Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Blue Heart Rhapsody

12 Mei 2014   20:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13998749771407828754

Ilustrasi : forum.smartcanucks.ca

Sebetulnya ia tak ingin pergi. Namun malam itu sepasang kakinya jauh lebih berkuasa. Meski hati kecilnya berulang kali menyuruh memilih tempat lain, ia tak berdaya. Ia tak mampu menolak saat kakinya melangkah membawa dirinya masuk. Lampu neon biru elektrik yang berkerlip redup mengukir nama tempat itu, Blue Heart, di atas pintu masuknya. Sebelumnya, ia tak pernah tertarik untuk datang ke situ.

“Kalau kau patah hati dan ingin melupakan sejenak kepedihanmu, pergilah ke Blue Heart. Kelab orang-orang patah hati. Kau bisa minum hingga mabuk sambil menangisi deritamu. Tapi ingat, Niko, jangan bikin onar. Para penjaga kelab takkan segan menendangmu keluar. Mereka sangat menjaga suasana tenang dalam kelab,” ungkap salah satu rekannya pada suatu hari.

Ia nyaris terbahak. Astaga! Orang-orang patah hati punya kelab tersendiri? Benar-benar menggelikan! Ia tak bisa membayangkan dirinya mengunjungi tempat aneh macam itu. Tidak akan pernah!

Tapi malam itu, rasa penasaran yang tiba-tiba memuncak berhasil memaksanya masuk ke sana. Di dalam, ruangan didominasi cahaya biru elektrik yang redup. Beberapa bagian kecil ruangan diterangi lampu bersinar kekuningan. Remang-remang melankolis nan muram. Wajah para pengunjung terlihat buram.

Ia melangkah ke bar, lalu duduk di sana. Hanya ada sedikit pengunjung saat itu. Sepotong nyanyian sendu meratap-ratap lewat perangkat pengeras suara yang ditanam pada langit-langit. Sebuah akuarium berukuran besar berisi sejumlah ubur-ubur di dekat bar menarik perhatiannya. Ia mengamati-amati. Bentuk ubur-ubur itu seperti gelembung-gelembung plastik putih transparan dengan rumbai-rumbai menjuntai panjang. Pada bagian dalam tubuhnya terdapat organ bercahaya kekuningan seperti pijar lampu bohlam. Lama ia memandangi mahluk-mahluk itu berenang gemulai. Baru kali ini ia melihat ubur-ubur yang bisa bercahaya seperti itu.

“Pertama kali berkunjung?” sapa bartender ramah. Ia mengangguk sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mata elangnya tak kesulitan menangkap seorangperempuan di seberang sana tengah terisak-isak. Tangannya tak henti menyeka mata dengan tisu. Tak jauh darinya, seorang lelaki terus mengepulkan asap rokok seraya memandangi langit-langit. Di lain sudut, seorang lelaki berdasi mulai meracau sendirian. Beberapa botolminuman bergeletakan di hadapannya. Beginikah orang-orang yang sedang patah hati? Hmh, benar-benar menyedihkan, cibirnya.

“Ingin minum apa?” tanya bartender itu lagi. Mereka bertatapan sesaat.

“Bloody Mary,” jawabnya cepat. Ia merasa mata bartender itu menyelidik. Orang itu pasti tengah berusaha membaca perasaannya; mencari tahu patah hati macam apa yang sedang melanda jiwanya. Bartender itu tentu mengira dirinya adalah salah satu dari orang-orang yang menyedihkan tersebut.

Mendadak ia merasa geli. Bodoh kau! Patah hati? Huh! Aku bukan salah satu dari kumpulan orang-orang menyedihkan itu, ejeknya dengan seringai angkuh di sudut bibir.

***

Saat ini akutak ingin seorang pun tahu perasaan macam apa yang tengah meremukkan hatiku. Aku tak hendak berbagi. Perasaan ini sungguh memalukan.

Aku benar-benar tak habis mengerti, kenapa perasaan yang tak pantas itu justru datang padaku. Mungkin ini semacam karma atas perbuatanku selama ini. Kuakui aku memang keterlaluan. Aku terlalu bangga pada reputasiku. Penakluk perempuan, itu julukan yang sering dialamatkan padaku. Begitulah diriku. Aku tak bisa mengekang keliaranku, yang terus-menerus membuatku menikmati hal yang satu itu. Memburu perempuan-perempuan yang kusukai, menaklukkannya, lalu mencampakkannya setelah bosan. Berapa banyak hati perempuan yang sudah kubuat remuk, aku tak berani menghitungnya. Terlalu banyak.

Dan Rosa adalah salah satu dari mereka. Untuk kesekian puluh kalinya aku jatuh cinta, aku jatuh cinta pada Rosa. Matanya yang hangat membuatku dimabuk hasrat untuk memilikinya. Seperti yang sudah-sudah, aku menjadikan Rosa sebagai buruan terbaru. Aku bagai harimau mengejar rusa. Penuh hasrat menyala. Namun Rosa adalah rusa cantik cerdik yang punya cara untuk mempermainkan harimau. Permainan seru dan panjang. Tak apa. Aku sangat menikmati tantangan. Tantangan makin membakarku untuk menaklukkan.

Perburuan berakhir. Rosa tersungkur dalam pelukanku. Aku bersorak girang, aku memang seorang penakluk yang tangguh. Badai cinta menggulung aku dan Rosa. Lalu, aku kembali bosan. Kuputuskan untuk menyudahinya.

“Kau laki-laki penipu!”

“Aku? Penipu? Kau ini lucu. Kapan aku pernah menipumu?”

“Pengkhianat!”

“Apa aku pernah menjanjikan apa-apa padamu? Tidak sekali pun.”

“Bajingan kau!”

“Aku memang bajingan, sayangku....”

“......”

“Aku kan sudah bilang, aku ini hanya ingin bersenang-senang denganmu, Rosa. Mengertilah. Oke?!”

“Suatu hari nanti kau pasti akan merasakan sakit yang kurasakan kini. Kau akan membayar dua kali lipat apa yang kau perbuat padaku sekarang. Itulah karma, dan itu pasti. Ingat itu, Niko!”

Aku ingat sinar matanya saat ia mengatakan kata-kata itu. Kemarahan yang berlumur kesedihan. Rosa. Ah, pasti ia akan tertawa girang andaikan ia tahu apa yang kini tengah kualami. Hati yang remuk, ternyata begini rasanya. Sangat menyakitkan.

Dan memalukan. Amat memalukan.

Aku telah jatuh cinta pada orang yang salah. Teramat salah. Cinta kini berbalik mencengkeramku tanpa ampun. Begitu mataku menatap matanya pada kali pertama, aku langsung terjerat. Seketika hatiku terikat dan menolak melepas bayang-bayang dirinya. Cinta pada pandangan pertama. Huh! Aku memang lebih dari sering mengalaminya. Itulah sebabnya aku menjadi pemburu dan penakluk perempuan. Namun sialnya, kenapa harus dengan dia? Orang seperti dia tak pernah masuk dalam hitunganku. Tak sedikitpun pernah kuduga aku akan jatuh cinta setengah mati padanya. Mereka yang tahu sepak terjangku sebagai penakluk perempuan pasti akan menertawaiku habis-habisan.

Sial! Benar-benar sial!!

Aku berusaha mati-matian membunuh perasaan cinta gila itu. Akan tetapi, cinta sialan itu terus menggunung. Menghimpitku dengan kerinduan yang menyesakkan. Hatiku remuk.

Rosa, inikah yang kau maksudkan dengan karma?

***

“Aku minta lagi,” katanya pendek dengan wajah memerah ketika bartender menghampiri untuk ketiga kalinya. Alkohol telah menguasai separuh dirinya. Segelas vodkatini datang. Ia langsung menyambar dan menenggaknya.

Sebentar lagi aku akan melihatnya. Aku akan mendengar suaranya yang menawan itu, desisnya dengan perasaan tak keruan. Brengsek! Ada apa sih denganmu! Hei, sadarlah! Kau takkan mungkin bisa mencintai orang itu! suara hatinya yang lain mencacinya. Namun, seperti yang sudah-sudah, suara itu sirna diterkam amuk perasaannya. Bahagia. Benci. Rindu. Muak. Sedih. Bercampur aduk membuat kepalanya sakit. Membuat hatinya sakit.

Orang itu. Ia sangat menderita semenjak bertemu orang itu.

Awalnya, malam itu untuk pertama kali ia menyaksikan penampilannya di kelab. Tak ada aneh ketika ia menyaksikan orang itu tampil di atas panggung. Meski ia mengakui keindahan suara dan permainan pianonya, tak ada secuil pun perasaan khusus. Biasa saja. Lagipula, mustahil ia jatuh cinta pada orang seperti dia.

Akan tetapi, sesuatu terjadi.

Saat itu menjelang jam tiga dinihari, tak lama lagi kelab akan ditutup. Pengunjung hanya tersisa dua tiga orang. Sesaat sebelum pulang, ia pergi ke toilet untuk buang air kecil. Begitu keluar, orang itu telah berada di seberang toilet. Menunggu giliran. Tubuhnya yang semampai bersandar ke dinding. Wajahnya sedikit mendongak, dan matanya menatap ke atas. Sepertinya tengah melamun. Suara derit pintu membuatnya tersadar. Mereka saling bertatapan sekilas. Hanya sepersekian detik. Tak ada tegur sapa.

Lantas tanpa sebab, ia tak bisa melupakan orang itu. Benaknya terus membayangkan raut wajahnya. Mata yang sempurna, dahi yang sempurna. Alis yang sempurna, hidung yang sempurna, tulang pipi yang sempurna, bibir yang sempurna, dagu yang sempurna...

Detil wajah orang itu menghantuinya. Menikamnya dengan kerinduan menyakitkan. Tentu saja, ia tolak mentah-mentah perasaan itu. Harga dirinya sebagai penakluk cinta yang tangguh terlukai.

Ia marah. Dan kian marah saat bayangan wajah orang itu tak juga enyah dari pikirannya. Akan tetapi, perasaan mengalahkan segalanya. Lelaki penakluk yang tangguh tersungkur di hadapan sebentuk rasa bernama kerinduan, yang memaksanya untuk kembali datang. Datang, dan datang lagi ke kelab untuk sembunyi-sembunyi memperhatikan orang itu dari sudut temaram.

Malam ini adalah malam yang kesembilan puluh sekian. Nyaris setiap malam kini ia tandaskan di Blue Heart. Tempat yang dulu diolok-oloknya.

***

Mendadak rasa ingin muntah mengaduk perutnya. Ia bangkit dengan berat, dan terhuyung-huyung menuju toilet. Sekeluarnya dari situ, ia terpeleset. Tiba-tiba saja, sepasang tangan datang menahan tubuhnya yang nyaris terjerembab.

“Terimakas....”

Mulutnya tak sanggup menyelesaikan ucapan itu tatkala tatapannya bertubrukan dengan mata sang pemilik tangan yang barusan menolongnya. Perasaan tak karuan kembali meremukkan hatinya. Sekujur tubuhnya terasa goyah.

“Anda tak apa-apa?” tanyanya. Matanya menatapnya penuh perhatian. Ia tahu, sepasang mata indah yang selalu bersorot sendu itu punya banyak penggemar di kelab ini. Dan mungkin juga di luar kelab.

Ia menggeleng. Jantungnya berdegup-degup. Cepat dan keras.

“Mau saya antar Anda kembali ke meja Anda?” tanyanya lagi. Suaranya yang halus terdengar tulus. Ia menggeleng lagi. Diam-diam matanya melirik pada tangan yang tengah memegangi lengannya. Jemari yang sempurna, keluhnya. Jari-jari langsing dan panjang itu sangat piawai memainkan tuts-tuts piano, hingga selalu membuat seisi kelab terbius.

“Tak usah. Terimakasih. Saya tak apa-apa,” akhirnya dengan susah payah ia menjawab.

“Sungguh?”

“Ya. Pergilah, sudah waktunya Anda menyanyi sekarang...” ujarnya.

“Baiklah kalau begitu,” katanya sebelum berlalu.

Ia menatap punggung penyanyi kelab itu dengan hati patah. Kenapa aku bisa jatuh cinta pada orang sepertimu? bisiknya getir. Dicengkeramnya rambutnya kuat-kuat. Ia membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Mulutnya melontarkan erangan tertahan.

“Tuhan, jangan menghukumku seperti ini,” ratapnya sengsara. “Jangan jadikan penakluk perempuan sepertiku jatuh cinta pada lelaki itu...”

***

Jakarta, 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun