Mohon tunggu...
Octavia Cahyaningyang
Octavia Cahyaningyang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebebasan Pers di Tangan UU ITE

26 April 2021   03:56 Diperbarui: 26 April 2021   06:45 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketentuan UU ITE telah menjadi ancaman bagi kebebasan pers di Indonesia. Ketentuan UU ITE dirumuskan untuk mengatur informasi elektronik dan transaksi elektronik. Meskipun UU ITE diklaim tidak ditujukan kepada pers, keberadaan UU ITE dianggap salah satu penyebabnya. hambatan kebebasan pers. 

Karena adanya UU ITE, banyak perkara jurnalis yang dijerat oleh UU ITE bahkan dipidana oleh hakim. Banyak jurnalis muda dan senior yang meminta untuk mengubah ketentuan UU ITE dan mempertimbangkan lagi untuk menghapuskan pasal-pasal karet dalam UU ITE, yang dapat merugikan kebebasan pers. 

Dalam UU ITE terdapat lima pasal yang dinilai LBH Pers berpotensi menghambat kebebasan pers diantaranya yaitu Pasal 26 ayat (3) tentang penghapusan informasi elektronik berpotensi bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik serta sejumlah peraturan perundang-undangan lain yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi. Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan penghinaan. Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) tentang penyebaran ujaran kebencian SARA. Pasal 36 tentang informasi dan transaksi elektronik, dam yang terakhir Pasal 40 ayat (2b) tentang muatan dilarang. 

Dengan adanya ketentuan dalam UU ITE tersebut, dapat memberikan kesempatan kepada pelaku termasuk pejabat publik untuk mengusulkan penghapusan informasi tersebut, termasuk informasi yang diberikan oleh pers. Selain itu, ketidakjelasan pengungkapan informasi yang tidak relevan dalam pasal ini dapat digunakan untuk melanggengkan impunitas atas kejahatan dalam kasus pelanggaran HAM berat, korupsi atau kekerasan seksual. 

UU ITE tidak hanya mengancam kebebasan pers dan publikasi, tetapi juga mengancam kebebasan individu untuk menyampaikan pendapatnya. Undang-undang ITE pada awalnya dirancang untuk melindungi konsumen dari transaksi elektronik dalam penggunaan Internet yang meluas, dan undang-undang itulah yang membungkam mereka yang mengkritik negara. Tentu saja, hal ini merusak kebebasan berbicara warga, dan kebebasan ini terus merosot. 

Dalam catatan SAFEnet, diketahui juga bahwa sebanyak 90% pengenaan UU ITE telah dituduh melakukan pencemaran nama baik. Lainnya didakwa dengan ujaran kebencian (ujaran kebencian). Secara umum, tujuan UU ITE adalah melaporkan laporan dari partai politik yang berpengaruh termasuk pemerintah dan pejabat pemerintah. UU ITE juga mengatur berbagai model hukuman pidana. Ini termasuk bentuk balas dendam, barter, kritik diam-diam, shock therapy, dan penganiayaan kelompok. Diantaranya, misalnya, dalam kasus Rudy Lombok yang dilaporkan Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB, Ichwansyah (Jogja) diancam dengan UU ITE karena memperjuangkan hak-hak pekerja. 

Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, dalam audiensinya, mengatakan bahwa setiap tahunnya ada sekitar 5.800 pengaduan yang ada di Komnas HAM. Sebagian besar dari orang-orang yang mengadu juga adalah orang-orang yang merasa dikriminalisasi, pengaduan terhadap polisi, dll. 

Pers di era Soeharto yaitu era orde baru, pers setelah era Habibie, Gusdur, Megawati dan pers di era SBY sampai sekarang ini terdapat perbedaan. Di era Soeharto yaitu era orde baru, tunduk pada sistem politik atau pemerintah, pada masa ini sebuah perusahaan pers yang akan didirikan harus memiliki Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) yang diatur dalam Permenpen No.01/Pers/Menpen 1984, yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan (DEPPEN), hal ini dapat dinilai bahwa pemerintah memiliki legitimasi dalam mengekang kebebasan pers, padahal dalam UU Pokok Pers No. 11 tahun 1996 mengatur dan menjamin kebebasan dalam menyiarkan pemberitaan. Apalagi kedudukan Undang-Undang seharusnya lebih kuat dibandingkan dengan Permenpen. 

Di era Habibie, Gusdur dan Megawati, Runtuhnya Rezim Soeharto pada tahun 1998 yang telah berkuasa selama 32 tahun di Indonesia,membuat banyak perubahan dalam segala sendi kehidupan dan pemerintahan di Indonesia, tidak terkecuali pada sistem pers, pers yang dulunya dibawah kendali pemerintah atau tunduk pada sistem politik, kini mulai mendapatkan "angin segar" dengan dicabutnya peraturan penggunaan SIUPP (surat izin usaha perusahaan pers) karena dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). 

Dengan demikian, pengurusan untuk mendirikan perusahaan/penerbit pers tidak lagi bertele-tele dan melewati birokrasi yang sangat rumit. Departemen Penerangan (DEPPEN) yang selama ini menjadi salah satu momok bagi kebebasan pers di Indonesia dihapuskan, meskipun sebelumnya pada era Habibie, penghapusan SIUPP sudah dilakukan, tetapi bayangan akan otoritarianisme pemerintah terhadap pers masih ada, yaitu DEPPEN. Pasca dihapuskannya SIUPP dan DEPPEN banyak perusahaan media yang gulung tikar hal ini sangat disayangkan,saat itu seharusnya lebih banyak perusahaan penerbitan media yang muncul. Banyaknya media yang "tumbang", menjadi akhir dari masa "bulan madu" media di Indonesia. Kemajuan teknologi komunikasi yang semakin berkembang membuat perilaku khalayak media juga berubah, akhirnya banyak media cetak beralih ke media online. 

Kemudian di era SBY sampai sekarang ini, pemerintah tidak pernah ikut campur mengenai urusan kebebasan pers. Pemerintah memberikan hak konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Dengan kebebasan pers, media massa dimungkinkan untuk menyampaikan berbagai informasi, sehingga memperkuat dan mendukung warga negara untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment. 

Solusi atas permasalahan ini, saat ini pemerintah sedang mengkaji dan mendiskusikan kembali untuk merevisi ulang pasal-pasal yang mengikat pers. Kami semua berharap pemerintah benar-benar berupaya merevisi dan mengusahakan revisi kali ini merupakan revisi terakhir demi kemajuan pers di Indonesia dan kenyamanan masyarakat dalam kebebasan berpendapat. Karena sampai saat ini pun masalah ancaman kebebasan berpendapat masih ada dan banyak sekali di Indonesia. Hal ini dilakukan agar tidak ada lagi oknum yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan pasal-pasal karet yang ada di UU ITE untuk menjebak orang-orang yang tidak bersalah. 

Ditulis Oleh Octavia Cahyaningyang, Mahasiswa Ilmu Komunikasi -- Universitas Muhammadiyah Malang 

Hubungi Penulis di Twitter : @octvc_ ; Instagram : taaocta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun