì lì) maupun “尸利”(Shī lì) tetap sama-sama merujuk pada kata “Sri” (श्री) dalam bahasa Sanskerta.

Bentuk
Bentuk "尸利佛逝國" yang ditemukan dalam buku sensei Takakusu (Dokpri)

Satu hal yang menarik dari alih aksara kata “Sri” dari bentuk Sanskerta “श्री” menjadi bentuk “室利” atau “尸利”(Shī lì) dalam aksara Cina sejatinya mempunyai terapan yang mirip-mirip dalam bahasa Thailand. “Sri” (श्री) dalam bahasa Sanskerta ditulis sebagai “ศรี” (Ṣ̄rī) tetapi dilafalkan menjadi “Si” (สี) dalam bahasa Thailand. Penggunaan kata “ศรี” (Sri) yang dilafalkan menjadi “Si” (สี) ini hampir mirip dengan alih aksara kata “Sri” (श्री) menjadi “Shī lì” (室利 atau 尸利) dalam bahasa/aksara Cina. Sedangkan, contoh penggunaan kata “Sri” sebagai gelar kehormatan juga masih dikenali di Thailand, seperti di depan nama pendiri kerajaan Sukhotai di Thailand, Śrī Indrāditya (ศรี-อินทราทิตย์) – yang dibaca menjadi “Si Inthrathit” dalam bahasa Thailand. Selain sebagai gelar kehormatan raja terdahulu, penggunaan gelar ini juga dapat ditemukan pada nama-nama tempat di Thailand. Beberapa nama tempat yang menggunakan gelar “Sri” adalah:

  • Nakhon Si Thammarat (นคร “ศรี” ธรรมราช) yang berasal dari bahasa Pali: Nagara Sri Dhammaraja (Negara Sri Darmaraja). Sedikit catatan, nama “Darmaraja” juga digunakan sebagai nama kecamatan di wilayah Sumedang, Jawa Barat
  • Sisaket, nama wilayah (provinsi dan kota) di Thailand. Asal-usul nama ini masih sulit ditemukan oleh penulis. Namun, elemen “Sri” (ศรี) masih dapat ditemukan dalam nama ini (“ศรี”สะเกษ – Si Sa Ket)
  • Si Racha adalah nama distrik sekaligus nama subdistrik dan kota di Thailand. Nama ini asalnya dari bahasa Sanskerta, “Śrī Rāja”, yang datang melalui bahasa Pali dan lalu bertransformasi ke dalam bahasa Thailand menjadi “Si Racha” (“ศรี”ราชา). Di sini, kita bukan saja melihat bagaimana “Sri” menjadi “Si”, tetapi bagaimana gelar “Sri” digunakan di depan gelar “Raja” – sebagaimana yang juga ditemukan dalam prasasti-prasasti (Sri Maharaja) dan, sebetulnya, masih digunakan di kawasan Asia Tenggara seperti pada gelar Sri Sultan, Seri Paduka, dan sebagainya

Dari keterangan-keterangan yang telah diberikan, kita dapat melihat bahwa penggunaan kata “Sri” di depan “nama” umumnya merujuk pada suatu “gelar kehormatan” atau, katakanlah, suatu “tanda penghormatan”. Tradisi ini dapat ditemukan di kawasan Asia Selatan hingga ke Asia Tenggara (terutama di masa lalu) dan bahkan terekam dalam catatan-catatan sejarah sejauh Cina (室利 - 尸利 = Shī lì) dan Arab-Persia (Sar/Ser/Sri dalam Sarbaza/Serboza/Sribuza). Dan, sebagaimana contoh yang telah diberikan, tradisi ini sebetulnya tetap bertahan di beberapa negara di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Dari contoh-contoh ini, dapatkah dikatakan bahwa “tradisi” ini khususnya bertahan di daerah-daerah yang mayoritas penduduknya berbicara dalam bahasa Melayu? Dan, sebagaimana gelar ini berasal dari India (Asia Selatan), penggunaan gelar yang sama juga masih diterapkan di India, seperti di depan nama perdana menteri India saat ini Shri Narendra Modi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun