Mohon tunggu...
Rothua Octoyubelt Tambunan
Rothua Octoyubelt Tambunan Mohon Tunggu... -

Haii.. Banyak ide dikepala yang sayang kalau tidak di tulis dan hilang begitu saja. Makanya ayo menulis.

Selanjutnya

Tutup

Money

Tanah Surga Yang Gersang

29 Juli 2012   07:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:29 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu, tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.

Itulah penggalan lagu Koes Plus waktu dulu yang menggambarkan Indonesia Tanah Surga yang bisa ditanami apa saja bahkan tongkat kayu dan batu pun bisa menjadi tanaman. Tapi itu semua seoalah hanyalah sebuah lagu belaka karena sekarang Indonesia yang merupakan tanah surga harus mengimpor kebutuhan masyarakatnya. Ketidakmampuan kita dalam mengelola potensi pertanian menjadikan Indonesia semakin menjauh dari kondisi yang sesuai dengan lagu Tanah Surga tersebut. Apakah Tanah Surga Indonesia sudah semakin gersang?

[caption id="attachment_190640" align="aligncenter" width="518" caption="Indonesia masih memiliki potensi lahan pertanian yang masih sangat besar"][/caption]

Luas lahan Indonesia sebesar 192 juta hektar, 101 juta hektar berpotensi sebagai areal pertanian yang meliputi lahan basah seluas 25,6 juta hektar, lahan kering tanaman semusim 25,3 juta hektar dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta hektar. Dengan potensi lahan yang sedemikan besar seharusnya Indonesia mampu menjadi negara swasembada segala jenis bahan pangan. Namun kenyataannya Indonesia harus mengimpor hasil pertanian dan bahan makanan dari negara lain yang potensi kekayaan alamnya tidak sebesar Indonesia.

Salah satu contoh yang lagi hangat adalah kasus kedelai. Indonesia harus mengimpor 50 persen kedelai atau sekitar 1,8 juta ton dari Amerika untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri setiap tahunnya, baik untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun untuk industri. Akibat kondisi cuaca dan gangguan produksi kedelai di Amerika Serikat buruk membuat harga kedelai menjadi naik mempengaruhi pula harga kedelai di dalam negeri. Sehingga membebani para pengrajin tempe jika ini terus berlanjut di khawatirkan banyak pengrajin tempe banyak yang gulung tikar.

Pemerhati tempe dari Inggris, Jonathan Agranoff menegaskan, kacang kedelai lokal memiliki kualitas yang lebih baik dari kedelai impor karena lebih bergizi, ekonomis, dan higienis untuk bahan baku pembuatan tempe. Kedelai Indonesia tidak dimodifikasi genetik dengan tujuan untuk mempercepat produksinya, dan air rendamannya pun jernih. Namun, kacang impor memang sudah sering digunakan oleh pengrajin sebagai bahan membuat baku tempe, sehingga telah dianggap pas oleh para pengrajin dan masyarakat. Sedangkan kedelai lokal tidak. Karena bijinya dianggap lebih kecil sehingga sulit digiling. Ini tentunya menambah miris hati kita karena pengrajin tempe indonesia  menganggap kedelai Impor adalah ciri dari tempe.

Tidak ada cara lain, untuk itu pemerintah harus segera melakukan tindakan nyata. Bukannya selalu berkomentar akan lebih kita perhatikan. Masyarakat tidaklah butuh diperhatikan tetapi butuh tindakan nyata peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Sehingga tidak tegantung pada kedelai impor. Saat ini indonesia masih membutuhkan minimal 500 hektare lahan lagi untuk dapat swasembada kedelai. Ini sebenarnya tidaklah sulit mengingat indonesia masih punya 7,5 juta hektare lahan terlantar yang dapat dimanfaatkan untuk itu. Potensinya sudah ada tinggal bagaimana kemampuan dan cara mengolahnya.

Kita tentu malu, kita yang tinggal di tanah yang subur dan kaya raya seakan tinggal di tanah yang gersang karena tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri dan harus impor bahan pangan dari negara yang potensi kekayaan alamnya tidak sebesar indonesia. Kita tentu berharap Indonesia mampu kembali kemasa jayanya dulu, mampu swasembada pangan dengan tata kelola potensi pertanian yang baik tentunya.

Tata kelola yang baik dapat terlaksana dengan jika ada komitment yang kuat dari semua pihak, khususnya pemerintah. Seperti kebijakan yang lebih terfokus pada penambahan lahan sekitar 500 hektar.  Pengunaan benih unggul yang sesuai dapat juga meningkatkan produksi kedelai seperti benih (25-30kg/ha) sehingga hasilnya maksimal. Juga yang tidak kalah penting adalah  penggunaan pupuk organik agar tidak merusak lahan pertanian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun