Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Donald Trump akhirnya akan menduduki posisi orang nomor satu di USA alias seorang presiden dari sebuah negara adidaya. Apalagi selama masa-masa kampanye, posisi Trump senantiasa tertinggal dari Hillary sehingga terkesan pada saat hari pemilihan suara nanti sepertinya Hillary akan menang dengan mudah terhadap lawannya yang dianggap tidak berpengalaman dan banyak kekurangan dalam dunia kehidupannya maupun bisnisnya dibanding Hillary.
Tapi bagaikan pertarungan balap Moto GP, Trump sejak start langsung tancap gas bahkan sampai dengan lap terakhir bukannya terkejar malahan makin jauh meninggalkan perolehan suara lawannya. Hanya di pertarungan kursi US senate saja terjadi pertarungan yang cukup sengit, selebihnya lambat laun dominasi kaum republik sudah tak tertahankan.
Bisa dikatakan pemilihan presiden USA, kursi US senate dan US House Representative tahun 2016 ini semuanya disapu bersih oleh pihak Republik
Beberapa isu yang diangkat kepada kedua calon capres untuk memberikan sikap dan argumentasinya juga memang yang selama ini selalu terjadi perbedaan pandangan yang cukup tajam, sesuatu yang bisa dipakai juga untuk pilkada ataupun pilpres di Indonesia untuk core topik maupun topik tambahan lainnya.
1. Masalah Gender
Amerika  walau dikenal sebagai negara adidaya dan penganut paham demokrasi, tetapi belum pernah menghasilkan pemimpin wanita. Untuk yang satu ini amerika kalah dengan Inggris, Filipina, Jerman dan Indonesia. Hillary belum dianggap setara atau mampu bersikap seperti Iron-Lady’nya inggris.
Bisa jadi masyarakat memandang sebuah negara adidaya haruslah dipimpin oleh seorang pria dan berkarakter kuat. Apalagi saat ini masalah dalam negeri  Amerika dan di belahan  dunia lain juga sedang gonjang ganjing
2. Butuh pemimpin yang kuat
Gaya dan karakter Trump bagaikan cowboy itu dianggap lebih cocok dalam menghadapi persaingan global yang semakin panas dan kadang tak terkendali, terlebih saat ini permasalahan timur tengah, perbatasan, imgirasi dan lain sebagainya yang cukup tinggi tekanannya maka dibutuhkan keputusan cepat dan berani mengambil risiko, untuk hal ini sepertinya bukan merupakan hal yang sulit bagi konglomerat sekelas Trump. Ganjalan mungkin hanya datang dari Senat.