Mohon tunggu...
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Ocit Abdurrosyid Siddiq Mohon Tunggu... Guru - Warga Biasa

Penikmat kopi, penyuka film.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karena Wanita Masih Ingin Dimengerti

22 Desember 2023   10:31 Diperbarui: 22 Desember 2023   10:53 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tiga puluh persen merupakan batas angka minimal sebagai alat-paksa untuk mengakomodir perempuan ditengah dominasi laki-laki. Baik dalam lembaga dan organisasi negara maupun dalam peluang dan kesempatan perempuan untuk menjadi wakil rakyat.

Kini, perempuan sudah setara. Emansipasi sudah berhasil. Namun sayang, keberhasilan memperjuangkan emansipasi ini tidak dibarengi dengan sikap yang konsisten. Sebagian kaum perempuan masih merasa nyaman di zona aman dengan menjual faktor keperempuanan.

Mari kita renungkan ulang! Perempuan menuntut kesetaraan. Setelah berhasil, masih menggunakan perkara kelamin untuk mendapatkan prioritas. Emansipasi kan dimaksudkan untuk kesetaraan. Bukan untuk mendapatkan prioritas. Bukan untuk diperlakukan secara khusus.

Bila diperlakukan khusus karena faktor fisik yang rentan menuai gangguan, masih bisa dimaklumi. Misalnya penyediaan gerbong di kereta khusus bagi perempuan. Tapi bila menghimpun diri dalam organisasi yang anggotanya khusus perempuan, apa urgensinya?

Menggalang show of force sesama perempuan, koalisi perempuan, parlemen perempuan, polisi perempuan, perempuan pengusaha, perempuan penyelenggara Pemilu, apa urgensinya? Ketika sudah setara, mengapa mesti menuntut prioritas? Mengapa harus eksklusif? Mengapa ingin diperlakukan khusus?

Apakah dengan narasi ini lantas bermakna bahwa penulis anti dan menentang emansipasi dan kesetaraan? Tentu tidak! Yang menjadi soal bukan itu. Yang menjadi soal adalah ketika perempuan sudah setara dengan laki-laki, mengapa masih menggunakan alat kelamin sebagai senjata untuk mendapat prioritas.

Ketika disatu sisi menuntut kesetaraan, sementara disisi lain ketika kesetaraan itu didapat tapi masih memosisikan diri menuntut perlakuan khusus karena faktor jenis kelamin, sejatinya adalah perilaku standar ganda yang merasa aman di zona nyaman.

Atas dasar jenis kelamin menuntut kesetaraan, tetapi atas dasar jenis kelamin juga menuntut perlakuan khusus. "Perempuan dulu"  atau "ladys first" dalam sebuah antrian, adalah cara laki-laki yang mengalah untuk memberikan kesempatan bagi perempuan. Padahal kesetaraan itu diraih bukan karena laki-laki yang mengalah.

Menduduki jabatan publik karena kompetensi tentu lebih kredibel dibanding meraihnya karena afirmasi. Menjadi wakil rakyat karena terbanyak dipilih rakyat jauh lebih substantif dibanding terpilih karena diselipkan sebagai syarat menggugurkan kewajiban keterwakilan perempuan.

Perempuan kini sudah setara. Ia bersama laki-laki adalah  sesama manusia. Jangan lagi jadikan perbedaan alat kelamin sebagai senjata. Bayangkan bila laki-laki melakukan hal yang sama. Bisa jadi peradaban manusia surut kembali ke zaman Adam dan Hawa. Yang adalah bagian dari tulang rusuknya.

Wallahualam.
***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun