Kriminalitas merupakan momok yang menghantui masyarakat global, tidak hanya memicu ketidakpastian, tetapi juga menggerogoti sendi-sendi perekonomian. Aktivitas kriminal memaksa alokasi sumber daya yang seharusnya diarahkan untuk kegiatan produktif, seperti investasi dan pengembangan usaha, kini harus dialokasikan untuk upaya pencegahan dan penanganan tindak kejahatan.Â
Hal ini mengakibatkan penurunan efisiensi ekonomi, menghambat pertumbuhan, dan berpotensi menimbulkan siklus kemiskinan yang sulit diputus. Beban kerja aparat penegak hukum semakin berat akibat lonjakan angka kriminalitas yang dipicu oleh pandemi COVID-19.Â
Pandemi telah menciptakan kondisi yang kondusif bagi terjadinya berbagai macam tindak kejahatan, mulai dari pencurian, penipuan, hingga kejahatan yang lebih serius. Untuk mengatasi masalah ini, aparat penegak hukum dituntut untuk bekerja lebih ekstra, baik dalam upaya pencegahan maupun penindakan. Namun, keterbatasan sumber daya dan meningkatnya tuntutan masyarakat seringkali menjadi kendala dalam upaya penegakan hukum yang efektif.Â
Â
Berdasarkan studi Global Initiative tahun 2023, Myanmar tercatat sebagai negara dengan tingkat kejahatan paling tinggi di Asia Tenggara, bahkan menduduki peringkat teratas dunia. Disusul oleh Kamboja dan Indonesia yang sama-sama meraih skor 6,85. Filipina berada di posisi berikutnya dengan skor 6,63, sementara Vietnam dan Malaysia masing-masing memperoleh skor 6,55 dan 6,23. Thailand mencatatkan skor 6,18.Â
Kriminalitas merupakan beban ganda bagi masyarakat. Di satu sisi, kejahatan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain, kejahatan juga merusak tatanan sosial dan menimbulkan trauma psikologis bagi korban.Â
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk penegakan hukum, layanan kesehatan mental, dan program pencegahan kejahatan. Namun, peningkatan pengeluaran ini dapat membebani anggaran negara dan mengalihkan sumber daya dari sektor pembangunan lainnya.Â
Faktor ekonomi sering menjadi pemicu utama terjadinya tindakan kriminal. Ketika seseorang merasa terjebak dalam situasi ekonomi yang sulit dan tidak melihat adanya alternatif lain, mereka cenderung mengambil jalan pintas melalui kejahatan. Kepuasan sesaat yang diperoleh dari hasil kejahatan, baik itu dalam bentuk materi maupun kepuasan psikologis, dapat menjadi motivasi yang kuat untuk terus melakukan tindakan melanggar hukum.Â
Kebijakan penanganan kejahatan yang telah diterapkan saat ini dinilai belum berhasil secara optimal dalam menurunkan angka kriminalitas. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dan penyempurnaan kebijakan untuk mengatasi masalah ini. Hukum pidana yang ada saat ini dianggap belum cukup kuat untuk mencegah dan menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum yang terjadi di masyarakat.Â
Pemerintah perlu memanfaatkan kebijakan fiskal ekspansif sebagai alat untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menurunkan beban pajak bagi sektor produksi. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan pada akhirnya menciptakan kondisi yang lebih adil dan sejahtera.Â
Untuk mengurangi dorongan ekonomi yang memicu tindak kriminal, pemerintah perlu menjaga stabilitas ekonomi dan memberikan dukungan penuh kepada para pedagang pasar tradisional.Â
Dengan mempertahankan akses terbuka terhadap pasar tradisional, pemerintah tidak hanya menstabilkan perekonomian, tetapi juga memberikan peluang bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Hal ini dapat mengurangi tekanan ekonomi yang seringkali menjadi akar permasalahan kriminalitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H