Mohon tunggu...
Octaviana Dina
Octaviana Dina Mohon Tunggu... -

Cogito ergo sum\r\n\r\nhttps://octavianadina.wordpress.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Soneta Hutan Hujan

25 Mei 2014   03:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:08 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam makin temaram, tapi aku masih saja mengeja jiwamu dan menerka-nerka lekuk hatimu. Hati yang kau sembunyikan di balik lapisan kelok liukan kata. Kata-kata yang bertumpuk merapat, tebal merimbun bagai gugusan pepohonan belantara hutan hujan yang enggan kumasuki. Hutan hujan tempatmu timbul tenggelam. Tempatmu menghirap, sirna lalu muncul kembali.

Kukira engkau kabut dingin banal belaka yang tak pernah jemu menggerayangi setiap pagi yang jatuh di pucuk belantara. Akan tetapi ternyata kau adalah sepasang mata bercahaya yang takpernah lekang mengintai dari balik kelindan belukar gelap rimba basah yang enggan kujejaki.

Mata yang menyorotkan cahaya purba yang menerabas hingga jauh ke ujung relung labirin hati, meski sudah kubentangkan benteng waktu di antara kita. Aaah! Aku tak menyukai permainan ini. Mengapa aku hanya mampu membaca punggungmu yang hana dan kelam sementara cahaya matamu memantik sinar yang memandumu menelisik sekujur benakku.

Maka kupanggil si rajawali keramat yang akan membawaku terbang menjauhi belantara hutan hujan yang enggan kususuri. Aku melayang. Melayang tinggi dalam kepak raja elang. Samudera langit dan lautan awan membuatku tersungkur dalam nidera. Aku terjebak mimpi nirwana. Mimpi sarat harum mawar berlumur manis anggur. Lepas, bebas, tak terbatas.

Rajawali menukik deras. Aku terjaga dari mimpi lawas. Betapa lembut sayap-sayap ini. Aaah! Bukan! Aku bukan dalam pelukan sayap. Aku terpasung dalam rengkuhan rimbun dedaunan belantara hutan hujan yang enggan kuhampiri. Rengkuhan hangat beraroma sitrus dan cemara.

Sepasang mata bercahaya purba menyeruak dari balik hijau pekat. Membuatku tercekat. “Halo,” katamu. Aku terdiam. Kau tersenyum. Hening. Tapi ada yang gaduh di antara kita. Hatiku melarikan diri dariku. Hatimumenghambur menyongsong. Keduanya berpagutan erat tanpa malu. Lalu hutan hujan tanpa ampun melantunkan sonata cinta. Aaah…

Octaviana Dina

Jakarta, 23 Mei 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun