Mohon tunggu...
Octavia Tunggal Dewi
Octavia Tunggal Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya merupakan mahasiswi aktif yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta di Jakarta

Tentang berbagai opini dan pendapat pribadi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maraknya Kasus Intoleransi dan Radikalisme, Apakah Mengancam Nasionalisme?

6 Mei 2022   14:05 Diperbarui: 12 Mei 2022   11:09 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Belakangan ini sifat intoleransi dan radikalisme tengah meluas di di media online, media sosial bahkan kehidupan nyata. Tragedi tersebut membuat isu nasionalisme menjadi perbincangan hangat dan menarik perhatian publik. 

Diantaranya terdapat kasus NII yang melanda wilayah Garut. Ketua Aliansi Masyarakat Garut Anti Radikalisme dan Intoleransi (Almagari) KH Abdul Mujib mengungkapkan salah satu yang tengah menyusup ke tengah masyarakat adalah gerakan NII (Negara Islam Indonesia) pada Rabu, 2 April 2022 lalu.

NII merupakan suatu organisasi yang menjadikan Sensen Komara (alm) warga Kecamatan Karangpawitan sebagai sosok pemimpin atau presiden bahkan disebut pula sebagai panglimanya. Walaupun tokoh NII Sensen tersebut sudah meninggal pada tahun 2020 namun pengikutnya masih tetap bermunculan dan menunjukkan aksi yang membuat aparat penegak hukum harus kembali bertindak.

Selain itu, terdapat pula kasus Pendeta Saifuddin Ibrahim. Permintaan seorang Pendeta Saifuddin Ibrahim atau Abraham Ben Moses yang bersifat intoleran sebab meminta Kementrian Agama (Kemenag) untuk menghapus 300 ayat di dalam Al Quran. 

Menurutnya ayat-ayat tersebut mengajarkan kekerasan dan terorisme serta mengatakan bahwa pesantren adalah sumber terorisme. Sungguh perkataan Pendeta Saifuddin tersebut sangat kejam dan menistakan agama Islam. Penegak hukum harus menindak tegas dalam menangani kasus radikalisme dan penistaan serta sikap intoleran yang dilakukan oleh Pendeta tersebut.

Kasus ini dapat menjadi contoh nyata bahwa penceramah dalam agama apapun dapat bersifat radikal, menyebarkan permusuhan, intoleran. Hal ini harus menjadi perhatian serius oleh BNPT jika ingin menegakkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila, mencerminkan Bhinneka Tunggal Ika, serta membasmi radikalisme. 

Jika sifat seperti ini selalu saja dibela dan diwajarkan sebab dia merupakan seorang pemimpin atau penceramah maka radikalisme tidak akan pernah hilang dalam negara Indonesia.

Selain itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Boy Rafli Amar mengatakan bahwa 50% konten di media sosial berisi ujaran intoleransi dan rencana kejahatan.

Tentu berdasarkan beberapa contoh di atas dapat dipahami bahwa negara Indonesia masih minim akan sifat toleransi dan menghargai antar sesama. Masih terdapat banyak kasus maupun indikasi-indikasi mengenai radikalisme dan intoleransi di berbagai daerah. Jika dilihat Indonesia sangat miris dalam menangani radikalisme yang tidak kunjung mereda, terutama radikalisme yang melanda antar umat beragama.

Padahal negara sudah menjamin rakyatnya untuk memeluk agama sesuai kepercayaan dan keyakinannya masing-masing. Hal ini dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 29, ayat (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Namun tetap saja beragam paham dan ajaran baru muncul, tercipta berbagai pemberontakan,dan lain sebagainya yang menghilangkan kedamaian. Hal ini harus menjadi perhatian bagi masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama membasmi radikalisme dan merubah pola pikir atau sifat intoleran dalam hidup. Pemerintah dapat menangkal radikalisme melalui cara moderat untuk menjaga persatuan bangsa didampingi dengan dukungan dari masyarakat. Sehingga kita dapat bergotong royong menciptakan kehidupan yang harmonis.

Pemerintah juga harus tegas dalam mengambil sikap dan membuat efek jera bagi para pelaku radikalisme. Jika para pelaku tidak ditindak tegas, maka efek jera juga tidak akan dirasakan mereka. Dimana hal ini akan membuat para pelaku baru bermunculan dan negara Indonesia semakin terancam paham radikalisme. Karena para pelaku merasa tidak akan mendapatkan hukum yang berat, tentu stigma baru pun akan bermunculan bahwa hukum di Indonesia rendah dan tidak tegas.

Jika dilihat dari sisi intoleran, negara Indonesia juga masih sedikit yang paham pentingnya sifat toleransi antar sesama. Terlebih negara Indonesia kaya akan perbedaan baik agama budaya, bahasa dan lain sebagainya. Jika setiap perbedaan saling bersaing dan menunjukkan eksistensinya maka perbedaan tersebut tentu akan menjadi penyebab perpecahan satu sama lain.

Maka dari itu, ubah pola pikir bahwa perbedaan ada untuk disamaratakan, menjadi perbedaan ada untuk saling menguatkan. Mari kita ciptakan kehidupan bermasyarakat saling menghargai dan menghormati antar sesama terutama menanamkan sifat toleransi dalam berbagai perbedaan yang ada agar tidak mengancam nasionalisme bangsa serta dapat terciptanya kerukunan nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Negara Indonesia beragam, bukan seragam. Negara Indonesia bersatu, bukan satu-satu" - Octavia Tunggal Dewi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun