Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), debat adalah pertukaran dan pembahasan pendapat terkait suatu hal dengan saling menyampaikan argumentasi atau alasan dengan tujuan mempertahankan pendapat bahkan memenangkan pendapat.
Debat calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan cara mereka untuk menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya, sehingga masyarakat tahu dan paham, disertai harapan mereka -para pemilik suara- memberikan dukungan dan menjatuhkan pilihan.
Debat tidak sekedar menyampaikan ide dan gagasan atas satu tema yang sama. Ide dan gagasan itu mesti memiliki ciri khas atau perbedaan dengan ide dan gagasan calon lain. Karena ketika seseorang memiliki ide dan gagasan yang tidak memiliki ciri khas sebagai pembeda, maka tidak memenuhi kriteria sebagai debat.
Sebaliknya, tidak bisa disebut sebagai debat, bila masing-masing membincang atas sebuah tema yang berbeda. Jadi, bisa disebut sebagai debat bila tema yang dibahas itu sama, dan pendapat masing-masing atas tema yang sama itu berbeda-beda cara pandangnya.
Kalau masing-masing memiliki pendapat yang tidak berbeda atas satu tema, namanya bukan debat. Itu mah ngobrol namanya. Atau sebaliknya, kalau masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda atas tema yang berbeda, juga bukan debat namanya. Tapi ngacapruk.
Â
Debat bisa menjadi media untuk meraih simpati dan dukungan. Karenanya, ia bisa menjadi strategi. Walaupun sejatinya setelah pelaksanaan debat, tidak banyak berpengaruh terhadap dukungan dan pilihan para pemilik suara. Padahal, maksud debat antara lain adalah untuk itu.
Seperti halnya debat calon Presiden Amerika Serikat, Hillary Clinton dan Donald Trump beberapa waktu lalu. Kepiawaian mereka dalam menyampaikan ide dan gagasan masing-masing sangat berpengaruh terhadap dukungan rakyat. Debat bisa meggeser, mengubah, dan mengalihkan dukungan.
Bila ide dan gagasan Trump ternyata dianggap lebih realistis dan berkaitan langsung dengan hajat hidup para pemilih, maka sekalipun semula seseorang adalah pendukung Demokrat yang mengusung Hillary, bisa berubah dan mengalihkan dukungannya pada Trump yang adalah calon Presiden dari Republik.
Namun fenomena itu belum terbiasa dan belum terbangun pada pemilik suara di negara-negara berkembang yang masih mencari-cari format model demokrasi yang baik. Termasuk di Indonesia. Cara berdemokrasi kita belum sebaik negara-negara demokrasi maju lainnya.
Itulah mengapa, kampanye calon Presiden dalam bentuk debat tidak banyak berpengaruh terhadap perubahan pilihan rakyat. Debat calon Preisden dan Wakil Presiden baru sebatas seremoni yang mesti dilaksanakan sebagai bentuk ritual tahapan Pemilu yang telah diamanatkan oleh undang-undang.
Bahkan sebelum debat digelar, masing-masing pemilik suara terutama para pendukung dan tim relawan sudah memastikan diri untuk mendukung dan menjatuhkan pilihan pada siapa. Sehebat apapun penampilan para calon lain dalam berdebat, mereka tetap bergeming pada pilihannya.
Sangat sedikit sekali orang yang mau menerima secara jantan dan objektif atas penampilan para calon dalam acara debat. Mereka bahkan melakukan hal sebaliknya, walau sang calon tampil kurang maksimal bahkan jelek, tetap saja melakukan pembelaan.
Selain tidak terima bila sang calon yang didukung dinilai kurang bagus, para mendukung bahkan melakukan cara lain sebagai strategi untuk menjaga agar sang calon tetap dianggap mumpuni, dengan cara mengupas, mengulas, mengorek, dan mencari-cari kesalahan calon lain.
Seperti halnya yang terjadi pasca debat kedua calon Presiden dan Wakil Presiden yang digelar beberapa waktu lalu, dengan menampilkan Muhaimin Iskandar, Gibran Rakabuming Raka, dan Mahfud MD, yang menuai keriuhan dengan saling mencari kesalahan lawan.
Roy Suryo menuduh bahwa Gibran melakukan kecurangan dengan menggunakan 3 buah mic saat memaparkan gagasannya. Tuduhan ini kemudian menjadi liar dan viral, yang kemudian diamini oleh para pendukung lawan politik Gibran.
Penggunaan mic hingga 3 buah disinyalir sebagai cara Gibran untuk bisa menerima arahan dari timnya sehingga dia bisa lancar pada saat berbicara. Namun tuduhan ini dibantah oleh Ketua KPU Hasyim Asyari. Dia mengajak Roy untuk membuktikan. Bahkan Hasyim menilai Roy sebagai tukang fitnah.
Perkara pretelan yang tidak substantif ini juga terjadi pada Muhaimin dan Mahfud MD. Masing-masing pendukung menguras energinya hanya untuk mencari kekurangan dan kesalahan lawan. Dua puluh satu daftar program Mahfud MD yang dianggap garing misalnya.
Atau komentar atas pengakuan jujur Muhaimin yang tidak mengetahui maksud pertanyaan Gibran ketika menanyakan tentang sikap Muhaimin dalam menghadapi SGEI. Sebuah singkatan yang dianggap kurang familiar. Juga pertanyaan Gibran pada Mahfud MD tentang regulasi carbon capture storage yang membuat Mahfud MD seperti bersilat lidah.
Debat yang mestinya fokus pada substansi yang dapat menjadi daya pikat untuk mendukung sang calon, berubah menjadi debat kusir tiada berujung diantara para pendukung masing-masing. Boro-boro bisa mengubah dukungan karena menariknya program, malah masing-masing menyajikan narasi pembenar atas kekurangan sang calon pujaan.
Bila pun debat tidak akan berpengaruh terhadap pilihan para pemilik suara, sejatinya ada ceruk yang menjadi segmen untuk menggalang dukungan. Mereka ini merupakan kalangan floating mass yang belum menentukan pilihan. Perlu diingat, floating mass ini rerata merupakan kalangan menengah dan terdidik.
Mereka belum menentukan pilihan sembari waiting and see. Karena kalangan ini memiliki alasan rasional saat menjatuhkan pilihan, maka baik sang calon maupun tim relawan serta para pendukung mesti memiliki daya pikat yang bisa menarik mereka untuk bergabung.
Bisa jadi mereka berniat mendukung calon Presiden tertentu karena sang calon berhasil meyakinkan dengan menawarkan program yang rasional dan terukur. Tapi kadang niat itu urung tersebab perilaku para pendukung yang norak. Seperti kerap berbagi hoax dan ujaran kebencian.
Atau ulah para pendukung yang begitu masif menarasikan kekurangan dan kelemahan calon lain, sehingga abai bahkan lupa dengan keunggulan dan kelebihan calon yang didukung. Bagi kalangan floating mass ini, cara begitu bisa mengubah niat untuk menaruh simpati yang bisa menuai sebaliknya, antipati.
Debat yang semula dimaksudkan untuk meraih simpati, gegara cara pendukung yang konyol dalam melakukan pembelaan, bisa berubah menjadi antipati. Alih-alih pasca debat bisa memberikan pencerahan kepada masyarakat, seperti halnya filosofi Habis Gelap Terbitlah Terang yang digagas Raden Adjeng Kartini, malah terjebak dalam debat kusir.
Bukannya masyarakat mendapatkan pencerahan pasca debat, malah mereka dibawa masuk dalam pusaran debat kusir yang tidak berkesudahan. Bukannya Habis Gelap Terbitlah Terang, ini malah menjadi Habis Debat Terbitlah Kusir. Akhirnya terhenti di sebatas debat kusir.
***
Tangerang, 24 Desember 2023
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H