Disebabkan oleh alasan ini jugalah, Takakusu sensei terpaksa mengambil jalan lain untuk mengidentifikasi kerajaan Sribhoja (Shih-li-fo-shih), yaitu dengan menghubungkan kerajaan ini dengan kerajaan San-bo-tsai. Kerajaan San-bo-tsai sendiri, dalam catatan sejarah dinasti Sung atau dinasti Song (960-1279), dijelaskan berada di antara Kamboja (Chen-la) dan Jawa (She-po) dan berkuasa atas 15 daerah yang berbeda. Beliau menjelaskan lebih lanjut bahwa banyak hal yang mendukung identifikasi ini, seperti:
- Keduanya berjarak 12 hari atau terkadang satu bulan perjalanan dari Kwang-tung (Canton atau Guangdong)
- Ibu kota keduanya merupakan pelabuhan dagang penting
- Pada satu masa penduduknya tampaknya memeluk agama Buddha, namun awalnya berasal dari Hindu
- Keduanya sama-sama kaya akan emas
- Pemberian bunga teratai emas (golden lotus-flower) sama-sama menjadi ciri khas penduduk di wilayah ini
- Kesamaan penggunaan minyak wangi, sarung, dan produk-produk lainnya – walau hal ini juga umum ditemui di pulau-pulau lainnya
Namun, di antara kesamaan-kesamaan ini, poin yang paling beliau tekankan adalah kesamaan “nama-nama” yang disebutkan: Shih-li-fo-shih (Sribhoga) yang disebutkan biksu I-tsing, Sarbaza yang dikenal oleh orang-orang Arab, dan San-bo-tsai (San-fo-chi) yang disebutkan oleh sejarawan Cina. Ditambah lagi, sensei Takakusu menyatakan, keterangan-keterangan terkait kerajaan-kerajaan ini juga tidak bertentangan satu sama lain. Kesamaan-kesamaan ini, terutama kesamaan nama-nama yang digunakan, membuat sensei Takakusu yakin bahwa nama-nama ini merujuk pada kerajaan yang sama (Hal. xliv).
Dan dari keterangan-keterangan inilah, jika kerajaan Sribhoja memang berhubungan dengan kerajaan Sriwijaya, maka bisa kembali disimpulkan bahwa baik kerajaan Malayu, Sribhoja, ataupun San-bo-tsai pada dasarnya terhubung dengan kerajaan yang kita kenal sebagai Sriwijaya - walau entah bagaimana. Tetapi, pertanyaan yang sesungguhnya sampai di sini adalah: apa sebab nama-nama ini mengarahkan kita pada kerajaan Sriwijaya, dengan sendirinya, kerajaan ini terletak di Palembang, Sumatera Selatan? Dan untuk memahami permasalahan ini, kita butuh untuk kembali melihat keterangan-keterangan lanjutan yang diberikan oleh Takakusu sensei.
Sensei Takakusu menjelaskan bahwa dari 15 daerah yang disebutkan berada di bawah kekuasaan San-botsai, di antaranya adalah Tan-ma-ling, Pa-lin-feng, Sin-da, Lan-pi, dan Lan-wu-li; atau, berdasarkan identifikasi beliau: Tana-malayu, Palembang, Sunda, Jambi, dan Lambri. Dan, menurut beliau, keterangan ini menunjukkan bahwa nama-nama ini (setidaknya, mungkin, pada awalnya) berada di Sumatra - termasuk di dalamnya: "Sin-da/Sunda" (hal. xliii). Dari keterangan yang didapatkan sensei Takakusu dari buku Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians) karya Chao-ju-kua dan disusun pada masa dinasti Sung (Song) inilah, kita dapat melihat keterangan bahwa “Palembang” (Pa-lin-feng) berada di bawah kekuasaan San-bo-tsai. Informasi ini jelas terbilang cukup penting, sebab hal ini mengindikasikan bahwa San-bo-tsai bukanlah kerajaan kecil dan Palembang adalah salah satu wilayahnya.
Semata menyatakan bahwa kerajaan San-bo-tsai, atau yang diidentifikasi sebagai kerajaan Sribhoja, berada di Palembang sebetulnya sama saja dengan menyatakan bahwa Indonesia berada di Jakarta atau, salah satu pulau yang paling terkenal, Bali, sebab kita tahu bahwa Jakarta dan Bali berada di Indonesia dan bukan sebaliknya. Sama halnya dengan kerajaan San-bo-tsai, sekarang kita tahu bahwa kerajaan ini menguasai wilayah yang luas di Sumatera, termasuk Tana-malayu (Tan-ma-ling), Palembang (Pa-lin-feng), Sunda (Sin-da), Jambi (Lan-pi), dan Lambri (Lan-wu-li).
Untuk itu, dari keterangan-keterangan ini, yang pertama-tama mungkin butuh untuk diluruskan adalah: pernyataan bahwa kerajaan Sribhoja, atau lebih tepatnya San-bo-tsai yang diidentifikasi sebagai Sribhoja, berada di Palembang sebetulnya tidak merujuk kepada kerajaannya itu sendiri, melainkan merujuk pada ibu kotanya – atau, dalam konteks ini “Bhoga” (Bhoja). Bhoja inilah yang disebut-sebut oleh Takakusu sensei berada di Palembang dan bukan Sribhoja. Masalahnya, tidak dibedakannya penggunaan nama Sribhoja dan Bhoja oleh biksu I-tsing, yang sebetulnya merujuk pada dua tempat (Malayu dan Bhoja) mengaburkan keterangan ini. Permasalahan ini, jika dimasukkan ke dalam metode identifikasi yang dilakukan oleh sensei Takakusu dengan menghubungkan antara Sribhoja dan San-bo-tsai, pada akhirnya jelas menimbulkan tanya: apakah yang dihubungkan oleh Takakusu sensei adalah Sribhoja sebagai suatu tempat yang awalnya disebut sebagai “Malayu” ataukah Sribhoja sebagai suatu wilayah – yang di dalamnya termasuk Bhoja sebagai ibu kota?
Dari penjelasan-penjelasan yang diberikan sensei Takakusu, sebetulnya cukup jelas bahwa yang dihubungkan dengan San-bo-tsai oleh beliau adalah Sribhoja sebagai suatu kerajaan - yang di dalamnya termasuk Malayu dan Bhoja. Sekali lagi, kerancuan kemungkinan terjadi sebab biksu I-tsing tidak membedakan penggunaan nama Sribhoja dan Bhoja dalam catatan beliau. Padahal, kedua nama ini, pada awalnya, merujuk pada lokasi yang berbeda (Malayu dan Bhoja). Hal ini membuat penjelasan tentang hal ini oleh Takakusu sensei menjadi sangat relevan dalam menghubungkan informasi yang ada. Lalu, pertanyaan lanjutannya adalah: apakah Malayu yang disebutkan dalam catatan biksu I-tsing adalah Tana-malayu (Tan-ma-ling) yang disebutkan dalam buku Chu-fan-shih (The Description of the Barbarians) - yang pada akhirnya menunjukkan lokasi yang berbeda dengan Palembang (Pa-lin-feng)? Sayangnya, untuk menjawab pertanyaan ini, mau-tidak mau kita harus terlebih dahulu beranjak pada keterangan-keterangan terkait kerajaan San-bo-tsai itu sendiri. Hal ini disebabkan Takakusu sensei menggunakan metode identifikasi yang menghubungkan antara Sribhoja dengan San-bo-tsai. Keterangan-keterangan ini khususnya akan kita dapatkan dari keterangan-keterangan buku “Notes on the Malay Archipelago” yang ditulis oleh meester Willem Pieter (WP) Groeneveldt – buku dan orang yang disebutkan sensei Takakusu dalam catatan kakinya (hal. xlii).