Hal ini terjadi karena proses hukum tidak otomatis dan tidak mungkin mengukur bagaimana prosedur penuntutan bekerja. Jika ada proses, itu bisa dilihat secara matematis. Apa yang dia lakukan, apa prosesnya, apa proses pembuktiannya, dan apa keputusannya. Jika ini dilakukan, proses rekonsiliasi di pengadilan pasti akan berhasil.
Namun, banyak anomali terjadi. Misalnya, dalam kasus pencurian, tuduhannya dalah pencurian, tetapi anomali yang ditemui dapat bervariasi tergantung pada status sosial. Jika kasus ini nantinya berlaku untuk orang-orang dengan status sosial rendah, proses penuntutan di tahanan akan lebih cepat dan mudah.Â
Sebaliknya, jika itu terjadi pada orang-orang dengan status sosial tinggi, yaitu mereka yang berkuasa atas masalah keuangan dan poltiik. Itulah masalahnya dalam kasus seperti itu, jangan sampai terjadi lagi.
Kasus dalam hal ini sangat kontroversial dan menyengsarakan rakyat. Tentu saja, pertanyaannya adalah di mana keadilan "rakyat kelas bawah".Â
Orang sering tidak percaya dengan proses hukum, nanti orang akan melihat mereka bisa melihat proses penuntutan secara adil.
Adanya fenomena ketidakadilan hukum ini terus ditemukan dalam unrusan hukum negeri ini. Muculnya berbagai protes terhadap aparat penegak hukum di berbgaai daerah menunjukkan bahwa sistem hukum dan urusan hukum kita sedang bermasalah. Lebih buruk lagi, Indonesia akan semakin jatuh, kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum semakin menurun.
Ada banyak fakta diskriminasi dalam perlakuan hukum antara mereka yang berkuasa dan mereka yang tidak, antara mereka yang punya uang dan mereka yang tidak. Keadilan untuk semua hanyalah basa-basi belaka. Namun realitas hukum seolah-olah dibuat untuk menghancurkan kaum miskin dan meratakan kaum elit.Â
Lembaga penegak hukum sebagian besar mengabaikan realitas yang muncul di masyarakat ketika menegakkan hukum dan peraturan. Ini memuat "penegakan hukum" hanya menjadi corong aturan. Hal ini tidak lain adalah akibat dari sistem pendidikan hukum yang mengutamakan positivisme.Â
Penegakan hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengabaikan fakta sosial. Ini adalah cara untuk melegalkan penegakan hukum tanpa akal nurani dan akal sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI