Mohon tunggu...
Ocyid
Ocyid Mohon Tunggu... Lainnya - In the Age of Information, being unknown is a privilege

Hidup seperti ngopi, ngeteh, nyoklat: manisnya sama, pahitnya beda-beda

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Indonesia Berdasarkan Buku Klasik (Bagian 3): Jambi sebagai Ibu Kota Lama dalam Catatan Sejarah Cina

1 April 2024   23:13 Diperbarui: 1 Juli 2024   00:47 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penggambaran Manu dan tujuh orang bijak pada saat Banjir Besar dari situs Wikipedia: Manu (Hindu) 

Atau, contoh lain, sebagaimana agama-agama Semit percaya bahwa manusia berasal dari (nabi) Adam, umat Hindu percaya bahwa kita berasal dari keturunan Manu - yang karenanya kita disebut "Manusia" (मनुष्य - manuṣya). Dan, sebagaimana kita datang dari keturunan Manu, semesta datang dari kuasa agung Sang Esa yang dikenal sebagai Purushottama (Purusha Utama) - Sang Paramatman (atau dalam bahasa Indonesia sederhana, setidaknya seperti yang penulis pahami: Sang Maha Jiwa [Semesta Raya]). Tetapi, bahasan ini sebetulnya sangat sulit, karenanya ada baiknya kita tinggalkan dulu bahasan ini untuk waktu yang tidak ditentukan...

Penggambaran Manu dan tujuh orang bijak pada saat Banjir Besar dari situs Wikipedia: Manu (Hindu) 
Penggambaran Manu dan tujuh orang bijak pada saat Banjir Besar dari situs Wikipedia: Manu (Hindu) 

Kembali ke bahasan awal, sebetulnya banyak hal lain yang menarik dari hubungan orang-orang di nusantara dengan kekaisaran Cina dalam catatan-catatan sejarah dinasti-dinasti di Cina ini. Salah satunya seperti “adab” berdagang orang-orang di nusantara pada masa itu, yaitu dengan memberikan persembahan kepada kaisar Cina sebagai si empunya tempat dan bagaimana kaisar Cina menghargai hal ini bukan saja dengan memberikan hadiah-hadiah kepada utusan-utusan dari kerajaan San-bo-tsai yang datang menghadap, tetapi juga dengan “gelar-gelar” yang diberikan oleh kekaisaran Cina. Sikap saling menghargai dan menghormati ini yang sepertinya menghadirkan kedekatan dan kehangatan di antara orang-orang di pesisir timur Sumatra, pada masa-masa itu, dengan dinasti-dinasti di Cina.

Penceritaan ini, ditambah kenyataan tentang jauhnya jarak tempuh antara Sumatra-Cina, diam-diam turut mencerminkan kemampuan dagang dan pelayaran orang-orang di Sumatra – setidaknya pada masa itu. Tetapi, di sini, kita tidak akan membahas hal-hal seperti ini secara terperinci, sebab kebutuhan kita yang sesungguhnya pada titik ini mengarah pada pencarian terkait letak dari kerajaan San-bo-tsai itu sendiri – terutama dalam memahami kesalahpahaman dalam pengidentifikasian lokasi kerajaan ini. Dan, kesalahpahaman ini sejatinya juga dimulai dari awal keruntuhan kerajaan San-bo-tsai.

Seperti yang penulis telah sampaikan pada awal tulisan ini, pada sekitar tahun 1397, Jawa dinyatakan “telah sepenuhnya” menguasai San-bo-tsai (completely conquered) dan mengganti namanya menjadi Ku-kang (Old River atau Sungai Tua) yang, pada akhirnya, juga merupakan nama lain dari Palembang (hal. 71). Di sinilah sebenarnya awal kesalahpahaman itu berasal, sebab Ku-kang yang dimaksudkan di sini sesungguhnya tidak mengacu pada Palembang, tetapi pada kerajaan San-bo-tsai - di mana Palembang adalah bagian dari wilayah kerajaan ini.

Kesalahpahaman ini sebetulnya sama dengan kesalahpahaman identifikasi terhadap Sribhoja (Sribhoga) yang telah penulis jelaskan dalam artikel sebelumnya – di mana nama “Sribhoja” sebetulnya tidak hanya merujuk pada wilayah Malayu, tetapi pada akhirnya juga merujuk pada suatu kerajaan di mana Bhoja (sebagai ibu kota) dan Malayu berada di bawah kekuasaannya. Di sini, kesalahpahaman ini sejatinya terulang kembali, di mana “Ku-kang” (pada awalnya) tidak hanya merujuk pada Palembang, tetapi juga pada kerajaan San-bo-tsai itu sendiri -  di mana Palembang merupakan salah satu wilayahnya. Tetapi, bagaimana kita dapat memahami kesalahpahaman ini?

Untuk memahami kesalahpahaman dalam identifikasi ini, hal pertama yang harus kita lakukan adalah mencermati narasi awal-awal keruntuhan kerajaan San-bo-tsai; atau saat di mana kerajaan ini berganti nama menjadi “Ku-kang”. Pada saat itu, orang-orang yang berasal dari Cina, yang sekali lagi sangat mungkin menjadi nenek moyang orang-orang yang bermukim di wilayah ini pada saat ini, melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Jawa. Pemimpinnya bernama Liang Tau-ming yang diceritakan telah lama menetap dan menguasai satu bagian wilayah San-bo-tsai - yang saat itu telah berganti nama menjadi Ku-kang. Akan tetapi, catatan tersebut juga menceritakan bahwa pada tahun 1406, kepala wilayah Ku-kang yang bernama Ch’en Tsu-i mengutus anaknya - sedangkan Liang Tau-ming mengutus keponakannya untuk menghadap kaisar Cina.

Meester Groeneveldt menafsirkan informasi terkait Liang Tau-ming dan Ch'en Tsu-i ini sebagai keterangan terkait adanya dua orang pemimpin orang-orang Cina di dua wilayah yang berbeda - yang satu di San-bo-tsai, sedangkan yang lain di Ku-kang. Untuk itu, bagi beliau, keterangan-keterangan ini menunjukkan bahwa Ku-kang dan San-bo-tsai adalah dua wilayah yang berbeda  (hal. 71).

Akan tetapi, hal ini sebetulnya bertentangan dengan keterangan yang diberikan dalam catatan sejarah Cina itu sendiri, yang menyatakan bahwa: Jawa, yang telah sepenuhnya menguasai San-bo-tsai, mengganti nama kerajaan ini menjadi "Ku-kang". Hal ini sebetulnya sama, semisal, jika Jakarta dan Batavia dinyatakan sebagai dua daerah yang berbeda. Tentu, mereka yang mengetahui bahwa Batavia adalah nama terdahulu dari tempat yang sekarang disebut sebagai Jakarta akan kebingungan atau bahkan tidak dapat menerima, sebab perubahan nama Batavia menjadi Jakarta tidak serta-merta mengubah lokasi Jakarta ke tempat yang berbeda.

Hal inilah yang sebetulnya terjadi pada kasus ini: sebagaimana perubahan nama Jakarta menjadi Batavia tidak dengan sendirinya mengubah lokasi Jakarta, sebagaimana nama "Ku-kang" tidak secara otomatis akan mengubah lokasi kerajaan San-bo-tsai - yang berubah sebetulnya hanyalah namanya saja. Tetapi, mengapa kebingungan ini dapat terjadi? Untuk menemukan jawaban ini, kita akan butuh untuk mengurai kembali permasalahan yang ada.

Hal pertama yang harus dimengerti adalah: kebingungan terkait wilayah atau lokasi atau tempat dari kerajaan San-bo-tsai jelas dipengaruhi oleh perubahan nama ini. Dan, kebingungan dapat terjadi sebab nama “Ku-kang” yang diberikan oleh Jawa untuk menggantikan kerajaan San-bo-tsai, pada akhirnya, juga digunakan untuk merujuk kepada wilayah Palembang. Karenanya, saat merujuk pada Ku-kang dan San-bo-tsai di atas, "Ku-kang" yang ada dalam benak meester Groeneveldt sebetulnya adalah Palembang, dan bukan kerajaan San-bo-tsai. Sedangkan, "Ku-kang" yang dimaksudkan dalam narasi sejarah Cina, pada awalnya, adalah kerajaan San-bo-tsai - di mana Palembang adalah salah satu wilayahnya. Lalu, mengapa pada akhirnya nama "Ku-kang" identik dengan "Palembang"? Hal ini dikarenakan, selain perubahan nama, ada satu peristiwa lain yang akan mempengaruhi kebingungan yang terjadi, yaitu: perpindahan ibu kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun