Ilustrasi : careforpastors.org
Malam sudah amat tua saat ia menenun kata-kata dalam tempurung kepalanya. Kesunyian yang membungkus koridor panjang itu dengan erat –seerat perban yang membebat lengan kirinya hingga ke pergelangan tangan- membuat dirinya tak menemui kesulitan memilih dan mengikat kata demi kata, dan menenunnya menjadi baris-baris kalimat : sebuah puisi. Tanpa suara ia pelan-pelan mengucapkannya. Kalimat-kalimat itu menggema dalam tempurung kepalanya.
***
Awalnya, ia melihat punggung seseorang. Entah siapa ia tak tahu. Ia sama sekali tak mengenalnya. Ia yakin orang itu bukan perawat atau dokter yang sedang bertugas atau siapa pun yang bekerja di rumah sakit itu, dan bukan pula salah seorang pasien di situ; mereka semua biasanya memakai pakaian kerja atau seragam yang tentu saja mudah dikenali.
Punggung itu mungkin milik seseorang yang merupakan keluarga salah satu pasien. Barangkali orang itu tengah mendapat giliran menunggui sanak keluarganya yang sedang dirawat di situ. Biasanya para penunggu tersebut berjaga sepanjang malam, atau jika tak kuat begadang, mereka kerap tidur di lantai kamar pasien. Kebanyakan mereka membawa sendiri matras untuk alas tidur.
Pada larut malam itu, mendadak ia terbangun dan tak bisa memicingkan mata kembali. Agaknya tubuhnya sudah bosan berhari-hari berbaring di ranjang rumah sakit. Lantas ia memutuskan untuk bangun kendati tubuhnya masih terasa lemah jika berdiri terlalu lama. Dengan menaiki kursi roda perlahan ia menyelinap ke luar kamar. Dan di situlah ia sampai, di ujung koridor yang panjang.
Tak ada siapa-siapa di sana. Hanya dirinya seorang. Koridor itu sunyi. Lampu-lampu putih kebiru-biruan menyala muram. Dengung suara mesin pendingin mengentalkan kesunyian. Tentu saja, ini sudah lewat tengah malam. Para pasien yang menempati deretan kamar rawat inap di sepanjang koridor itu pastilah sudah terlelap. Juga sanak keluarga yang menunggui mereka.
Ia terdiam di situ. Termangu-mangu duduk di atas kursi roda. Waktu merayap begitu lambat; bagai cairan pekat yang beringsut-ingsut mengalir pelan. Koridor sunyi, kosong dan muram yang terbentang di depan matanya seakan menjelma menjadi jalan menuju dunia asing yang tak ia ketahui. Membuatnya kelu dan canggung; tak tahu harus berbuat apa selain memberi dirinya terhisap dalam segenap kesunyian dan kekosongan koridor panjang yang disinari lampu-lampu putih kebiru-biruan yang muram.
Tiba-tiba, pintu salah satu ruangan kamar pasien terbuka. Suara deritan panjang yang ditimbulkannya bergema dalam sunyi bagai ratapan pilu menikam kalbu. Sesosok laki-laki bertubuh tinggi kemudian menyembul dari balik pintu. Ia memakai celana pantalon berwarna gelap dan kemeja biru terang berlengan panjang yang digulung hingga ke siku.
Setelah menutup pintu, lelaki itu berjalan menjauh menuju ke ujung koridor nun di sana. Suara langkah-langkah kakinya berat; bergema di sepanjang koridor yang sunyi dan kosong. Perempuan itu menduga, laki-laki tersebut pasti mengenakan sepatu dengan sol yang kokoh serta tebal hingga langkah-langkahnya terdengar berat.
Ia sama sekali tak berkesempatan melihat wajahnya. Lelaki itu keluar dari dalam kamar dengan posisi membelakangi, sehingga ia hanya dapat menyaksikan sebentuk punggung bidang dan tegap. Seluruh perhatiannya kini tertumpah pada punggung itu. Dalam kesunyian dan kekosongan yang membekap erat koridor, punggung yang sedang bergerak menjauh itu menjadi pusat kehidupan. Seakan dialah satu-satunya perwujudan nyata dari kehidupan. Sesuatu yang hidup dan bergerak.
Sang perempuan berkursi roda terpaku menatap punggung itu. Terpaku menyimak bunyi langkah-langkah berat yang bergema di sepanjang koridor. Perpaduan antara gerak punggung yang menjauh yang tengah direkam bola matanya dan bunyi langkah kaki yang bergema yang ditangkap gendang telinganya menjelma menjadi melodrama sesaat yang membius. Suatu perasaan haru yang lirih menetes dalam relung hatinya; menggenang, mengental, menggumpal. Ia mengenali perasaan itu. Perasaan yang masih saja menghantui dan menyandera hatinya hingga kini.
***
25 April 2003, pukul 21.30
“Maafkan aku, aku memang bersalah.”
“Pergilah. Semua sudah berakhir…”
“Tapi ijinkan aku menjelaskannya du….”
“Kubilang, sudah berakhir. Tak perlu kau jelaskan. Pergilah.”
“Tapi ini tidak seperti yang kaukira. Aku….”
“Sudahlah. Aku tak perlu alasanmu lagi.”
“Aku mohon, Nin…”
“Hubungan kita cukup sampai di sini, titik.”
“Jangan begitu, Nin. Aku benar-benar mencintaimu…”
“Hmh, apa aku terlihat begitu tolol hingga kau kira kau bisa menipuku lagi?”
“Nin…”
“Selamat tinggal!”
“Nin! Tunggu, Nin!”
Lelaki itu berlutut dan memohon-mohon di hadapannya. Tapi perempuan itu benar-benar telah menutup pintu hatinya. Dengan sikap dingin ia mengusir laki-laki itu pergi.
“Aku akan datang lagi besok, besoknya, besoknya lagi, dan seterusnya sampai kau merubah keputusanmu, Nin.”
“Terserah. Aku takkan peduli. Sekarang pergilah!” ujar perempuan itu dengan suara beku.
Lelaki itu akhirnya pergi. Namun ia menggenapi janjinya. Dia muncul kembali pada keesokan harinya. Lalu esoknya. Dan keesokannya lagi. Hari demi hari ia menunggu di dekat pintu gerbang rumah perempuan itu. Tak beranjak sedikitpun hingga malam kian larut. Akan tetapi, perempuan yang dinanti-nanti tak juga menggubrisnya. Pintu gerbang itu selalu terkunci. Tak pernah lagi terbuka baginya. Dari malam ke malam (tentu saja lelaki itu tak bisa ke sana pada siang hari karena harus bekerja) ia hanya menemukan kekosongan di sana. Dirinya seakan tak lebih dari onggokan batu. Tak ada yang peduli. Lelaki itu mengeraskan hati, dan berusaha bertahan pada tekadnya.
Dering nada polifonik berkumandang lagi. Sebuah SMS lagi. Perempuan itu membaca pesan singkat itu dengan perasaan angkuh. Ini SMS ke-tigaribu sekian yang diterimanya dari lelaki itu semenjak perpisahan mereka yang menyakitkan. Semua SMS itumembuatnya merasa tersanjung. “Benar-benar keras kepala,” desisnya dengan senyum kemenangan menyala di bibirnya.Sesungguhnya, ia mengakui bahwa dirinya menyukai sifat keras kepala lelaki itu.
Pada layar ponselnya tertera kalimat : “Baiklah, Nin. Aku akan pergi. Tapi bisakah kau menemuiku untuk terakhir kalinya? Aku mohon, Nin.”
Seperti yang sudah-sudah, perempuan itu tak sudi memberi jawab. Ia mematikan lampu kamar tidurnya yang terletak di lantai dua. Lantas dengan mengendap-endap, ia menuju ke balkon. Daerah pintu gerbang amat jelas terlihat dari situ. Di sana, dalam bayangan gelap, matanya yang tajam segera menemukan lelaki itu berdiri menunggu di luar pintu gerbang dengan sikap gelisah.
Waktu terus merayap. Malam kian sunyi dan gelap. Perempuan itu tetap bersembunyi dalam bayang-bayang temaram. Dan lelaki itu terus menunggu. Keduanya bersikeras bertahan pada posisi masing-masing. Akhirnya, lelaki itu kalah. Setelah batang rokok terakhir yang dihisapnya habis, ia melempar puntungnya ke dalam gelap, lalu melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Mataperempuan itu tak berkedip mengawasi punggung lelaki yang bergerak kian menjauh dalam telikungan malam. Entah kenapa, perasaan kehilangan yang tiba-tiba menyergap hatinya membuatnya tergagap-gagap. Itulah terakhir kali ia melihat sosok lelaki yang selama beberapa tahun belakangan mengisi hari-hari kehidupannya.
***
Punggung itu tiba di ujung koridor yang panjang. Terdengar deritan lirih daun pintu yang dibuka. Menggema pelan di seantero koridor yang sunyi, kosong dan diterangi sinar lampu putih kebiru-biruan yang muram. Punggung itu akhirnya menghilang ditelan daun pintu yang kembali menutup.
Perempuan di atas kursi roda tadi masih tertegun di tempatnya semula. Setetes rasa ngilu yang kental menjalar pelan di dinding hatinya. Aneh, bisiknya dalam hati, rasanya sama seperti kejadian malam itu. Saat terakhir kali aku melihat punggungnya kian menjauh dalam dekapan bayang-bayang malam. Ngilu yang sama. Sedih yang sama.
Ia menghela nafas. Pelan-pelan bibirnya mengucapkan kata-kata yang sedari tadi ia tenun dalam tempurung kepalanya. Lambat. Jelas. Namun teramat lirih. Ia mengucapkannya dengan hati-hati dan penuh perasaan. Seperti membisikkan sebait mantra nan keramat.
Punggung yang menjauh
menempuh sendirian
panjang lorong sunyi
Punggung yang menjauh
menyisakan padaku
ingatan samar
cabikan kenangan
sosok yang memudar
***
Octaviana Dina
Jakarta 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H