Seperti janji saya kemarin, cerita tentang pengalaman jadi petugas KPPS saya lanjutkan. Sebagai wilayah perbatasan antara dua propinsi, DKI dan Jabar, sudah menjadi rahasia umum jika banyak penduduk di sini yang memiliki KTP ganda. Kepemilikan ganda tersebut memang bukan disengaja. Mayoritas warga pindah ke sini pada pertengahan dekade 80-an hingga 90-an di mana saat itu wilayah ini masih tercatat sebagai bagian dari propinsi DKI Jakarta. Ketika dimekarkan menjadi bagian dari propinsi Jawa Barat, rata-rata warga enggan melepas KTP DKI mereka dengan alasan toh semua serba Jakarta : mulai dari nomor telepon, pelat kendaraan, tagihan listrik, PAM, dan sebagainya. Yang paling penting, jika sudah pensiun nanti, pengurusan administrasi tunjangan pensiun lebih mudah dengan KTP DKI ketimbang KTP Jabar.
Sebab itu, saat membagikan formulir C6 saya sekaligus mewanti-wanti warga yang mengaku ber-KTP ganda agar menggunakan salah satu saja. Tak jarang dalam satu rumah ada perbedaan KTP. Orang tua ber-KTP DKI sementara anak menantu ber-KTP Jabar atau sebaliknya. “Kok anak saya tidak dapat?” Itu pertanyaan yang kerap ditanyakan pada saya. “Saya petugas KPPS dari DKI, Pak. Undangan hanya untuk yang terdaftar ber-KTP DKI,” jawab saya. Sang ortu pun manggut-manggut.
Beberapa keluarga yang memiliki banyak anak. Anak-anak yang sudah dewasa dan menikah serta telah memiliki keturunan tersebut masih tinggal dengan orang tua mereka. Rekor tertinggi yang tercatat sejauh ini adalah 13 formulir C6 untuk satu alamat rumah. Astaga! Ini rumah atau kompleks yaa??? batin saya geli. Banyak betul penghuninya!
Bagi saya, membagikan formulir C6 dari rumah ke rumah lebih praktis dengan berjalan kaki ketimbang naik motor misalnya. Dan saya lebih suka berkostum kasual dan nyaman: celana panjang plus T-Shirt. Di suatu rumah, saya mendapati seseorang -yang saya perkirakan sang pemilik rumah- tengah duduk di teras. Jaraknya kira-kira lima atau enam meter dari tempat saya berdiri. “Selamat siang, Pak. Saya mau membagi undangan,” sapa saya. Si bapak yang saya tebak usianya sekitar 40-an itu sedang asyik dengan gadget-nya. Ia hanya mengangkat wajah, menatap saya, lantas tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kedua telapak tangannya ditangkupkan di depan wajahnya. Dengan cepat saya mencerna apa gerangan maksud bahasa tubuh si bapak itu. Sedetik kemudian saya mengerti. Jiiiaaaahhh!!! Saya dikira minta sumbangan!!!! “Mau kasih undangan Pemilu, Pak!!” kata saya lantang seraya melambaikan potongan formulir C6. Mendengar kata Pemilu, barulah si bapak tergopoh-gopoh menyongsong sambil tersenyum malu. Beeuhh!
Berkeliling mengantarkan formulir C6 menjadi ajang silaturahmi dengan warga sekompleks yang kebanyakan merupakan teman-teman orang tua saya. Rata-rata usia mereka sudah sepuh, dan kesehatan mereka kian rapuh. Sebagian dari mereka tak begitu saya kenal secara personal. Mereka pun juga tak mengenal saya. Namun begitu saya menyebutkan bahwa saya adalah putri Bapak/Ibu X, air muka mereka berubah. Tanpa diminta, mereka mulai bertanya kabar orang tua saya dan bercerita ini itu. Bernostalgia. Ada yang memaksa saya untuk duduk sejenak di teras dan mendengarkan cerita mereka. Ada yang curhat tentang anak mereka yang telah meninggal. Ada yang curhat tentang pacar pertamanya yang kini dikenal sebagai sastrawan senior ternama negeri ini. Ada yang curhat mengenai tetangga sebelah (yang masih muda) yang punya kebiasaan mencuci mobil di jalanan dan tetap ndableg meski sudah berkali-kali diberitahu bahwa kebiasaan itu bisa merusak struktur aspal. Curcol alias curhat colongan alias curhat yang tak disengaja.
Pertemuan dengan kenalan-kenalan orang tua saya yang sudah sepuh dan rapuh itu membawa hikmah tersendiri bagi saya. Ada rasa haru di dalam hati ketika memandangi mereka. Melihat rambut putih mereka, kerut-merut wajah mereka, saya bagai menatap orang tua saya sendiri. Inilah generasi yang akan segera berlalu. Dan suatu saat, saya juga akan menjadi generasi seperti mereka, generasi yang akan berlalu. Semua itu seakan mengimbau diri saya agar semakin ikhlas meluangkan waktu untuk mereka. Mendengarkan cerita-cerita mereka. Menyimak yang tersirat tapi tak tersurat: kesepian-kesepian mereka. Maklumlah, masyarakat kita tak lagi banyak memberikan tempat bagi generasi seperti mereka untuk eksis dan diakui. Lihat saja acara-acara televisi, berapa banyak acara yang ditujukan untuk kaum lansia? Nyaris nol!
Memang tak semua pemilik rumah keluar menemui saya saat menyampaikan undangan Pemilu. Sebagian yang saya temui adalah si Mbak atau si Mas asisten rumah tangga. Ada kejadian lucu. Di sebuah rumah yang saya ketuk, keluarlah seorang perempuan berumur yang mengenakan blus tanpa lengan dan celana 7/8. Saya pikir dialah si nyonya rumah. Maklum saya hanya pernah bertemu sekali dan sepintas saja, jadi saya tak hafal raut wajahnya. “Selamat siang, Tante!” sapa saya. Begitu mendekat, saya mulai curiga. Dan ketika ia menjawab pertanyaan saya, tahulah saya. Rupanya perempuan itu adalah asisten rumah tangga. Ealaaaahhhh, si Mbak toh!! Hehehe.
Berhubung formulir C6 yang harus saya distribusikan jumlahnya lumayan banyak, maka saya melakukannya dalam dua tahap. Tahap terakhir bertepatan dengan acara Jalan Pagi Bersama warga kompleks. Sebagian besar mereka yang terundang saya kenal dan mengenal saya. Banyak dari mereka terlihat girang menerima undangan tersebut. Bagi para warga senior yang sudah sepuh-sepuh itu, acara perhelatan seperti Pemilu merupakan ajang untuk kumpul-kumpul. Tak heran jika mereka senang ikut ambil bagian. Beberapa di antara mereka dengan bersemangat saling janjian untuk datang bersama-sama ke TPS. Sebagian lagi merubungi saya untuk bertanya ini itu soal Pemilu nanti. Jadilah saya juru penerang dadakan. Meski saya punya ‘jagoan’, saya harus menjaga sikap netral. Jika ditanya harus memilih siapa,saya menyarankan agar mereka untuk memilih calon atau partai yang menurut mereka paling jujur, paling amanah, dan banyak bekerja untuk rakyat.
Dibanding Pilgub DKI dan Pilgub Jabar yang lalu, Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg) 2014 jauh lebih rumit. Ada 12 partai peserta, itu artinya ada 12 orang saksi yang terlibat dalam tiap TPS. Makin banyak jumlah saksi, berarti makin besar potensi untuk saling silang pendapat. Jumlah dokumen berita acara yang harus diisi petugas KPPS pun jauh lebih banyak daripada Pilgub DKI dan Pilgub Jabar. Ada 17 set dokumen berita acara. Tiap set rangkap tiga, sesuai dengan kategori kertas suara yakni untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD. Berarti ada 51 dokumen berita acara yang harus kami isi dengan tulisan tangan pada hari H nanti. Para petugas KPPS harus siap di TPS sejak jam 6 pagi. Kali ini kami diwanti-wanti agar bersiap-siap jika keadaan memaksa maka jam kerja kami bisa berlangsung hingga pukul 22 WIB atau bahkan lebih.
Meski begitu, saya senang bisa berkesempatan berpartisipasi menjadi petugas KPPS. Saya memang masih tergolong newbie alias baru. Seorang teman saya malah didaulat menjadi petugas KPPS sejak tahun 1999. “Aku udah blengerrrrr!” begitu komentarnya saat membaca tulisan saya kemarin. Saya juga mendapat teman-teman baru sesama anggota KPPS. O ya, anggota KPPS tertua di TPS kami berusia 75 tahun dan masih tetap cemungud. Yang termuda adalah siswa SMA.
Semoga Pileg 2014 berjalan lancar, jujur, dan damai di seluruh Nusantara. Semoga negeri ini memperoleh anggota-anggota DPR, DPD dan DPRD yang terbaik. Semoga saya kelak bertugas lagi menjadi petugas KPPS pada Pilpres 2014 bulan Juli nanti demi menyaksikan terpilihnya Sang Presiden harapan rakyat Nusantara. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H