Catatan sejarah Cina tentang San-bo-tsai, setidaknya sebagaimana yang dikumpulkan oleh meester Willem Pieter Groeneveldt dalam buku Notes on the Malay Archipelago and Malacca, sebetulnya selalu mengarah ke Jambi dan bukan Palembang – khususnya sebagai ibu kota lama.
Dari pertama nama ini disebutkan pada catatan sejarah dinasti Sung (Song; 960-279) hingga catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618), narasinya selalu mengarah pada Jambi dan orang-orangnya.
Bahkan, sebutan untuk Palembang, yaitu “Ku-kang”, pada awalnya sangat mungkin diberikan untuk sungai Batang Hari yang terletak di Jambi sebagai “Sungai Tua” (arti dari nama Ku-kang) dan bukan sungai Musi – sebagaimana yang telah dibahas pada tulisan sebelumnya.
Pun demikian, nama ini lalu kemudian digunakan untuk merujuk pada ibu kota baru kerajaan San-bo-tsai, yaitu Palembang (P’o-lin-pang), seiring dengan terjadinya perpindahan ibu kota.
Penggunaan nama “Ku-kang” untuk ibu kota baru kerajaan San-bo-tsai ini yang kemungkinan menjadi dasar kesalahpahaman bahwa San-bo-tsai, yang juga diidentikkan dengan Sriwijaya, dianggap selalu berada di Palembang – dan bukan, pada awalnya, berada di Jambi.
Tentu, pertanyaan menariknya, di sini, adalah: mengapa hal ini dapat terjadi?
Sejujurnya, sulit rasanya menjawab secara pasti mengapa para sejarawan Cina di masa lalu menganggap bahwa San-bo-tsai, yang lalu kemudian berganti nama menjadi Ku-kang, selalu berada di Palembang – sebagaimana yang dinyatakan oleh meester Groeneveldt (hal. 60) dan juga sensei Takakusu (hal. xliv) dalam buku mereka.
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya, penulis telah menjabarkan bahwa pergantian nama dan perpindahan ibu kota tampaknya memiliki peran penting dalam kesalahpahaman yang terjadi.
Namun, kedua peristiwa yang tidak terjadi secara bersamaan ini seharusnya tidak menghasilkan kesalahpahaman identifikasi yang terbilang fatal, sebab catatan sejarah Cina sendiri terbilang “rapi” (teratur) dalam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi – termasuk memberikan jeda waktu penjelasan antara pergantian nama dengan perpindahan ibu kota. Lalu, sekali lagi, mengapa kesalahpahaman dapat terjadi?
Jika kita melihat ke dalam catatan sejarah Cina yang disusun oleh meester Groeneveldt dalam bukunya, narasi penceritaan kerajaan San-bo-tsai yang selalu bercerita tentang wilayah dan orang-orang Jambi sebetulnya sempat mengalami pergeseran tempat penceritaan. Hal ini terjadi dalam catatan shifu Ma Huan: Ying-yai Sheng-lan yang bertarikh 1416.
Jika catatan-catatan sejarah Cina tentang kerajaan San-bo-tsai sebelum catatan shifu Ma Huan selalu bercerita tentang Jambi dan bahkan catatan Tung Hsi Yang Káu - Buku III (1618), atau catatan yang ditulis 202 tahun setelah Ying-yai Sheng-lan, masih bercerita tentang orang-orang Jambi (men of Djambi), catatan Ying-yai Sheng-lan secara khusus bercerita tentang Palembang dan orang-orangnya. Dan, sebab catatan tentang Palembang dan orang-orangnya ini berada di antara catatan-catatan yang sebenarnya sedang bercerita tentang Jambi, secara logis, sulit rasanya tidak mengaitkan kesalahpahaman terkait letak kerajaan San-bo-tsai dengan catatan ini.