Pertanyaan selanjutnya hanya tinggal: di mana tepatnya letak kerajaan ini sebenarnya? Benarkah kerajaan ini berada di Palembang, Sumatra Selatan? Sayangnya, tidak ada cara cepat untuk menjawab pertanyaan ini - kita butuh untuk terus menelusuri dan mencermati keterangan-keterangan yang ada dalam catatan-catatan sejarah Cina tentang kerajaan San-bo-tsai itu sendiri.
Sampai pada titik ini, kita setidaknya tahu bahwa di Sumatra pada masa lalu terdapat kerajaan yang disebut dengan nama yang berbeda-beda oleh orang-orang yang berbeda-beda - bahkan oleh penjelajah Arab, tetapi nama-nama itu tetap mengarah pada kerajaan yang sama.
Namun, pun demikian, keterangan ini sebetulnya tidak serta-merta menjawab letak dari kerajaan tersebut. Yang harus diingat adalah: penceritaan tentang kerajaan ini, yang terjadi dalam kurun waktu ratusan tahun, sudah barang tentu melewati berbagai macam situasi dan kondisi yang sangat mungkin mengakibatkan dinamika di dalam kerajaan itu sendiri. Hal ini belum ditambah dengan proses identifikasi yang terbilang rumit.
Pertanyaannya, tentu saja: apa saja yang terjadi dalam kurun waktu tersebut? Adakah penjelasan-penjelasan yang membuat kita mampu memahami apa yang terjadi pada kerajaan ini atau bahkan keterangan-keterangan yang akan membuat kita menemukan letak presisi dari kerajaan tersebut?
Banyak penjelasan di dalam keterangan-keterangan catatan sejarah Cina yang sebetulnya menunjukkan dinamika yang terjadi di dalam kerajaan San-bo-tsai sendiri. Di antara keterangan-keterangan tersebut, yang kebanyakan mengenai persembahan dari kerajaan ini kepada kaisar Cina, salah satu yang paling relevan mungkin dapat dilihat pada catatan sejarah dinasti Ming (1368-1643).
Dalam catatan ini diceritakan, pada tahun 1370, kaisar Cina mengirimkan utusan untuk mengundang wakil dari kerajaan ini dan, pada tahun berikutnya, raja kerajaan ini yang bernama Maharaja Prabu (Ma-ha-la-cha-pa-la-pu) mengirim utusan yang membawa surat yang ditulis pada daun emas beserta persembahan-persembahan seperti beruang hitam, kasuari, merak, dan sebagainya.
Catatan ini juga menjelaskan bahwa pada (sekitar) masa itu terdapat tiga raja pada kerajaan ini (hal. 69). Raja-raja yang disebutkan, selain Maharaja Prabu yang mengirimkan utusan dan persembahan pada tahun 1371, adalah: raja Tan-ma-sa-na-ho yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1373, raja Ma-na-ha-pau-lin-pang yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1374, dan raja Seng-ka-liet-yu-lan yang mengirim utusan dan persembahan pada tahun 1375.
Pada titik ini, perhatian khusus mungkin harus ditekankan pada keterangan terkait “tiga raja” yang tercantum dalam catatan tersebut. Salah satu alasannya, keterangan lanjutannya menceritakan bagaimana, pada tahun 1377, anak dari raja Tan-ma-sa-na-ho yang bernama Ma-la-cha Wu-li mengirim utusan dan persembahan pada kaisar Cina untuk menggantikan ayahandanya yang meninggal pada tahun 1376 - atau satu tahun sesudahnya.
Terkesan dengan kepatuhan Ma-la-cha Wu-li, kaisar Cina mengirim utusan-utusan yang membawa segel kerajaan dan menobatkan Ma-la-cha Wu-li sebagai raja San-bo-tsai. Namun, sebab saat itu San-bo-tsai berada dalam kekuasaan Jawa, raja Jawa yang marah atas keputusan kaisar Cina mengirim orang untuk menghentikan dan “menghabisi” utusan kaisar Cina.
Sedikit catatan sebelum kita lanjutkan, dalam instruksi kaisar Cina tentang masalah ini, yang menjadi sebuah pernyataan kekaisaran (imperial statement), beliau sebetulnya menyebutkan bahwa utusan-utusan tersebut “dikirim pulang dengan cara yang sangat santun (sent them back with great politeness)” (hal. 70). Kontradiksi antara pernyataan kekaisaran dengan catatan dinasti Ming yang saling bertentangan ini ditangkap oleh meester Groeneveldt. Beliau menyatakan bahwa, kemungkinannya, harga diri kaisar tidak dapat mengakui bahwa utusan-utusannya telah dihabisi – namun, ini hanyalah dugaan meester Groeneveldt semata. Sampai di sini, pertanyaannya terbilang cukup jelas: siapa tiga raja yang dimaksudkan oleh catatan Cina tersebut? Hal ini disebabkan, walau disebutkan tiga raja, catatan ini sebetulnya menerangkan keberadaan empat raja – di mana Maharaja Prabu adalah salah satu di antaranya. Apakah Maharaja Prabu adalah raja Jawa, yang diceritakan dalam narasi ini, dan tiga raja lainnya adalah raja-raja yang berada di San-bo-tsai - yang berada di bawah kekuasaan raja Jawa?
Sedikit keterangan yang didapatkan dari catatan kaki sensei Takakusu, beliau menyatakan bahwa kerajaan Zabedj (Jawa atau Iabadiu dalam catatan Ptolemy - yang juga disebut Ya-ba-di dalam catatan meester Groeneveldt), yang dikenal oleh para penjelajah Arab, mewakili kerajaan yang luas di Kepulauan-kepulauan Melayu (Malay Islands). Menurut Takakusu sensei, kerajaan ini berada di Jawa dan rajanya dikenal oleh orang Arab dengan gelar Hindu: “Maharaja” (Takakusu, hal. xliii). Keterangan ini juga ditambah dengan keterangan meester Groeneveldt yang menyatakan bahwa keterangan tentang pulau Sarbaza yang berada di bawah kekuasaan Jawa dinyatakan oleh para penjelajah Arab abad ke-9 Masehi. Keterangan-keterangan ini diperkuat dengan keterangan dari catatan dinasti Sung (Song) bahwa pada tahun 992, seorang utusan dari kerajaan San-bo-tsai mendengar berita bahwa kerajaannya telah diinvasi oleh Jawa (Groeneveldt, hal. 65) – yang menandakan bahwa San-bo-tsai telah berada di bawah kekuasaan Jawa sekitar 378 tahun, sebelum kaisar Cina dari dinasti Ming mengirim utusan kepada Maharaja Prabu pada tahun 1370. Dan, pertanyaannya sampai di sini sebetulnya adalah: apakah "Maharaja Jawa" yang disebutkan oleh para penjelajah Arab merupakan "Maharaja Prabu" yang disebutkan dalam catatan dinasti Ming - setidaknya sebagai suatu gelar?