Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 7), Mempertanyakan Penggunaan Elemen "Sri" dalam Nama "Sriwijaya"

1 Oktober 2024   00:41 Diperbarui: 1 Oktober 2024   00:46 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa Madura untuk Surabaya (Dokpri)

Mr. Fleet, dalam sanggahannya, menerangkan bahwa kata “Gupta”, dalam bentuk (lampau) serta arti yang sama, dapat digunakan sebagai “nama” secara independen - seperti pada nama biksu Buddha yang legendaris, biksu Upagupta. Beliau melanjutkan, bahwa saat awalan “Sri” menjadi bagian dari suatu nama yang dianggap penting, kebiasaan yang berlaku untuk menghapus keragu-raguan terhadap awalan itu adalah dengan tetap menambahkan awalan “Sri” di depan nama tersebut (bagian: The Gupta Inscriptions; No. 1, Plate I – hal. 9). Bagian ini yang mungkin perlu digarisbawahi.

Beliau mencontohkan, gelar “Sri” tetap ditambahkan di depan kata (nama?) “Srimati” dalam: “mahadevyam sri-Srimatyam = utpannah” (yang dilahirkan dari Mahadewi, Srimati yang agung) atau dalam “sri-Sripathayam puri” (di kota Sripatha yang termasyhur) -  di mana kata “Sri” beliau terjemahkan menjadi “yang agung” dan “yang termasyhur”. Dan, dengan dua contoh ini, beliau menerangkan jika nama maharaja “Gupta” adalah “Srigupta”, maka kata “Sri” sebagai gelar kehormatan akan tetap ditambahkan di depan nama ini, menjadi: Sri-Srigupta. Akan tetapi, bentuk ini tidak ditemukan pada awal peninggalan-peninggalan tertulis dinasti Gupta (Early Gupta inscriptions).

Dalam keterangan yang diberikan Mr. Faithfull Fleet, kita dapat melihat adanya dua pendekatan dalam penggunaan elemen/kata “Sri” di depan nama. Pendekatan pertama, atau pendekatan Mr. VA Smith, mengacu pada pendekatan “makna” – di mana beliau menekankan pada “arti nama”. Sedangkan, pendekatan kedua, atau pendekatan Mr. Fleet, mengacu pada “aturan penggunaan” dari kata/gelar “Sri” – di mana beliau tidak menekankan pada “arti” dari kata/nama yang digunakan, tetapi lebih kepada kebiasaan atau aturan dari penggunaan gelar “Sri” itu sendiri. Dua pendekatan ini sebetulnya dapat digunakan untuk memahami permasalahan bahasa dalam penggunaan nama “Sriwijaya”.

Di Indonesia, kecenderungan pendekatan dalam memahami nama “Sriwijaya” menggunakan pendekatan pertama atau pendekatan yang berbasis “makna kata” – di mana kata “Sri” yang berarti “cahaya” atau “bercahaya” digabungkan dengan kata “Wijaya” yang berarti kemenangan (Sriwijaya = kemenangan yang gemilang). Pendekatan ini, terlepas benar-dan-salah, sebetulnya hanyalah salah satu pendekatan yang ada. Lalu, bagaimana dengan pendekatan yang kedua?

Di sini, kita akan mencoba menggunakan pendekatan yang diberikan oleh Mr. Fleet. Namun, sebab Mr. Fleet sebetulnya menggunakan “aturan” yang didapatkan dari “kebiasaan”, yang pertama-tama perlu ditemukan justru kebiasaan penggunaan kata “Sri” itu sendiri – di sini khususnya dalam prasasti-prasasti atau peninggalan-peninggalan tertulis di era yang sama atau berdekatan dengan yang ditemukan di India, dengan satu pertanyaan: apakah kebiasaan atau aturan ini berlaku secara umum – termasuk di Indonesia?

Pada abad-abad yang berdekatan dengan penanggalan prasasti Prayag (Prayag Prashasti) yang terukir di tiang (pilar) Allahabad atau sekitar abad ke-4 Masehi di India, penggunaan gelar kehormatan serupa juga terekam dalam tugu-tugu batu bertulis yang ditemukan di nusantara dan sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada beberapa prasasti di Indonesia – setidaknya, sejauh penulis amatir ini dapat temukan. Salah satunya pada prasasti Yupa yang diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-5 Masehi.

Pada prasasti ini, kita dapat menemukan gelar ini pada nama (gelar?) raja Mulawarman (Sri Mulawarman) – raja agung kerajaan Kutai Martapura. Selain dalam prasasti Yupa, satu contoh lain yang bisa diberikan tertera dalam prasasti Talang Tuo yang bertahun 684 Masehi (Saka 606), yaitu pada nama Sri Jayanasa (śrī Jayanāca) sendiri – sosok raja agung yang mulia, yang disebut-sebut sebagai, pendiri kemaharajaan Sriwijaya.

Sedikit catatan, contoh-contoh yang disajikan di sini hanya berbatas pada nama-nama yang dianggap “nama (personal)” dan bukan “gelar”, seperti gelar “Sri” di depan gelar “Maharaja” (Sri Maharaja - irimahārājanāmā?) yang disebutkan dalam prasasti Ligor (B) bertarikh Saka 697. Dan, dua contoh yang digunakan hanya yang terdapat “transliterasi” dari transkripsi (tulisan) aslinya. Contoh-contoh yang disajikan juga berbatas pada tahun-tahun yang berdekatan dengan penanggalan prasasti Prayag (Prayag Prashasti) di India - atau sekitar abad ke-4 Masehi. Contoh lain yang bisa diberikan, jika cakupan penanggalannya diperluas, sebetulnya termasuk penggunaan gelar “Sri” di depan nama “Haridewa” (Sri Haridewa) yang disebutkan dalam prasasti Hujung Langit yang menyebutkan tahun Saka 919.

Jika cakupannya bisa diperluas atau ada informasi terkait sumber-sumber lain beserta transkripsi asli yang belum disertakan, mungkin contohnya bisa semakin banyak. Adapun, kedua contoh yang disajikan terakhir ini menunjukkan secara sederhana bahwa penggunaan gelar kehormatan “Sri” dikenal di Indonesia pada masa-masa yang berdekatan dengan prasasti Prayag di India, masih digunakan 300 tahun kemudian, dan bahkan hingga masa ini. Dalam artian lain, gelar kehormatan ini sudah dikenal dan digunakan di nusantara selama (lebih-kurang) 1400 tahun.

Penggunaan Gelar "Sri" dalam Catatan Sejarah Cina dan Narasi Bhoja-Melayu

Selain dalam prasasti-prasasti, penggunaan gelar “Sri” sebetulnya juga terekam pada catatan-catatan sejarah Cina – tetapi, tentu, tidak dalam bentuk (aksara) aslinya. Untuk melihat hal ini, cara termudah adalah kembali pada catatan biksu I-tsing/Yijing yang diterangkan oleh Takakusu Junjiro sensei. Dalam bukunya, sensei Takakusu menerangkan bahwa ibu kota kerajaan yang saat ini kita kenal sebagai “Sriwijaya” dari awal disebut sebagai “Bhoja”. Akan tetapi, saat terjadi perluasan kerajaan hingga mencapai wilayah Malayu (Mo-lo-yu), entah melalui penaklukan atau penggabungan secara sukarela, nama seluruh kerajaan berganti  menjadi “Sribhoja”. Bagian ini cukup jelas dalam keterangan yang diberikan oleh Takakusu sensei.

Namun, satu hal yang mungkin luput untuk dipahami di sini adalah: sebagaimana nama “Melayu” sebetulnya tidak hanya dipahami sebagai nama wilayah, tetapi juga pada nama suku (orang-orang Melayu), nama “Bhoja” sebetulnya tidak hanya mengarah pada nama wilayah, tetapi juga pada nama suku (orang-orang Bhoja). Nama ini khususnya dikenal di India. Karenanya, peristiwa nama Melayu menjadi “Sribhoja” sebetulnya tidak hanya bercerita tentang perluasan (ekspansi) kerajaan, tetapi diam-diam juga bercerita tentang menyatunya/meleburnya/bercampurnya orang-orang Melayu dengan orang-orang yang dikenal sebagai orang-orang Bhoja (Hal. xl).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun