Mohon tunggu...
Octalina Savitri
Octalina Savitri Mohon Tunggu... -

apapun itu kalau bisa dikerjakan sendiri, ya harus dikerjakan sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Choma Cafe

15 Februari 2014   23:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga hari ini tak hujan. Ku lihat kalender, memastikan tanggal. Ya, 15 Februari. Hari Sabtu. Telah ku buat janji beberapa waktu yang lalu bersama Sita, temanku sewaktu kuliah. Ia datang ke Jogja karena ada proyek, katanya. "Mumpung aku di Jogja, ketemuan yuk," kata Sita di ujung telpon. Tempat dan waktu sudah ia tentukan dan aku menyanggupinya.

Langit hanya terlihat mendung, namun sepertinya tak akan hujan. Sita sudah menelponku pagi-pagi tadi. Hanya mengingatkan bahwa akan bertemu di Choma, cafe tak jauh dari rumahku. Pasti akan banyak hal yang ia ceritakan padaku. Gadis yang menyenangkan. Cerewet, pandai bergaul. Kami bersahabat sejak masuk kuliah di jurusan yang berbeda, hanya saja kami mengikuti organisasi yang sama. Tiba-tiba handphone di meja berdering dan memunculkan nama Sita di layar. "Aku sudah menuju cafe, 10 menit lagi sampai. "

Aku bergegas merapikan baju dan rambut. Lalu ku tengok langit lewat jendela kamarku, masih mendung. Ku tutup gordin dan ku kunci jendela pintu.

Menuju Choma Cafe ku gunakan taxi yang sudah ku pesan. Jalanan tak terlalu ramai, mungkin karena mendung. Orang Jogja selalu malas pergi keluar ketika mendung memenuhi atap dunia. Memilih meja yang hanya untuk dua orang. Ku lihat Sita belum juga datang. Ku tunggu beberapa saat, mungkin ia mampir ke supermarket membeli sesuatu sehingga sedikit terlambat, pikirku. Tak mungkin jika ia lupa jalan. Kami sering kemari, memesan minuman yang sama dan juga makanan yang sama. Terakhir bertemu dengannya sekitar 6 bulan yang lalu ketika Sita akan berangkat ke Jakarta ikut suaminya. Sita menikah dengan Rian. Aku mengenal Rian dari Tomi, kakakku nomor dua. Entah teman sekelas sewaktu SMP atau SMA - aku lupa. Sambil menunggu ku ambil buku dalam tas, lalu membacanya. Beberapa halaman ku selami. Ku balik lembar perlembar halamannya. Lalu kuhentikan sebentar untuk menengok jam di tangan kananku, sudah lewat 35 menit dan Sita belum juga datang. Baru saja ingin ku telpon, ia muncul di depan pintu cafe, lalu menuju meja.

"Sorry, Man," katanya sambil menyalami dan mencium pipi kanan kiriku tanpa canggung.

"Gak apa-apa, ku kira kau tersesat di jalan," candaku.

Sita hanya tersenyum tak membalas guyonanku.

Kami duduk berhadapan, meminta menu lagi untuk Sita. Masih seperti dahulu, kami memesan makanan dan minuman yang sama.

"Kita masih satu selera, rupanya," katanya sambil menyerahkan menu kepada waiters. Aku hanya menaikkan alis dan tersenyum, menyetujui perkataannya.

"Berapa hari di Jogja?" tanyaku mengawali obrolan.

"3 hari mungkin, lusa harus sudah pulang. Taulah, bosku sekarang tak suka karyawannya keluyuran ke luar kota," jawabnya sambil terbahak-bahak.

Lalu Sita menceritakan banyak hal. Pekerjaannya, tugas-tugas keluar kota yang dibebankan padanya, perjalanannya menuju Jogja, dan juga perjalanan ke kota-kota lain di Indonesia.

Sita masih seperti dahulu, banyak bicara, dan menyenangkan, kataku dalam hati. Pikiranku melayang ke masa-masa kami masih kuliah dan organisasi itu. Mengadakan kegiatan, membolos kuliah, membeli buku bekas. Sampai-sampai aku tak mendengar apa yang Sita ceritakan.

"Aku selalu memikirkanmu," kata Sita tiba-tiba.

Aku hanya diam menunggu kelanjutan omongannya .

"Aku juga tak tahu, tapu aku memikirkanmu, merindukanmu."

Oh.. Sita jika kau tahu sejak dulu aku sudah mencintaimu, berharap bisa memilikimu, dan hidup bersamamu. Kenapa kau baru sadar sekarang? aku mulai berkecamuk dengan diriku sendiri.

"Aku ingin bercerai dengan Rian dan ... ," kata Sita menahan isak tangis.

"Jangan tergesa-gesa, tak ada hal buruk dari Rian. Ia sangat mencintaimu," kataku coba menenangkan.

"Tapi aku hanya mencintaimu, Man."

Jangan katakan itu Sita, batinku. Bukannya aku tak suka mendengarnya, namun aku ikut tersiksa. Apalagi kau menangis di depanku, aku tak suka melihatnya.

Sita hanyut dalam tangisnya, suaranya semakin tak terdengar.

Oh.. Sita, ingin sekali aku memelukmu, menenangkanmu, memeluk bahumu yang terguncang, dan mengusap air matamu.

Oh.. Sita, air mata tak mungkin bisa melunturkan kecantikanmu.

"Maaf, Pak. Kami sudah hampir tutup," kata seorang waiters membangunkanku.

Jogja, 15 Februari 2014

Gendhis Savitri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun