Karena Wanita Masih Ingin Dimengerti
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dalam kalender, setidaknya ada 2 tanggal yang berkaitan erat dengan perempuan. Yang pertama tanggal 21 April, dan yang kedua tanggal 22 Desember. Bila 21 April merujuk pada peringatan Hari Kartini. Sementara 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu.
Pada kedua tanggal itu merupakan momentum penghormatan kepada perempuan dan ibu. Biasanya diperingati dengan beragam acara yang pada intinya memosisikan kaum perempuan dan kaum ibu dalam suasana yang sarat dengan pemuliaan atasnya.
Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini. Nama ini diyakini sebagai Pahlawan Nasional, yang semasa hidupnya dianggap telah banyak berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan sehingga memiliki kesempatan yang setara dengan laki-laki dalam beragam bidang.
Sejak zaman baheula, sejarah peradaban manusia di berbagai belahan dunia pada umumnya, memosisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua. Mereka dianggap sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Laki-laki memiliki kewenangan lebih dibanding perempuan.
Stigma ini bukan hanya dikenal di berbagai budaya manusia. Dalam banyak ajaran agama, posisi perempuan selalu dibawah laki-laki. Bahkan bila merujuk hingga pada manusia pertama pun, perempuan yang diyakini terbuat dari tulang rusuk laki-laki menjadi pembenar atas anggapan tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, mulai muncul adanya kesadaran dan tuntutan atas kondisi selama ini. Di banyak belahan bumi, muncul tokoh-tokoh pembaharu yang berusaha mendobrak pakem selama ini. Mereka pada umumnya berasal dari kalangan perempuan juga.
Lewat perjuangan yang tidak mudah, akhirnya perlahan tapi pasti, cara pandang umat manusia atas posisi perempuan mulai bergeser dan berubah. Perempuan mulai memiliki hak, kewenangan, dan posisi yang setara dengan laki-laki.
Mereka menghimpun diri dalam beragam organisasi dengan beragam nama. Lazimnya menggunakan diksi "wati-wati" dan diksi berakhiran "i" lainnya. Ada Aisyiyah, Fatayat, Muslimat, Kohati, Forhati, Imawati, Gemawati, Bhayangkari, dan yang lainnya.
Fenomena yang dilabeli sebagai gerakan emansipasi ini membuahkan hasil. Kini, perempuan sudah bisa menyetarakan dirinya dengan laki-laki. Hampir tidak ada lagi ruang tertutup yang selama ini hanya menjadi ranah dan didominasi laki-laki, yang tidak bisa ditembus oleh perempuan.
Ruang publik yang mengakomodir perempuan lewat prinsip afirmasi, sudah diterapkan di seluruh organisasi dan lembaga. Dengan political will sebagai media daya-paksa ini, mau tidak mau mesti disediakan ruang bagi perempuan untuk berkiprah.