Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 6): Dari India ke Jawa Timur, Sribhoja (Sribhoga) yang Terlupakan

25 Agustus 2024   09:31 Diperbarui: 27 Agustus 2024   04:23 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sayangnya, hanya artikel ini yang penulis temukan tanpa keterangan lanjutan - yang untungnya tidak berhubungan langsung dengan pembahasan (dokpri)

Kerajaan yang kita kenal sebagai Sriwijaya sebetulnya dihubungkan dengan kerajaan-kerajaan yang tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah dunia, yang pada rangkaian tulisan ini terutama dalam catatan sejarah Cina, namun dengan nama yang berbeda-beda. 

Sebagai contoh, Mr. JVG Mills mengidentifikasi Sriwijaya dengan kerajaan yang dikenal sebagai kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i dalam buku terjemahan Ying-yai Sheng-lan versi beliau, The Overall Survey of the Ocean’s Shores (hal. 98). Pemahaman bahwa kerajaan Sriwijaya dikenal dengan nama-nama lain oleh kerajaan-kerajaan di luar nusantara sebetulnya cukup penting untuk memahami tentang kerajaan ini.

Sebagaimana yang telah penulis jabarkan dalam rangkaian tulisan-tulisan ini, dengan memahami bahwa Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i dalam catatan sejarah Cina, kita dapat memahami bahwa lokasi kerajaan ini pada awalnya sebetulnya selalu mengarah ke Jambi dan bukan Palembang

Narasinya baru mulai bergeser pada sekitar akhir abad ke-14 hingga awal abad ke-15, khususnya sebagai imbas dari pendudukan Majapahit terhadap kerajaan ini, di mana lalu diceritakan tentang pergantian nama dan perpindahan ibu kota. Karenanya juga, kerajaan yang diidentifikasi sebagai Sriwijaya ini sesungguhnya memiliki dua ibu kota: ibu kota lama yang mengarah ke Jambi dan ibu kota baru yaitu Palembang – lokasi dari ibu kota yang terakhir ini yang sebetulnya cukup jelas.

Terlepas dari permasalahan apakah identifikasi Mr. Mills terkait nama-nama ini benar atau tidak, memahami bahwa kerajaan ini dikenal dengan nama-nama yang berbeda dalam bahasa yang berbeda-beda tetaplah penting adanya. Hal ini dikarenakan perbedaan nama-nama ini menjadi sentra dari kebingungan-kebingungan yang terjadi. 

Dari kebingungan-kebingungan, terjadilah kesalahpahaman-kesalahpahaman dalam memahami kerajaan yang terletak di pesisir timur pulau Sumatra ini.  Sebab kebingungan-kebingungan dalam menghubungkan “nama-nama” adalah sumbernya, sudah barang tentu memahami “nama” yang berbeda-beda ini menjadi kunci dalam meluruskan kesalahpahaman-kesalahpahaman yang ada, bukan?

Contohnya, pemahaman bahwa (nama) kerajaan Sriwijaya sama dengan kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i yang tercatat dalam catatan sejarah Cina, pada akhirnya, menghubungkan kerajaan ini dengan kerajaan bersejarah lainnya; seperti kerajaan Shih-li-fo-shih yang disebutkan oleh biksu I-tsing (Yijing) saat beliau mengunjungi nusantara pada sekitar abad ke-7. 

Dan, dengan menggunakan metode yang sama, kerajaan ini juga dihubungkan dengan kerajaan “Sarbaza” yang dikenal oleh para penjelajah Arab pada abad ke-9/10 Masehi. Hal inilah yang sebetulnya dilakukan baik oleh meester Groeneveldt (hal. 62) maupun oleh sensei Takakusu (Hal. xliv) dalam buku-buku mereka.

Peneliti lainnya yang menghubungkan antara Sarbaza dengan Sriwijaya adalah monsieur George Cœdès. Nama ini sepertinya nama yang cukup familier di kalangan para sejarawan modern, para peneliti sejarah Indonesia, atau mereka yang sekadar mempelajari sejarah Sriwijaya pada masa ini. 

Contoh mudahnya, nama inilah yang disebut-sebut dalam artikel Wikipedia tentang kerajaan Sriwijaya – yang menyebutkan bahwa: kerajaan Sriwijaya “terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 oleh sejarawan Prancis George Cœdès dari École Française d'Extrême-Orient” (Wikipedia Sriwijaya - dilihat pada 05/07/2004). 

Beliau jugalah yang menjadi salah satu peneliti, selain Louis-Charles Damais, yang penelitian-penelitiannya diterjemahkan ke dalam buku Kadatuan Sriwijaya, karya terjemahan Pusat Penelitian EFEO di Jakarta (1989). Di sini, kita tidak akan membahas tentang beliau, kita semata hanya akan berfokus pada “nama” dari Sriwijaya menurut pandangan beliau.

Serupa dengan meester Groeneveldt dan Takakusu sensei, monsieur George Cœdès juga menyinggung keterangan-keterangan para pedagang Arab-Persia yang menyebutkan tentang kerajaan “Sribuza” yang berada di bawah kekuasaan Maharaja Zabag (Zabedj = Jawa). Dalam bukunya, The Indianized States of Southeast Asia (1975), monsieur Cœdès menyatakan bahwa keterangan para pedagang Arab-Persia yang menyebutkan perihal eksistensi kerajaan "Sribuza" yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Zabag terus diulang-ulang – sebagaimana tertera dalam salah satu surat yang beliau tunjukkan, yang bertarikh 916 (hal. 130).

Namun berbeda dengan meester Groeneveldt dan sensei Takakusu, monsieur Cœdès tidak menghubungkan Sriwijaya dengan kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i atau Shih-li-fo-shih, kerajaan yang dikenal dalam catatan sejarah Cina, tetapi beliau secara langsung menghubungkan antara Sribuza dengan Sriwijaya. Dalam keterangan pada catatan kakinya, monsieur Cœdès menerangkan bahwa menurut kolega beliau, monsieur Jean Sauvaget - seorang profesor bahasa Arab di Collège de France, nama “Sribuza” sebenarnya tidak pernah ada.

Nama ini didapatkan dari transkripsi (ejaan tulis) “Srbza” - sedangkan ejaan ini sendiri didapatkan berdasarkan aturan transliterasi tertua penulisan ejaan dalam bahasa Arab (oldest Arabic system of transcription), di mana huruf “v” dalam bahasa asing diganti dengan “b” dan “j” dengan “z”. Karenanya, dalam penulisan aslinya, nama “Srbza” sebetulnya didapatkan dari penulisan nama “Srvja”. Hal ini, menurut monsieur Sauvaget, membuat nama (atau penulisan asli) “Sribuza” atau “Sarbaza” cocok dengan nama “Srivija”. Adapun, masih menurut beliau, pelesapan suku kata “ya” di akhir nama ini bisa jadi merupakan sesuatu yang tidak disengaja ataupun disengaja, sebab akhiran “-ya” ini bisa mengakibatkan kerancuan dengan akhiran “-ya” dalam bahasa Arab – dan oleh karenanya, dengan sengaja dihilangkan (hal. 320).

Keterangan tentang permasalahan penulisan ejaan “Sriwijaya” dalam bahasa aslinya (source language) yang berbeda dengan ejaan nama yang sama yang ditemukan dalam bahasa asing (target language) ini bukan satu-satunya yang dibahas oleh monsieur Cœdès. Keterangan serupa lainnya dijelaskan pada halaman 54-55: di mana seorang raja dari kerajaan Ho-lo-tan yang mengirim utusan kepada kaisar Cina pada tahun 434 memiliki nama “Shih-li-p’i-ch’o-yeh” dan, menurut monsieur Cœdès, secara ejaan penulisan (transcribes) nama ini sangat sesuai dengan nama “Srivijaya” (Sriwijaya).

Monsieur Cœdès jelas bukan satu-satunya orang yang berusaha “mencocokkan” antara nama-nama ini. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, Mr. John Vivian Gottlieb (JVG) Mills melakukan hal serupa dengan mencocokkan nama Sriwijaya dan San Fo-ch’i (ejaan lain dari San-bo-tsai). Beliau menyatakan bahwa bentuk lengkap dari San Fo-ch’i, yaitu (San) Fo-ch’i-hu, merupakan transliterasi yang cukup baik dari nama “Vijayo” (bentuk lain dari Sri Vijaya: Sri Vijayo – hal. 98). Sedikit catatan, perubahan nama dari Shih-li-fo-shih menjadi San-fo-ch'i juga disinggung oleh monsieur Cœdès dalam buku beliau (hal. 131).

 

Metode yang digunakan baik oleh monsieur Cœdès maupun Mr. JVG Mills dalam menghubungkan nama-nama ini memperlihatkan kepada kita pentingnya memahami “nama-nama” yang digunakan. Selain itu, metode ini juga mendemontrasikan bagaimana kerajaan yang kita kenal sebagai Sriwijaya tercatat dalam dokumen sejarah dunia; yaitu dengan nama dan/atau ejaan-ejaan yang berbeda. Namun, pertanyaannya sampai di sini adalah: apakah keterangan-keterangan ini - termasuk metode yang digunakan benar adanya? Untuk menjawab pertanyaan ini, menariknya, kita akan membutuhkan satu nama lagi yang juga dihubungkan dengan nama-nama kerajaan ini, yaitu: Sribhoga.

Sribhoga/Sribhoja dan Bhoga/Bhoja

Selain Sriwijaya, satu nama lain yang dihubungkan dengan kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i adalah Sribhoga. Dan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada awal rangkaian tulisan ini, adalah Takakusu sensei yang menghubungkan nama ini dengan kerajaan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i (hal. xlii). Sedikit catatan, entah apakah monsieur Cœdès menyadari terkait eksistensi nama ini atau nama ini dituliskan dalam ejaan atau dengan nama yang berbeda, yang pasti penulis belum menemukan nama ini di dalam buku beliau yang penulis dapatkan. 

Namun, di dalam situs Wikipedia tentang Sriwijaya, terdapat keterangan berikut: “Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap ‘San-fo-ts'i’, sebelumnya dibaca ‘Sribhoja’, dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kerajaan yang sama (dilihat pada 10/07/24).

Pernyataan ini, dikutip dari laman tersebut, bersumber dari buku NJ Krom, Het Hindoe-tijdperk (hal. 149). Akan tetapi, keterangan ini tidak dengan jelas menyebutkan; apakah yang mengaitkan antara “Sribhoja” dengan “San-fo-ts'i” adalah monsieur Cœdès ataukah si penulis buku, alias meneer Nicolaas Johannes (NJ) Krom? Yang pasti, dalam buku monsieur Cœdès, The Indianized States of Southeast Asia, penulis tidak atau belum menemukan nama ini.

Nama yang dihubungkan oleh monsieur Cœdès dengan San-bo-tsai atau San Fo-ch’i atau Shih-li-fo-shih adalah nama Sribuza atau Sarbaza (hal. 131). Dan, beliau menghubungkan nama ini langsung dengan Sriwijaya (hal. 320) tanpa menghubungkan nama ini dengan Sribhoga (Sribhoja).

Sedikit catatan, dalam penyebutannya, Sribuza atau Sarbaza sebetulnya memiliki “konteks” yang berbeda dengan Sribhoga – walau belum tentu keduanya merupakan nama yang berbeda. Sribhoga yang disebutkan oleh sensei Takakusu adalah nama yang didapatkan dari catatan biksu I-tsing (Yijing) yang ditulis pada abad ke-7, sedangkan nama Sarbaza atau Sribuza didapatkan dari catatan para pelaut Arab-Persia (Arabo-Persians) pada abad ke-10 (meester Groeneveldt menyebut abad ke-9, hal. 62). Karenanya, ada jeda sekitar 3 abad di mana dua nama ini disebutkan.

Di dalam buku Chau Ju-kua: on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteenth Centuries (1911) yang diterjemahkan dari buku Chu-fan-chi karya bapak Chau Ju-kua, para penerjemahnya, yaitu Herr. Friedrich Hirth dan Mr. William Woodville (WW) Rockhill, memberikan penjelasan dalam catatan kaki terkait masalah ini. 

Dasar penjelasan yang diberikan oleh Herr. Hirth dan Mr. Woodville sebetulnya masih sama dengan keterangan yang diberikan oleh meester Groeneveldt, Takakusu sensei, dan monsieur Cœdès bahwa nama Shih-li-fo-shih (Shi-li-fo-shi) adalah nama (atau, kemungkinannya, ejaan) terdahulu dari San-fo-ch'i atau San-bo-tsai. Nama “Shi-li-fo-shi” (Shih-li-fo-shih) inilah yang ditemukan dalam catatan biksu I-tsing (Yijing).

Namun berbeda dengan monsieur Cœdès, Herr. Hirth dan Mr. Woodville tidak menghubungkan nama ini dengan “Sriwijaya”, tetapi dengan nama lain yang juga berasal dari India (Sanskerta), yaitu Sribhoja (çrī-Bhoja) dan Bhoja (Bhõja): Shih-li-fo-shih/San-fo-ts’i (San Fo-ch’i)/San-bo-tsai dihubungkan dengan nama “Sribhoja” (çrī-Bhoja), sedangkan kependekan nama-nama ini, yaitu Fo-shi/Fo-ts’i (Bo-tsai), dihubungkan dengan nama “Bhoja” (Bhõja) (hal. 63). Dan, masih menurut Herr. Hirth dan Mr. Woodville, nama “Sribhoja” inilah yang menjadi nama asli dari “Serboza” (Sarbaza atau Sribuza). Jadi, jika monsieur Cœdès menghubungkan nama Sribuza (Sarbaza/Serboza) dengan Sriwijawa, Herr. Hirth dan Mr. Woodville menghubungkan nama ini dengan nama Sribhoja.

Catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville (Dokpri)
Catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville (Dokpri)

Jika kita melihat ke dalam catatan kaki Herr. Hirth dan Mr. Woodville, keduanya justru menghubungkan nama-nama tersebut dengan "Minangkabau" (Menang-kabau) yang (sekarang) identik dengan wilayah Sumatera Barat. Apakah, lalu, Sriwijaya ada hubungan dengan orang-orang Minangkabau

Pada titik ini, pertanyaan ini mungkin terdengar sangat lucu, sebab dalam benak orang Indonesia Sriwijaya tidak bisa dilepaskan dari Palembang di Sumatera Selatan - mungkin sebagaimana "lucu"-nya keterangan penulis yang menyatakan bahwa: narasi sejarah "Sriwijaya" dalam catatan sejarah Cina, pada awalnya, sebetulnya selalu mengarah ke Jambi dan bukan Palembang.

Menariknya, narasi kerajaan yang dikenal dengan "Sriwijaya" dalam catatan sejarah Cina sebetulnya masih terhubung dengan orang-orang di wilayah Sumatera Barat. Karenanya, pernyataan Herr. Hirth dan Mr. Woodville sesungguhnya bukan tanpa dasar. Tetapi, untuk melihat hubungan ini, kita harus menempuh suatu metode yang teratur dan tidak semata menghubungkan secara serampangan

Hal ini disebabkan, tanpa keteraturan, maka yang terjadi hanyalah kekacauan demi kekacauan; bukannya menguraikan benang yang kusut, justru benangnya akan semakin kusut. Inilah yang sejatinya terjadi pada metode yang digunakan oleh monsieur Cœdès dalam menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Srivijaya" (Sriwijaya) - walau mungkin bukan salah beliau, sebab menurut beliau sendiri, hubungan ini beliau dapatkan dari keterangan monsieur Jean Sauvaget.

Ada satu kelemahan kecil (yang sebetulnya cukup fatal) dalam menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Sriwijaya", jika dibandingkan dengan menghubungkan antara "Sribuza" dengan "Sribhoga" (Sribhoja) - nama yang dihubungkan oleh Takakusu sensei dengan “Shih-li-fo-shih” pada catatan biksu  I-tsing (Yijing). 

Dalam keterangannya, biksu I-tsing (Yijing) sebetulnya tidak hanya menyebutkan satu nama saja, tetapi dua nama, yaitu "Shih-li-fo-shih" dan "Fo-shih". Dua nama inilah yang sebetulnya dihubungkan dengan "Sribhoga" (Sribhoja) dan "Bhoga" (Bhoja). Dua nama ini sendiri kemungkinannya bukanlah nama yang berbeda, tetapi satu nama di mana elemen "Sri" dapat ditambahkan atau dipisahkan dari nama "Bhoga" (Bhoja). 

Jika dua nama ini pada dasarnya merupakan satu nama, wajar saja jika biksu I-tsing (Yijing) menggunakan dua nama ini tanpa membedakan penggunaan keduanya (indiscriminately) – sebagaimana keterangan yang diberikan oleh sensei Takakusu tentang catatan biksu I-tsing (Yijing), walau Takakusu sensei juga menerangkan bahwa nama “Bhoja” (Bhoga) lebih sering digunakan untuk merujuk pada ibu kota kerajaan (hal. xl).

Untuk itu, sebab "Shih-li-fo-shih” dihubungkan dengan "Sribhoja/Sribhoga", biksu I-tsing (Yijing) sebetulnya tidak hanya menyebutkan nama “Shih-li-fo-shih” (Sribhoja/Sribhoga) tetapi juga “Fo-shih” (Bhoja/Bhoga) - dengan menghilangkan elemen “Sri” di depan kata “Sribhoja”. Jadi, berdasarkan catatan biksu I-tsing (Yijing) ini, elemen yang dapat “hilang” (lesap) sebetulnya berada di depan kata. Dan oleh sebab inilah, ejaan bahasa-bahasa lainnya yang digunakan untuk merujuk pada nama ini akan mengikuti “pola” yang sama: “San-bo-tsai” atau “San Fo-ch’i” akan menjadi “Bo-tsai” dan “Fo-ch’i”.

Dari sini juga, kita menjadi tahu bahwa baik kata “Shih-li” dan “San” yang digunakan dalam ejaan bahasa Cina ini sebetulnya merujuk pada kata “Sri” dalam bahasa Sanskerta. Menariknya, perubahan dari (elemen) kata "Sri" menjadi "Si" sesungguhnya masih dikenali dan digunakan pada nama-nama wilayah di Thailand, seperti pada nama wilayah "Nakhon Si Thammarat" di mana "Si Thammarat" disebut-sebut berasal dari "Sri Dhammaraja " (Thamma = Dharma + Rat = Raja alias Pemimpin yang Bajik).

Atau, pada nama wilayah "Si Racha". Nama ini sebetulnya tidak dijelaskan asal-usulnya. Hanya saja, jika diucapkan, di telinga penulis yang berbahasa Indonesia, terdengar seperti "Sri Raja". Dalam situs Bonappetit.com yang membahas tentang saus sambal terkenal yang datang dari wilayah ini, yang karenanya diberi nama yang sama: Sriracha, terdapat penjelasan senada tentang asal-usul nama wilayah ini - tetapi, tetap, penulis tidak tahu kebenaran asal-usul nama "Sri Racha" maupun rasa sambalnya (sebab saya belum pernah mencobanya).

Elemen "Sri" yang berubah menjadi "Si" juga ditemukan pada nama raja masa lampau di Thailand, yaitu "Si Inthrathit", yang juga dikenal sebagai "Śrī Indrāditya" - raja pertama kerajaan Sukhothai di Thailand. Perubahan-perubahan dari ejaan "Sri" menjadi "Si" ini serupa dengan perubahan yang terjadi pada nama "Sri(bhoja/bhoga)" menjadi "Shih(-li-fo-shih)" - hanya saja dengan ejaan tulis yang berbeda. Sedikit tambahan, monsieur Cœdès menyebut kerajaan ini sebagai dinasti Sukhodaya.

Sayangnya, hanya artikel ini yang penulis temukan tanpa keterangan lanjutan - yang untungnya tidak berhubungan langsung dengan pembahasan (dokpri)
Sayangnya, hanya artikel ini yang penulis temukan tanpa keterangan lanjutan - yang untungnya tidak berhubungan langsung dengan pembahasan (dokpri)
 

Balik lagi ke pembahasan tentang Sribhoja/Sribhoga dan Shih-li-fo-shih, biksu I-tsing (Yijing) tidak sendiri dalam menyebutkan dua nama Sribhoga/Sribhoja dan Bhoga/Bhoja atau Shih-li-fo-shih dan Fo-shih. Dalam catatan kaki yang diberikan Herr. Hirth dan Mr. Woodville pada terjemahan mereka tentang buku Chau Ju-kua, mereka menyebutkan bahwa bentuk singkatan (abbreviated form) “Fo-shi” juga digunakan oleh Kia Tan pada abad ke-8 M (hal. 63) – atau satu abad setelah biksu I-tsing (Yijing).

Dan, selain dua sumber ini, satu sumber lain yang sudah disebutkan sebelumnya adalah keterangan Mr. Mills yang menghubungkan antara nama (San) Fo-ch’i-hu dengan nama “Vijayo” (hal. 98). Keterangan beliau dengan jelas menunjukkan bahwa elemen "San" dapat dilesapkan dari nama "San-fo-ch'i". Di sini, kita kembali melihat "pola" yang sama: di mana nama "Vijaya" (Vijayo) juga dapat dipisahkan dari elemen "Sri" - setidaknya berdasarkan keterangan Mr. Mills.

Keterangan-keterangan yang selaras ini mengungkapkan bahwa: awalan pembentuk nama Shih-li-fo-shih, San-fo-ts’i (San Fo-ch’i), dan San-bo-tsai sebetulnya dapat dilesapkan, sehingga nama-nama itu menjadi: “Fo-shih”, “Fo-ts’i” (Fo-ch’i), dan (pada akhirnya) “Bo-tsai”. Hal ini kemungkinannya mengacu pada aturan umum penggunaan kata “Sri” di depan kata “Bhoja” (Bhoga). Dan, oleh sebab nama-nama dalam ejaan bahasa Cina tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, aturan penggunaannya mengikuti aturan yang ada dalam bahasa Sankerta (bahasa asli/source language) – walau nama-nama ini ditulis dalam bahasa Cina. Tetapi, kita akan membahas hal ini lebih jauh belakangan, sebab pada titik ini kita akan kembali pada satu nama lainnya yang dihubungkan dengan nama-nama ini, yaitu: Sarbaza/Serboza/Sribuza.

Jika nama Sarbaza/Serboza/Sribuza dihubungkan dengan nama Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai dan nama-nama ini dihubungkan dengan nama “Sribhoja” (Sribhoga) dan “Bhoja” (Bhoga), yang karenanya nama “Fo-shih” dapat dipisah dari “Shih-li-fo-shih” dan “Fo-ch’i” dari “San Fo-ch’i”, secara otomatis penggunaan nama Sarbaza/Serboza/Sribuza akan mengikuti aturan yang sama - di mana awalan dapat dilesapkan, tetapi tidak demikian dengan akhiran. Hal ini disebabkan nama yang sesungguhnya penting untuk dikenali justru berada di akhir, sedangkan elemen "sri/si" yang berada di awal dapat dihilangkan. Hal ini membuat keterangan, monsieur Sauvaget dalam catatan kaki monsieur Cœdès menjadi bermasalah.

Pada keterangan monsieur Sauvaget, walau beliau meyakini bahwa “Sribuza” merupakan nama yang didapatkan berdasarkan aturan transliterasi tertua penulisan ejaan dalam bahasa Arab di mana huruf “v” dalam bahasa asing diganti dengan “b” dan “j” dengan “z”, yang membuat ejaan asli “Sribuza”, yaitu “Srbza”, dibaca menjadi “Srvja”, beliau sebetulnya tidak mampu menjelaskan mengapa kata “-ya” yang seharusnya ada di akhir nama ini tidak ikut disebutkan. Oleh karenanya, beliau “menduga” bahwa pelesapan suku kata “-ya” di akhir nama ini bisa jadi (could be) merupakan sesuatu yang tidak disengaja atau bisa jadi (may) disengaja, sebab akhiran “-ya” ini bisa mengakibatkan kerancuan dengan akhiran “-ya” dalam bahasa Arab – dan oleh karenanya, dengan sengaja dihilangkan (hal. 320). Bagian terakhir ini merupakan “pendapat” beliau yang berbeda dengan “aturan” transliterasi tertua penulisan ejaan dalam bahasa Arab yang beliau sebutkan sebelumnya.

Namun, keterangan itu menimbulkan masalah jika nama ini kita bandingkan dengan pola lesapan yang ada pada “Sribhoja” (Sribhoga) dan “Bhoja” (Bhoga), serta pada nama “Shih-li-fo-shih” dan “Fo-shih” atau pada “San Fo-ch’i” dan “Fo-ch’i”. Jika kita mengikuti aturan ini dan kita terapkan pada "Sriwijaya" (Srivijaya), sebagaimana yang dilakukan oleh Mr. Mills, kita akan menemukan nama "Wijaya" atau "Vijaya" tanpa elemen "Sri" di depannya. 

Aturan ini, bukan saja bisa diterima, tetapi masih berlaku di masa ini. Nama ini, pun, digunakan dan dikenal dalam catatan sejarah dunia, seperti raja kerajaan Sri Langka di masa lampau, pangeran Vijaya. Nama "Bhoja" sendiri bukan nama asing dalam sejarah India, di mana orang-orang Bhoja khususnya yang berasal dari wilayah Goa disebut-sebut ditaklukan oleh maharaja kemaharajaan Vijayanagara, maharaja Harihara I.

Dalam nama "Vijayanagara", menariknya, kita kembali menemukan nama "Vijaya"+"Nagara" atau "Nagari" atau "Negeri" (yang pada akhirnya juga menjadi "Negara" dalam bahasa Indonesia). Hal lain yang menarik dari nama ini adalah penggunaan kata "Nagara" di belakang nama "Vijaya". Penggunaan kata "Nagara" di belakang nama ini sebetulnya masih digunakan pada nama daerah di Indonesia (btw, selamat ulang tahun Indonesia, ini kado dari saya - semoga semakin jaya!). Contohnya, pada nama: Banjarnegara - di mana pola penggunaan kata "negara" di sini sama persis dengan penggunaan kata "negara" yang digunakan di Kalimantan Selatan, khususnya oleh orang Banjar:

Penggunaan kata
Penggunaan kata "Nagara" di Kalimantan Selatan dalam situs Wikipedia "Nagara" (Dokpri)

Penggunaan kata "Banjar" di depan kata "Negara" jelas menunjukkan siapa orang-orang yang berada di wilayah tersebut - walau, untuk saat ini, penulis tidak mengetahui secara pasti apakah orang-orang Banjar berasal dari Banjarnegara ataukah orang-orang Banjarnegara yang asalnya merupakan orang-orang Banjar. Yang pasti keduanya dihubungkan dengan nama "Banjar". Apakah pemberian nama ini hanya kebetulan, tidak berarti apa-apa, dan/atau hanya bersifat asal-asalan semata? Ataukah pemberian nama ini adalah "cara" yang dilakukan oleh para pendahulu wilayah ini agar keturunan mereka tidak melupakan siapa mereka? Lalu, bagaimana dengan Vijayanagara? Apakah ada suku "Vijaya"?

Sejujurnya penulis tidak atau belum mengetahui keberadaan suku Vijaya. Namun sebab kita mengetahui keberadaan nama "Bhoja" (Bhoga) dalam catatan sejarah dan nama ini (entah bagaimana) berhubungan dengan nama "Sriwijaya" (Srivijaya), maka nama "Bhoja" inilah yang mungkin bisa digunakan untuk mencari siapa orang-orang yang diceritakan dalam catatan-catatan sejarah tersebut. Sekarang, jika kita gunakan nama "Bhoja" di depan nama "Negara", sebagai ganti nama "Vijaya" (Wijaya), maka kita akan mendapatkan nama "Bhojanagara".

Nama ini mungkin terdengar "asing" di telinga orang Indonesia, khususnya orang Jawa - terutama orang Jawa Timur. Sebab ejaan modernnya mengalami perubahan dari ejaan aslinya dan mengikuti aturan yang ada dalam tata bahasa ejaan bahasa Jawa modern; di mana "a" menjadi "o". Karenanya, ejaan asli "Bhojanegara" saat ini kita kenal dengan ejaan (tulis): "Bojonegoro". Namun, ejaan lamanya sebetulnya tidak dilupakan, sebagaimana yang masih dapat kita lihat dalam selayang pandang portal resmi Pemkab Bojonegoro (Bojonegorokab.go.id):

Selayang Pandang portal resmi Pemkab Bojonegoro yang menjelaskan ejaan asli nama
Selayang Pandang portal resmi Pemkab Bojonegoro yang menjelaskan ejaan asli nama "Bojonegoro" (Dokpri)

Dari sini, kita sebetulnya sudah dapat melihat "pola" yang ada, pada titik ini khususnya dalam penggunaan kata "negara/nagara". Sebagaimana nama "Banjar", begitu juga dengan "Boja", dan bahkan nama "Vijaya" yang berada di India nun-jauh-di sana, penggunaan kata "negara/nagara" di belakang nama-nama ini mengindikasikan asal-usul penduduk di wilayah-wilayah tersebut. Yang paling jelas, hingga titik ini, orang-orang (suku) "Bhoja" (Boja) yang mendirikan wilayah "Bojanegara" (Bojonegoro).

Dan jika aturan ini yang kita ikuti, kita dapat memahami bahwa nama "Banjarnegara" kemungkinan mengikuti pola yang sama: wilayah orang-orang suku Banjar yang nenek moyangnya menetap di wilayah tersebut. Menariknya, baik Bojonegoro maupun Banjarnegara sama-sama merupakan wilayah setingkat kabupaten - walau informasi ini sebetulnya kurang relevan dengan pembahasan yang ada, tetap saja menarik untuk disertakan :P.

Keberadaan nama "Bojonegoro" yang merupakan ejaan modern dari "Bojanagara" mungkin tidak seberapa penting untuk diketahui dalam sejarah Indonesia, kecuali kita mengetahui bahwa nama ini dihubungkan dengan nama “Fo-shih” (Bhoja/Bhoga) yang disebutkan dalam catatan biksu I-tsing (Yijing), keberadaan suku Bhoja purba (ancient) di India, dan bagaimana nama ini (sekali lagi: entah bagaimana) terhubung dengan kerajaan yang kita kenal sebagai "Sriwijaya". Hanya saat hubungan ini kita mengerti, walau masih butuh untuk diteliti lebih lanjut, kita dapat "meraba-raba" bahwa narasi sejarah tentang Sriwijaya sangat mungkin menceritakan bagaimana orang-orang Bhoja yang legendaris bisa sampai ke Jawa Timur dan mendirikan "Bojanegara". Apalagi jika kita mengetahui bahwa orang-orang Bhoja ini masih ada hubungannya dengan nama "Mathura":

Hubungan yang ada antara suku Bhoja dan nama
Hubungan yang ada antara suku Bhoja dan nama "Mathura" dalam The Mahabharata Of Krishna Dwaipayana Vyasa oleh K. M. Ganguli  (Dokpri)

Dibandingkan nama "Bhoja" yang jauh lebih tidak dikenal, nama "Mathura" sebetulnya lebih dikenal di Indonesia. Hanya saja, penulis belum memahami sepenuhnya hubungan antara dua nama ini. Yang penulis pahami (sejauh ini) adalah nama "Bhoja" merujuk pada nama "suku", sedangkan "Mathura" merupakan nama "tempat". 

Sedikit tambahan, menurut kitab Vishnu (Wisnu) Purana bab XII, Mathura merupakan kota yang didirikan oleh Śatrughna, adik dari Sri Rāma, di tempat beliau mengalahkan raksasa Lavaṇa (Rahwana) yang merupakan putra/keturunan Madhu. Yang menarik dari nama ini adalah: jika nama "Bhoja" (atau variasinya) dapat kita temukan pada nama suatu wilayah di Jawa Timur, nama "Mathura" atau variasinya seharusnya juga ikut ditemukan di sekitar wilayah Jawa Timur... bukan? Dan, mungkin, sudah ada yang bisa menebak daerah yang penulis maksudkan...

Namun sayangnya, sekali lagi, masih sulit untuk menemukan hubungan langsung di antara nama-nama ini. Yang cukup pasti di sini adalah nama "Bhoja" itu sendiri, sebab nama "Bhoja" ini cukup legendaris - setidaknya di India. Karenanya, tidak mengherankan jika peneliti sekelas Herr. Hirth, Mr. Woodville, dan sensei Takakusu cukup yakin dalam menghubungkan nama ini dengan “Fo-shih” dan “Fo-ts’i” (Fo-ch’i) - yang juga disebut “Shih-li-fo-shih” dan “San-fo-ts'i (ch’i)". Pada nama-nama ini, kita dapat melihat sendiri bahwa elemen yang dapat dipisahkan, dihilangkan, atau dilesapkan berada di awal nama-nama tersebut – dan bukan di akhir, sebab nama yang penting untuk dikenal justru berada di akhir dan bukan awalannya.

Sekarang jika kita kembali pada kesimpulan monsieur Sauvaget, bahwa ejaan Arab menghilangkan akhiran "-ya" di akhir nama “Sribuza”, maka nama ini justru menjadi tidak dikenal, bukan? Hal ini disebabkan nama yang butuh dikenal justru "Wijaya" atau "Vijaya" dan bukan "Sribuza" (yang justru menghilangkan akhiran "-ya" dalam teori monsieur Sauvaget)

Karenanya, jika merujuk pada "pola" yang telah diberikan, jika "Sribuza" merujuk pada "Sriwijaya" (Srivijaya), tidak mungkin rasanya akhiran "-ya" yang justru dihilangkan - sekali lagi: jika memang nama "Sribuza" mengacu pada "Srivijaya" (Sriwijaya). Dengan alasan inilah, kemungkinannya justru: nama "Sribuza" tidak merujuk pada "Sriwijaya" (Srivijaya), tetapi pada nama lain.

Jika aturan pemenggalan yang ada pada catatan Cina dan aturan penulisan kata "Sri" di India kita ikuti dan terapkan pada nama Sarbaza/Serboza/Sribuza, kita akan mendapatkan nama-nama berikut:

Baza/Boza/Buza

Nama-nama ini jelas memiliki kemiripan, atau bahkan sama persis, dengan nama “Bhoja” (Bhoga). Sedangkan, elemen yang dihilangkan adalah suku kata: Sar/Ser/Sri – yang juga memiliki kemiripan atau bahkan sama persis dengan kata “Sri” dalam “Sribhoja/Sribhoga”. Satu hal yang paling unik dari keterangan-keterangan ini adalah pengejaan yang digunakan monsieur Cœdès dalam menulis “Sarbaza” atau “Serboza”, yaitu “Sribuza”. Ejaan yang beliau berikan sesungguhnya justru mendekatkan nama ini dengan “Sribhoja” dan bukan “Sriwijaya”. Jika kita urutkan keterangan-keterangan ini dalam suatu gambaran, kita akan mendapatkan gambaran berikut:

Sribuza = Srvja

(menurut monsieur Sauvaget, hal ini berdasarkan “aturan” transliterasi tertua penulisan ejaan dalam bahasa Arab yang mengubah huruf “v” menjadi “b” dan “j” menjadi “z” serta pelesapan silabel “ya”):

Srivija

Namun, keterangan ini sesungguhnya meninggalkan teka-teki pada akhiran “-ya” dalam nama Sriwijaya dan membuat elemen "Wijaya" atau "Vijaya" dalam nama tersebut justru menjadi sulit dikenali. Gambaran ini didapatkan dari keterangan monsieur Cœdès tentang hubungan nama “Sribuza” dengan “Sriwijaya” (hal. 320).

Akan tetapi jika kita terapkan “pola lesapan”, sebagaimana yang terjadi pada nama “Sribhoja” serta pada nama “Shih-li-fo-shih” dan “San Fo-ch’i”, kita akan mendapatkan gambaran yang jauh lebih sederhana:

Sar/baza

Ejaan meester Groeneveldt (1876) dan sensei Takakusu (1896)

Ser/boza

Ejaan Herr. Hirth dan Mr. Woodville (1911)

Sri/buza

Ejaan monsieur Cœdès (1975)

Sri/bhoja

Nama asli dalam bahasa Sanskerta

Dari penggambaran di atas, kita dapat melihat bahwa, terlepas dari keterangan yang beliau berikan, (mungkin secara tidak sadar) ejaan monsieur Cœdès sendirilah atau "Sribuza" yang sejatinya membawa nama Sarbaza & Serboza lebih dekat dengan nama Sribhoja/Sribhoga – sesuatu yang sebetulnya telah dilakukan oleh Takakusu sensei, Herr. Hirth, dan Mr. Woodville dalam buku-buku terjemahan mereka. Dengan cara ini jugalah, kita dapat melihat bahwa nama (kerajaan?) di nusantara yang dikenal oleh orang-orang Cina dan para pelaut Arab-Persia (Arabo-Persians) sebetulnya bukan Sriwijaya, tetapi Sribhoga/Sribhoja – dan yang juga disebut sebagai Bhoga/Bhoja.

Dari sumber-sumber yang telah penulis sertakan, kita dapat melihat bahwa, sebelum interpretasi yang diberikan oleh monsieur George Cœdès dibantu oleh monsieur Jean Sauvaget serta interpretasi Mr. JVG Mills yang menghubungkan antara nama Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza dengan “Sriwijaya”, nama-nama tersebut awalnya dihubungkan dengan nama “Sribhoga” (Sribhoja) dan/atau Bhoga (Bhoja). Nama ini jugalah yang disebut-sebut oleh sensei Takakusu dalam buku terjemahan beliau.

Sebagaimana yang penulis telah bahas pada awal rangkaian tulisan ini, Takakusu sensei sebetulnya membedakan antara nama “Bhoga” (Bhoja) dan “Sribhoga” (Sribhoja),  namun biksu I-tsing/Yijing sendiri sesungguhnya tidak membedakan (indiscriminately) penggunaan antara nama Bhoga dan Sribhoga, walau nama Bhoga lebih sering disebutkan untuk merujuk ibu kota dari kerajaan tersebut (hal. xl). Dan, nama “Sri/Bhoja” (Sri/Bhoga) inilah yang pada akhirnya menjadi kunci dari kerajaan yang, pada masa ini, kita kenal sebagai kerajaan Sriwijaya.

 

Keberadaan nama ini sangat penting untuk dipahami, sebab nama ini tidak saja akan menjelaskan kepada kita tentang kerajaan yang saat ini kita kenal sebagai Sriwijaya, tetapi nama ini juga menghubungkan antara sejarah India – Sumatra – Jawa – dan (mungkin) hingga ke Asia Tenggara dan bahkan sampai ke Cina. Namun, sebelum kita sampai ke tahap itu, pertama-tama kita harus membongkar teka-teki di balik nama-nama itu sendiri. Dan, pada titik ini, yang butuh kita ungkap adalah penggunaan nama "Sriwijaya".

 

"Sriwijaya" ini Merujuk Pada Apa?

Satu hal yang penulis ingin ingatkan di sini adalah: sebab kerajaan yang dikenal dengan nama Shih-li-fo-shih/San Fo-ch’i/San-bo-tsai/Sarbaza/Serboza/Sribuza sebetulnya, dan pada awalnya, dihubungkan dengan nama “Sribhoga” (Sribhoja) dan bukan dengan “Sriwijaya”, hal ini tidak berarti kerajaan tersebut tidak ada hubungannya dengan nama “Sriwijaya” – apalagi jika sampai mengarah pada kesimpulan bahwa kerajaan Sriwijaya tidak ada.

Eksistensi Sriwijaya sebetulnya didasarkan pada “bukti-bukti” tertulis. Dan, bukti-bukti jelas mengantarkan kita pada “fakta”. Buktinya, nama “Sriwijaya” disebutkan dalam beberapa prasasti, seperti dalam prasasti Kedukan Bukit (tahun Saka 605), prasasti Kota Kapur (tahun Saka 608), prasasti Karang Berahi (tahun Saka 608), prasasti Ligor (tahun Saka 697), dan prasasti Palas Pasemah (tidak disebutkan). Penyebutan nama “Sriwijaya” dalam prasasti-prasasti ini dapat dikatakan sebagai “bukti-bukti” (tertulis) dan keberadaan bukti-bukti dapat dibilang sebagai “fakta”, bukan?

Karenanya, kerajaan Sriwijaya tidak dapat dikatakan tidak ada, sebab nama “Sriwijaya” ditemukan dalam prasasti-prasasti (tugu-tugu batu bertulis). Untuk itu, yang jadi permasalahan di sini bukan pada: apakah kerajaan ini ada atau tidak ada - sebab bukti-bukti peninggalan tertulisnya menunjukkan eksistensi dari kerajaan tersebut. Hal ini seharusnya sudah cukup jelas dan tidak perlu lagi diperdebatkan! Namun, yang sesungguhnya menjadi pertanyaan adalah: merujuk pada apa nama “Sriwijaya” ini sebenarnya? Oleh karena itu, yang kita akan bahas di sini adalah penggunaan” dari nama itu sendiri.

Untuk memahami “penggunaan” nama ini, kita jelas akan membutuhkan “metode” untuk memahami “nama” tersebut. Karenanya, pertanyaan awal yang diberikan, pada akhirnya, melahirkan pertanyaan-pertanyaan susulan, seperti: bagaimana tepatnya cara untuk memahami nama ini untuk mengetahui penggunaannya? Bagaimana cara membuktikan keabsahannya? Dan, mungkin yang paling penting adalah: apa sebenarnya hubungan antara Sribhoja (Sribhoga) dan Sriwijaya yang disebutkan dalam peninggalan-peninggalan tertulis sejarah dunia?

Sampai pada titik ini, sesungguhnya (dan sejujurnya) penulis tidak memiliki metode pasti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut – dan ini adalah bagian dari proses yang, bagi penulis, sesungguhnya wajar saja. Namun, bukan berarti kita tidak harus melakukan apa-apa, bukan? Cara terbaik yang bisa penulis pikirkan, sejauh ini, adalah menerapkan “pola” yang sama yang sebetulnya telah ada.

Pelesapan/penghilangan/pemisahan yang ada pada nama “Sribhoja” (Sribhoga) dan “Bhoja” (Bhoga), serta pada nama “Shih-li-fo-shih” dan “Fo-shih” atau pada “San Fo-ch’i” dan “Fo-ch’i” sesungguhnya menjadi indikasi yang baik  adanya dua elemen dalam nama-nama tersebut – yang mungkin karenanya, penulisannya seharusnya dipisahkan. Dan, sebagaimana nama-nama ini aslinya datang dari India, khususnya melalui bahasa Sanskerta, fokus utamanya di sini akan berada pada nama “Sribhoja” dan “Bhoja”.

Jika kita perhatikan antara nama “Sriwijaya” dan “Sribhoja”, dua nama ini jelas memiliki kesamaan - yaitu pada elemen “Sri” yang digunakan. Di sinilah, “pola” itu mungkin bisa diterapkan, dengan pertanyaan: apa jadinya jika elemen “Sri” kita ambil dari nama “Sriwijaya” – sebagaimana kata “Bhoja” bisa dipisahkan dari elemen “Sri” pada nama “Sribhoja”? Mungkin, temuan di bawah bisa memberikan sedikit gambaran:

Brahma Purana (buku 1) Bab. 12;45-50 (dokpri)
Brahma Purana (buku 1) Bab. 12;45-50 (dokpri)

Dan hubungan itu, perlahan bisa kita temukan...


Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun