Mohon tunggu...
Octaviani Nurhasanah
Octaviani Nurhasanah Mohon Tunggu... -

Wife of Amin Rois Sinung Nugroho. Mom of Arina Al-Haqq Aisha Maqvhira, Kalinda Aruna Jingga, and Kelana Thaariq Ibrahim. Visit my personal blog: http://octavianinurhasanah.net/ Or my craft blog: http://deliciouscraft.com/

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Public Display of Affection (PDA): How Much is too Much?

8 Maret 2013   00:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:09 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya saya menulis tentang ini juga. Awalnya, saya agak gimana gitu mau nulis ini. Rasanya kok “too much” ya. Tapi, setelah beberapa waktu belakangan saya melihat sendiri PDA (Public Display of Affection)yang “too much”, saya pun menyerah. Setidaknya saya sudah menyuarakan suara hati saya tentang apa-apa yang saya setujui atau tidak setujui. Daripada jadi bisul, ya gak sih?

Untuk sekarang-sekarang ini, PDA kayaknya udah biasa banget ya. Udah jadi pemandangan sehari-hari kalo kamu ada di ruang publik kayak mall atau bahkan sekedar di pinggir jalan. Jaman emang udah berubah. Jaman emak saya muda dulu, menurut beliau, gandengan tangan aja udah paling mantep tuh. Itu juga dilakuin dengan sangat malu-malu. Anak muda (apalagi ababil) jaman sekarang mah gandengan tangan udah biasa banget. Peluk-pelukan di pinggir jalan juga termasuk biasa.

Saya gak mau ngebahas kelakuan ababil. Saya bakalan sama labilnya sama para ababil itu kalo ngebahas itu. Kodok di depan rumah saya juga protes kalo ada ababil yang lewat depan rumah dengan gaya “dunia milik berdua, yang laen alien”. Jadi, biarkanlah para kodok itu menangani keberatan saya akan tingkah ababil. Saya sendiri lebih memilih untuk mengomentari PDA para pasangan muda yang sudah menikah dan pastinya mereka beradab dong ya. Tapi kadang, seberapa beradab pun kamu, kamu bakalan menyerah juga pada kobaran api asmara sampai-sampai melupakan hal-hal sederhana seperti: etika.

So, suatu hari yang galau (iya, hari itu saya emang agak galau), saya melihat tayangan inpohtemen tentang artis dan suaminya (suami sah loh ini, bukan suami siri) cipokan di depan para wartawan. Omigot! Walopun itu suami-istri yang sah (berdasarkan hukum agama dan negara), tapi yak, menurut saya itu udah “too much”. Apalagi mereka udah gak muda lagi. Apalagi lagi, mereka bukan menikah untuk pertama kalinya. Kadang-kadang, PDA-nya para artis ini motifnya suka aneh sih: biar dibilang harmonis lah, biar terekspos media lah, untuk naikin pamor lah, dan lain-lain laaaah.

Tapi, buat rakyat jelata kayak saya, PDA itu bisa lebih disempitkan lagi motifnya. Paling-paling motifnya gak jauh-jauh dari: biar dibilang romantis atau emang lagi mabok cintah. Atau—saya kadang curiga hal ini juga bisa jadi motif—they just don’t know how much is too much. Mereka cuman gak tau aja batasnya. Dan kalo ngomongin batas nih ya, bisa dibilang tiap kepala punya pakem batasannya masing-masing. Makanya titik tolaknya kudu disamain. Saya cuman bahas tentang PDA-nya pasangan suami istri loh ya. Kalo masih pacaran mah PDA gak PDA gak perlu dibahas. Udah jelas kalo itu gak boleh. Sampe di sini kita akur kan?

Trus sampe di mana PDA itu dibilang too much? Emang kita gak boleh menunjukkan kemesraan? Trus harusnya gimana dong bersikap biar gak dibilang sebagai oknum pelaku PDA yang too much?

Mesra dengan memamerkan kemesraan itu beda, sayang (tumben banget saya pake sayang-sayangan). Mesra itu kalo kamu dan suami kamu merasa dekat dan hangat dalam cinta, eaaa…. Memamerkan kemesraan itu bisa dibilang sebagai sebuah usaha agar orang-orang di sekeliling kamu merasakan kedekatan dan kehangatan kalian berdua. Tapi, pada garis tertentu, dan garisnya ini bisa dibilang: thin red line yang agak tricky, orang-orang di sekeliling kamu itu tidak lagi merasakan kedekatan dan kehangatan kalian, tapi malah jadi jengah dan jijay. Sampai di sini PDA bisa dibilang udah “too much”.

Ruang publik yang saya maksudkan bukan cuman ruang publik real kayak mall, pasar, pinggir pantai, toko buku, halte, pinggir jalan, restoran, dan lainnya, tapi juga ruang publik imajiner kayak macem Twitter dan Facebook.

Di ruang publik real seperti jalanan, gandengan tangan masih oke lah. Pelukan pinggang? Hmm … oke kalo kamu tetap mempertahankan posisi tangan di pinggang dan gak ke bawah-bawah. Tapi ini juga susah ya. Bahasa tubuh yang menunjukkan kedekatan ketika memeluk itu bisa berubah jadi keliatan nafsu kalo kamu gak mengontrol intensitas, timing, dan lama adegannya. Percayalah, saya pernah melihat pasangan suami istri pelukan pinggang dan saya melihat suaminya nafsu berat sampai-sampai saya (pengen banget tapi gak tega) buat bilang: find a room, dudes!

Pelukan ringan boleh aja, tapi liat timing. Kalo istri kamu nangis-nangis karena kecopetan, bolehlah dipeluk buat menenangkan. Tapi, kalo kalian pelukan terus sepanjang jalan, jangan-jangan orang-orang bakalan berpikir kalo kalian aslinya kembar siam yang udah dipisahin tapi tetep keukeuhpengen ngedempet, bukan suami-istri mesra lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun