Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Lun Yu 1.1: Sekalipun orang tidak mau tahu, tidak menyesali; bukankah ini sikap seorang Jun Zi - Kun Cu? - Lukas 12.57: Dan mengapakah engkau juga tidak memutuskan sendiri apa yang benar? - QS 8.22: Indeed, the worst of living creatures in the sight of Allāh are the deaf and dumb who do not use reason

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 3): Jambi sebagai Ibu Kota Lama dalam Catatan Sejarah Cina

1 April 2024   23:13 Diperbarui: 1 Juli 2024   00:47 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan tentang perpindahan ibu kota San-bo-tsai ke Ku-kang (Palembang) dengan keterangan waktu terakhir bertarikh 1577 -Dokpri

Analogi ini memang sebetulnya sengaja dan sangat perlu dibuat terutama dengan niat untuk membingungkan para pembacanya, sebab jika analogi ini berhasil membingungkan para pembaca, kita dapat merasakan sendiri kebingungan yang sebetulnya mungkin dirasakan oleh meester Groeneveldt - yang berpikir bahwa "Ku-kang" dari awal adalah Palembang, sebab tradisi para sejarawan Cina memahami Ku-kang adalah Palembang. Padahal, narasi sejarah catatan Cina menjelaskan bahwa "Ku-kang" adalah nama lain dari San-bo-tsai, di mana Palembang adalah salah satu wilayahnya. Karenanya, keterangan terkait perpindahan ibu kota jelas menjadi kunci dari kebingungan yang ada. Dan, untuk meluruskan segala kebingungan ini, langkah selanjutnya hanya tinggal menemukan di mana letak ibu kota lama ini berada.

Dalam penceritaan tentang (kerajaan) San-bo-tsai, meester Groeneveldt sebetulnya berkali-kali menyebutkan nama "Jambi". Bahkan, bisa dibilang, narasi tentang San-bo-tsai itu sendiri seakan-akan menceritakan tentang Jambi sebelum Jambi dikenal sebagai Jambi (Chan-pi). Karenanya, keterangan-keterangan terkait San-bo-tsai yang diberikan oleh meester Groeneveldt, justru lebih cocok diarahkan kepada Jambi ketimbang Palembang. Perihal meester Groeneveldt mencurigai bahwa San-bo-tsai berada di sungai yang sama dengan Palembang, semisal, beliau menyatakan bahwa alasannya adalah: sungai (yang berada di Palembang) merupakan sungai terbesar di pesisir tersebut dan, karenanya, merupakan akses terbaik untuk jalur perdagangan dari luar kerajaan (hal. 76).

Jika saat ini kita menggunakan sumber daya mesin pencarian daring, kita dapat mengetahui bahwa arah pernyataan beliau tentang sungai yang merupakan "aliran sungai terbesar di pesisir (timur) Sumatra" (the largest stream of the coast, hal. 76) ini, sejatinya lebih tepat diberikan pada sungai Batang Hari yang memiliki panjang sekitar 800 km - jika dibandingkan dengan sungai Musi yang memiliki panjang sekitar 720 km. Sedikit catatan kecil yang terbilang lucu, pencarian dengan kata kunci "sungai terbesar di Sumatra" sebetulnya mengantarkan kita pada "sungai terpanjang" di Sumatra. "Besar" dan "panjang" jelas berbeda. Penulis cukup yakin kaum adam tahu pasti perbedaan keduanya. Karenanya, pertanyaannya di sini adalah: apakah sebab sungai Batang Hari disebutkan sebagai "sungai terpanjang" akan dengan sendirinya juga berarti sebagai "sungai terbesar", setidaknya di pesisir timur dataran Sumatra?

Yang pasti, kesimpulannya mengarahkan kita pada sungai Batang Hari sebagai sungai yang lebih panjang dibandingkan dengan sungai Musi (walau belum tentu lebih besar), sebagaimana yang dinyatakan dalam artikel pada situs MetroJambi.com, yang ditulis oleh Amril Hidayat (6 Mei 2023): "Sungai Batanghari, Sungai Terpanjang di Sumatera Lintasi 7 Kabupaten/kota" - hasil dari pencarian daring paling atas. Sampai sini, kita harus akui bahwa penelitian-penelitian lebih jauh jelas akan dibutuhkan untuk pembuktian-pembuktian lebih lanjut.

Satu alasan lain yang diberikan oleh meester Groeneveldt, sebab sungai ini merupakan sungai "terbesar" di pesisir timur Sumatra, sungai ini merupakan akses terbaik untuk jalur perdagangan dari luar kerajaan San-bo-tsai (hal. 76). Pada alasan ini, meester Groeneveldt mengindikasikan bahwa sungai tersebut bukan saja menjadi "aliran terluas" yang mampu menjadi pintu masuk pelayaran, tetapi juga mengindikasikan letak strategis sungai tersebut di dunia pelayaran pada masa itu - masa di mana kapal-kapal udara (pesawat) belumlah ditemukan. Jika kita mau melihat kepada peta nusantara, kita akan melihat alasan logis mengapa Jambi, atau lebih tepatnya sungai Batang Hari, menjadi lokasi yang sesuai untuk lokasi "jalur perdagangan" ini. Perlu diingat, lokasi pulau Sumatra sebetulnya merupakan lokasi strategis yang menjadi pintu keluar-masuk kapal-kapal yang berlayar dari dataran Cina ke dataran India. Untuk itu, persinggahan kapal-kapal layar ini ke nusantara sepertinya tidak terhindarkan.

Dan, dari sekadar tempat persinggahan, lokasi-lokasi di nusantara pada akhirnya menjadi lokasi dagang - bukankah hal ini akan terjadi secara alamiah? Apakah orang-orang yang singgah di nusantara dengan menggunakan kapal-kapal layar ini tidak membutuhkan perbekalan? Persinggahan yang terjadi tercermin dari catatan-catatan orang-orang yang menempuh perjalanan dari Cina ke India melalui jalur laut, seperti dalam catatan biksu Fa-hien (Faxian) dan biksu I-ching (Yijing) - yang sebetulnya menempuh perjalanan untuk mencari kitab-kitab Buddha. Untuk perdagangan sendiri, tercermin dalam catatan sejarah Cina, di sini yang diterjemahkan oleh meester Groeneveldt, dan juga dalam catatan Chu-fan-chi (Zhu Fan Zhi) yang ditulis oleh Chau Ju-kua (Zhao Rukuo). Untuk alasan mengapa Jambi yang dilalui sungai Batang Hari menjadi pilihan yang cukup logis sebagai lokasi dagang strategis, kita hanya harus melihat ke dalam peta nusantara itu sendiri:

Letak pintu masuk sungai Batang Hari menuju Jambi dan sungai Musi menuju Palembang (Musi)/Dokpri
Letak pintu masuk sungai Batang Hari menuju Jambi dan sungai Musi menuju Palembang (Musi)/Dokpri

Jika kita melihat ke dalam peta nusantara, kita akan mengetahui bahwa posisi Jambi terletak lebih ke utara dibandingkan Palembang yang terletak di selatan. Satu hal lain, posisi Jambi, baik dari arah Selat Malaka maupun Laut Cina Selatan, jauh lebih terbuka jika dibandingkan dengan Palembang yang terhalang oleh pulau Bangka Belitung. Pun demikian, pintu masuk sungai Batang Hari ke arah Jambi sebetulnya tertutup oleh (pulau?) Parit Bawoeng. Namun, menariknya, keterangan dari Google Maps menyebutkan bahwa, bahkan pulau ini berada di atas sungai Batang Hari:

Letak (pulau?) Paritbawoeng dan pulau Walambi yang berada di mulut sungai Batang Hari - Dokpri
Letak (pulau?) Paritbawoeng dan pulau Walambi yang berada di mulut sungai Batang Hari - Dokpri

Jika kita melihat tangkapan layar yang diambil dari situs Google.com/maps di atas, kita dapat melihat bahwa, bahkan, di sekitar batas terluar pulau ini masih merupakan bagian dari sungai Batang Hari - entah sejauh apa kebenarannya. Lalu, apakah tempat yang memiliki salah satu sungai terpanjang di Sumatra dan (secara terbuka) berada di antara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan ini pada suatu masa adalah lokasi dagang strategis, sebab tempat ini memiliki akses terbaik untuk jalur perdagangan (the best accessible place for foreign trade, hal. 76)  - sebagaimana yang diungkapkan oleh meester Groeneveldt? Sayangnya, penelitian-penelitian lanjutan yang lebih jauh akan sangat dibutuhkan untuk menelusuri kebenarannya, bukan?

Akan tetapi, jika dibandingkan dengan pintu masuk sungai Musi untuk menuju Palembang, pintu masuk sungai Batang Hari yang berada lebih ke utara dan memiliki akses yang lebih terbuka (tidak terhalang pulau-pulau besar) jelas menjadi pilihan yang lebih logis untuk menuju daratan utama pulau Sumatra (di sini khususnya untuk perdagangan) - setidaknya secara teori. Namun, di antara poin-poin yang memang masih butuh untuk ditelusuri lebih lanjut, setidaknya ada satu hal yang pasti: bahwa baik Jambi maupun Palembang, pada sekitar tahun 1397, sebetulnya masih berada di bawah kerajaan yang sama, yaitu kerajaan San-bo-tsai yang telah berganti nama menjadi "Ku-kang". Karenanya, secara garis besar, peta "Ku-kang" pada masa itu akan mencakup dua wilayah ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun