Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Romantika Taksi (1)

12 Mei 2014   19:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:35 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi : capaworld.capa.org

Naik taksi, mayoritas dari kita -terutama yang tinggal di perkotaan- pasti pernah, sering atau bahkan rutin melakukan atau mengalaminya. Dari waktu ke waktu moda transportasi ini mengalami evolusi sesuai perkembangan jaman, baik dari segi fisiknya maupun dari pelayanannya. Tulisan ini adalah catatan ingatan seputar pengalaman saya naik taksi.

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jakarta, dan dengan umur yang sudah banyak pula angkanya, saya menjadi saksi perkembangan kendaraan taksi di negeri ini. Saat masih bocah ingusan di era tahun tujuh puluhan, taksi pertama yang saya naiki adalah Ratax, kependekan dari Radio Taxi. Seingat saya, di jendela belakang taksi ini ada tulisan Airport Taxi. Ratax memakai mobil berbodi lebar, kalau tak salah Toyota Crown keluaran 1971. Warna bodinya cokelat susu. Selain Ratax, taksi yang juga ngetop saat itu adalah President Taxi. Awalnya President Taxi juga memakai mobil Toyota Crown 1971-72 dengan warna kuning mencolok. Beberapa tahun kemudian Ratax kalah pamor dibanding President Taxi yang kian berjaya. President Taxi kemudian beralih menggunakan mobil berbodi lebih kecil seperti Toyota Corolla, Corona, dan Datsun 120 (seingat saya).

Kini,President Taxi sudah almarhum, sedangkan Ratax masih eksis namun pamornya semakin redup. Pada tahun 2013 konon jumlah armadanya tak sampai 100 kendaraan sehingga terdengar kabar bahwa Wagub DKI Basuki Tjahaya Purnama akan melebur perusahaan taksi ini ke dalam armada taksi lainnya. Sementara itu ada pula taksi Blue Bird. Dulu Blue Bird memakai mobil Holden Torana, yang juga berbodi lebar. Hingga hari ini taksi Blue Bird masih tetap berjaya. O ya, masih ada Morante Taxi. Saya tak begitu ingat warna yang dipakai armada ini. Kemudian ada pula armada taksi dengan mobil jenis Datsun 220 C diesel keluaran tahun 1971. Bodi taksi bercat biru langit dengan bagian kap berwarna putih. Beberapa teman saya mengatakan itu adalah taksi Steady Safe, sementara yang lain meyakininya sebagai taksi Sri Medali. Saat ini, Morante dan Steady Safe menginduk kepada armada taksi Blue Bird.

Pada awal tahun tujuh puluhan, ada juga taksi partikelir alias taksi dengan nomor plat hitam alias taksi gelap. Orang menyebutnya juga sebagai taksi jam-jaman (karena ongkosnya dihitung per jam pemakaian). Taksi ini umumnya adalah kendaraan pribadi milik perorangan atau kelompok yang disewakan untuk taksi. Biasanya taksi jenis ini mangkal di lokasi-lokasi tertentu. Jenis mobilnya bermacam-macam. Saya pernah naik taksi partikelir jenis Fiat 1100 keluaran tahun 1962 ke Mega Mendung, Puncak, Jawa Barat. Maklum, ibu saya punya sedikit jiwa avonturir dan suka jalan-jalan. Jadi pada suatu hari kerja beliau berinisiatif mengajak kami putera-puterinya plus seorang asisten rumah tangga berpiknik ke kawasan itu dengan naik taksi. Setahu saya taksi partikelir ini tetap eksis hingga awal tahun 90-an. Selanjutnya taksi jenis ini bertransformasi menjadi yang sekarang disebut rental car atau mobil sewaan.

Saat ini perkembangan taksi sudah sedemikian bervariasi dengan jumlah pemain (baca: brand) yang semakin banyak. Kategori taksi juga kian beragam, mulai dari taksi reguler, eksekutif, hingga taksi jenis super super esklusif yang memakai mobil super mewah seperti Ferrari. Ferrari?? Taksi??? Saya mendapat informasi ini dari pengemudi taksi T yang saya tumpangi pada suatu sore. Menurutnya, perusahaannya sebetulnya menyediakan layanan taksi super mewah ini. Rutenya pun terbatas hanya dari hotel ke hotel. Hotel kelas berlian tentunya. Tapi karena ketatnya persaingan bisnis, taksi Ferrari dari perusahaannya dilarang beroperasi.

Sebagai warga kota yang lumayan sering menggunakan jasa taksi, banyak pengalaman yang saya dapatkan, baik terkait fisik kendaraan hingga karakter pengemudinya. Dulu, sekali dua kali saya pernah menaiki taksi yang keadaannya cukup memprihatinkan. Mobilnya tua serta tampaknya sudah mengalami OTS (operasi tambal sulam) berkali-kali, AC-nya nggak dingin, jok kursinya bocel-bocel, dekil plus bau apek, dan mesinnya kerap berbunyi ogrok-ogrok-ogrok. Untung nggak mogok di tengah jalan. Mau turun, saya kasihan sama supirnya. Saya pikir pastilah banyak orang yang ogah menaiki taksi jelek kayak begini. Maka jadilah saya bertahan hingga tujuan meski sepanjang jalan suasana hati saya jadi sedih dan trenyuh –dan terkadang minder juga bila harus turun di gedung mentereng- gara-gara kondisi taksi yang ngenes itu.

Sekarang, mau tak mau rata-rata armada taksi berlomba menggunakan mobil keluaran terbaru jika tak ingin ditinggalkan konsumennya. Maklum kompetisi antar armada makin sengit. Nah, taksi terasyik yang pernah saya naiki di Jakarta adalah taksi jenis eksekutif (silver) dengan mobil berkelas Mercedes New Eyes. Rutenya dari rumah saya di pojok selatan Jakarta ke Bandara Soekarno-Hatta dengan melewati jalan tol dalam kota (toldakot). Sialnya, hari itu toldakot macet cet cet sehingga perjalanan beringsut-ingsut bak balapan keong selama beberapa jam. Hasil akhirnya, ongkos taksi plus biaya tol sekian pintu mencapai angka 400 ribu rupiah. Untunglah, ongkos sebesar itu bukan saya yang membayar, melainkan kerabat saya yang hendak pulang ke negeri Kangguru.

Kemacetan Jakarta yang makin lama makin mengerikan memang membuat para pengemudi taksi susah. Apalagi kalau musim hujan tiba, banjir dan genangan air kian menjadikan jalanan di Jakarta bak neraka. Tak sedikit dari mereka yang tanpa segan menyuarakan unek-uneknya pada penumpang. Seperti cerita seorang supir taksi E yang saya tumpangi pada suatu siang menjelang sore di bulan Desember 2013 menuju kawasan Kuningan. Supir yang berusia sekitar 35 tahun itu mengaku dirinya tak kuat lagi narik (membawa taksi) setiap hari. “Sekarang saya cuma kuat narik 3-4 hari dalam seminggu, Bu. Saya nggak tahan, Jakarta macetnya makin gila. Kalau dulu, 3-4 tahun lalu, saya masih sanggup narik tiap hari. Sekarang nggak lagi,” ceritanya. “Trus, kalau Bapak ngapain kalau nggak narik?” tanya saya ingin tahu. “Ya istirahat di rumah, Bu. Saya males ke mana-mana. Badan rasanya capek banget. Nggeletak (tidur) aja deh,” katanya.

Naik taksi di Jakarta yang super macet memang membutuhkan strategi. Setidaknya kita harus menguasai sejumlah rute jalan alternatif di lokasi yang rawan macet parah. Kemacetan lalu lintas Jakarta kerapkali susah diprediksi, banyak faktor eksternal terlibat, seperti adanya demo, kecelakaan, hujan, iring-iringan pejabat negara yang lewat, hingga gelaran keriaan massa yang tumpah ruah ke jalan semisal acara kesenian, tabligh akbar dan sebagainya. Tapi yang jelas berdasarkan pengalaman, saya pun paham bahwa hari Jumat sore, Sabtu dan Minggu –terutama sehabis payday (hari gajian) para pegawai- Jakarta pasti macet dan seakan-akan memang wajib macet. Jika sudah terjebak dalam kemacetan super Jakarta saat naik taksi, opsinya tak banyak: turun di tengah jalan, tetap tenang dalam taksi sambil berdoa agar kemacetan segera terurai, atau tetap naik taksi sambil terus memonitor argo dengan hati dipenuhi H2C alias harap-harap cemas…hehehe.

Saya pernah naik taksi dengan jarak yang sebenarnya nggak jauh-jauh amat, dari daerah Pondok Labu ke Kota Kasablanka di kawasan Kuningan. Masih sesama wilayah Jakarta Selatan. Saya berangkat sore sekitar jam 16.30 dan baru tiba di tujuan hampir jam 21 WIB. Penyebabnya adalah kemacetan parah di perempatan jalan Wijaya arah jalan Kapten Tendean. Nyaris dua jam saya terjebak di sana. Lain waktu, dari Pondok Labu saya naik taksi menuju Mangga Dua Mall di Kota. Jarak yang jauh dari pojok selatan ke pojok utara. Saya berangkat sekitar jam 11.30 siang, dan sejam kemudian saya tiba di tujuan. Perjalanan saya lancar jaya tanpa hambatan berarti, barangkali dikarenakan hari itu adalah hari libur nasional di tengah-tengah minggu. Nah, bagaimana dengan kisah-kisah lainnya? Ternyata ada lho vokalis band yang nyambi jadi supir taksi. Mau tau ceritanya? Tunggu lanjutannya yaa. Stay tuned!

Jakarta, 12 Mei 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun