Kita akan merasa bahagia jika kebutuhan hidup kita terpenuhi. Itu mungkin definisi dasar dari "kebahagiaan". Ketika kita lapar dan haus, lalu seseorang memberi kita makanan dan minum, pastilah kita bahagia;Â
Ketika kita kedinginan, kemudian kita menemukan pakaian hangat untuk kita pakai, maka kita tentulah bahagia; Ketika kita dalam situasi perang, lalu muncul kesepakatan untuk berdamai, maka kita pun bahagia; Ketika kita masuk dalam suatu komunitas, dan kita diterima dengan baik, kita pasti bahagia.
Abraham Maslow menyebut soal lima hirarki kebutuhan: Pertama, physiological (fisiologis), yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan fisik kita, seperti makanan, minuman, pakaian, rumah, istirahat, bahkan termasuk oksigen untuk bernafas.Â
Baca juga : Biarkan Kami Berbahagia
Tidak terpenuhnya kebutuhan fisiologis ini dapat membuat seseorang tidak bahagia, dan bahkan bisa melakukan tindakan-tindakan berbahaya, seperti mencuri, membunuh, atau bahkan bunuh diri karena frustasi.
Kedua, safety/security (rasa aman). Seseorang yang punya ketersediaan makanan, minuman, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan fisiologis lainnya, tentulah tidak akan bahagia jika ia hidup dalam keadaan tidak aman.Â
Hidupnya akan dibayang-bayangi oleh kekuatiran, kecemasan, dan ketakutan jika kelak ia kehilangan dengan semua yang ia miliki.
Ketiga, social (rasa memiliki dan kasih sayang). Bagaimanapun, manusia adalah mahluk sosial, yang memang diciptakan untuk membutuhkan kehadiran orang lain. Karenanya, kita sering merasa menderita ketika kita merasa sendirian, tidak ada yang mengasihi, merangkul atau menerima kita.Â
Pada saat yang sama, kita pun butuh mengekspresikan cinta/kasih sayang kita kepada orang lain, apakah itu keluarga kita atau pasangan kita. Ada kepuasan tersendiri yang manusia rasakan ketika ia mampu mengasihi orang lain.
Keempat, esteem (penghargaan). Maslow menyebut ada dua bentuk penghargaan, yaitu rendah dan tinggi.Â
Baca juga :Bertengkar Secukupnya, Berbahagia Sebanyak-banyaknya
Kebutuhan yang rendah itu mencakup status, popularitas, pengakuan, reputasi, apresiasi, martabat bahkan dominasi, sedangkan kebutuhan yang tinggi yaitu prestise atau harga diri seseorang. Kita sulit untuk bahagia jika kita dianggap rendah oleh orang lain, apalagi jika harga diri kita diinjak-injak.
Kelima, self-actualization (aktualisasi diri), yaitu kebutuhan untuk membuktikan atau menunjukkan dirinya kepada orang lain. Pada level ini, seseorang akan merasa tidak bahagia jika ia tidak sanggup menunjukkan siapa dirinya dari segi potensi yang ia miliki.Â
Dengan kata lain, apalah artinya punya segalanya, termasuk popularitas, dominasi bahkan harga diri, jika kita tidak bisa menunjukkan pada orang lain potensi yang ada dalam diri kita.
Dari semua hirarki kebutuhan ini, kita menangkap jelas bahwa kebutuhan utama manusia adalah fokus pada dirinya sendiri. Pada dasarnya, kita bahagia jika kita mampu memuaskan diri kita sendiri.Â
Maka muncullah perintah "kasihilah sesamamu seperti engkau mengasihi dirimu sendiri". Dasarnya selalu pada diri kita. Kita memang digiring untuk memuaskan diri sendiri, disitulah kita menemukan kebahagiaan.
Nats Injil ini dipilih oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) sebagai tema perayaan ulang tahunnya yang ke-69 sekaligus menjadi tema bulan Oikoumene bagi gereja-gereja di lingkungan PGI.
Baca juga : Mereka yang Berbahagia
Dalam teks Yunaninya, ayat ini tertulis makarioi hoi eirēnopoioi, hoti autoi huioi Theou klēthēsontai, dimana ada dua kata yang menurut saya sangat penting untuk ditafsirkan, yaitu kata makarioi, yang diterjemahkan "diberkatilah" dan kata hoi eirēnopoioi, yang diterjemahkan "orang yang membawa damai".
Kata pertama, makarioi, bisa juga diterjemahkan "diberkatilah" atau "beruntunglah" (band. terjemahan bahasa Inggris: blessed). Dalam Perjanjian Lama berbahasa Yunani (Septuaginta) sering digunakan untuk menerjemahkan kata ashrē, yang juga dalam bahasa Ibrani bisa diartikan "diberkatilah". Saya pikir, menggali makna kata ini dalam terminologi Ibrani akan memperkaya pemahaman kita tentang makna kata makarioi di dalam Injil Matius ini.
Dalam terminologi Ibrani, ada dua kata kerja yang bisa mengungkapkan "berkat" (memberkati atau diberkati), yaitu barakh dan ashar. Perbedaannya, barakh biasanya digunakan, baik untuk TUHAN maupun manusia sebagai objek, sedangkan ashar, objeknya selalu manusia.Â
Dalam hal manusia sebagai objek, barakh lebih bersifat rahmat atau anugerah, dimana TUHAN dapat melimpahkan berkat (barakh) kepada manusia, meskipun manusia tidak layak untuk menerimanya, sedangkan ashar lebih spesifik, sebab manusia harus melakukan sesuatu untuk meraihnya.
Jadi, meskipun makna kata "berbahagialah" pada ayat ini nampaknya menekankan pada upaya mencukupkan kebutuhan diri seseorang, artinya tidak jauh dari apa yang sudah diungkapkan oleh Maslow, tetapi ajaran Yesus pada kalimat berikutnya memberikan perbedaan jelas, bahwa Ia sedang tidak menuntut seseorang untuk meraih kebahagiaan dengan jalan pemuasan diri.
Kata kedua, hoi eirÄ“nopoioi, memberi penjelasan lebih dalam soal harapan Yesus. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menerjemahkan ayat ini "orang yang membawa damai", sementara dalam terjemahan-terjemahan bahasa Inggris umumnya diterjemahkan peacemaker (pembuat damai).Â
Saya membaca dalam teks Peshitta, ayat ini diterjemahkan le‘avday shlama’, artinya "yang membuat damai" atau bisa juga "yang membaktikan diri untuk perdamaian".
Dengan kata lain, jika kita ingin bahagia, maka jadilah orang yang berorientasi pada kedamaian, baik dalam pemikiran, perkataan maupun tindakan kita.Â
Kita dituntut untuk aktif sebagai pejuang-pejuang kedamaian, dan inilah sesungguhnya makna Injil itu. Injil dalam bahasa Yunani disebut euaggelion, atau secara harfiah berarti "kabar baik". Setiap orang Kristen dituntut untuk bisa menyebarluaskan kabar baik itu, dan salah satunya adalah mengenai perdamaian.
Saya salut ketika PGI memilih tema ini untuk rangkaian bulan oikoumene ini, terutama mempertimbangkan situasi dan kondisi bangsa kita yang sedang buruk akibat panasnya suhu politik, serta adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba merusak kedamaian bangsa dan negara kita.Â
Kita didorong untuk tidak bertanya "siapa yang harus saya ajak berdamai?", tetapi harus secara aktif menyerukan perdamaian. Setidaknya memulai dengan menyebarluaskan pesan-pesan damai melakukan media-media sosial dan berbagai kesempatan dimana kita punya peluang untuk bicara dan menyumbang ide/gagasan.
Proses pencoblosan sudah selesai, dan sudah ada wadah demokrasi di negara kita yang disediakan dengan berbagai jaminan konstitusi untuk menyuarakan tuntutan atas temuan-temuan kecurangan dan ketidakadilan.Â
Maka, sudah selayaknya wadah-wadah itu digunakan dan dihormati selayaknya manusia yang beradab. Semua pihak, harus lebih concern pada persatuan dan kesatuan bangsa dibanding memuaskan nafsu kekuasaan yang ada. Perjalanan bangsa kita masih panjang, jangan sampai kita merusaknya dengan cara yang tidak sehat.
Untuk itu, tema PGI ini mengingatkan kita, baik kepada pihak yang memenangkan pemilu, maupun kepada mereka yang gagal, untuk fokus pada keutuhan bangsa.Â
Gunakan jalur hukum yang ada, tanpa perlu berkoar-koar memanas-manasi situasi melalui media massa maupun media sosial. Yang menang tidak lantas mengejek yang kalah, dan yang kalah tidak harus menuduh yang menang. Saatnya untuk saling merangkul bagi semua pihak dan bersama-sama melawan siapapun yang berusaha menciptakan konflik dan perpecahan.
Selamat HUT PGI ke-69 dan selamat menjadi agen-agen perdamaian di tengah bangsa dan negara kita, Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H