Mohon tunggu...
(Rosita Mulya Ningsi) Ocha
(Rosita Mulya Ningsi) Ocha Mohon Tunggu... profesional -

ada banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban... akan tetapi ada lebih banyak hal yang justru hanya butuh kita pertanyakan... sedangkan jawaban.. hanyalah tingkatan menuju pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tentang Politisi, Nilai, dan Prilaku Politiknya!

18 Maret 2014   19:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:47 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ROSITA MULYA NINGSI

Mendekati perhelatan akbar demokrasi Indonesia 9 april mendatang, maka saya ingin mencoba menyampaikan hasil penelitian saya ini di tengah-tengah kawan-kawan semua. Mencoba mengajak kawan-kawan untuk juga melihat beberapa temuan saya di belakang panggung para perwakilan rakyat. Bagaimana para politisi memainkan perannya sebagai seorang wakil rakyat, apa yang melatar belakangi setiap tindakan dan prilaku dan apakah orientasi dari setiap tindakan dan prilaku politik para politisi di lembaga tinggi negara tersebut, akan saya coba sajikan dalam tulisan ini.

Pada awalnya penelitian ini menekankan pada aktivitas komunikasi politik politisi perempuan di DPRD Propinsi bengkulu, akan tetapi dalam prosesnya peneliti menemukan sesuatu yang jarang muncul di permukaan dan lebih banyak menjadi rahasia. Hal ini berkenaan dengan budaya, orientasi dan tentu saja prilaku politik seorang wakil rakyat.

Budaya politik suatu masyarakat berkembang dengan sendirinya dan dipengaruhi oleh nilai-nilai yangdiakui dan dianut dalam masyarakat tersebut. Almond dan Verba (1990:16)mendefinisikan kebudayaan politik suatu bangsa sebagai ‘distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat dan bangsa”. Dengan kata lain bahwa budaya politik adalah merupakan perpaduan antara dua orientasi yaitu oreintasi individu dan orientasi sistem.Orientasi individu yang dimaksud berkaitan dengan sikap individu yang akan mempengaruhi, tindakan, tuntutan-tuntutan maupun dukungan yang diberikan oleh individu sebagai anggota masyarakat terhadap suatu sistem politik.

Budaya politik merupakan satu kesatuan dalam struktur kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Budaya politik meliputi persoalan legitimasi, pengaturan, kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, prilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. Budaya politik juga merupakan sistem nilai dan keyakinan yang di miliki bersama oleh masyarakat. (Syahrial Dkk, 2004 :66).

Dari hasil penelitian diketahui bahwa budaya dan adat kebiasaan yang berkembang didalam proses berpolitik di DPRD Propinsi Bengkulu ternyata mampu melakukan kontrol terhadap tindakan komunikasi politik politisi perempuan di DPRD Propinsi Bengkulu. Dimana budaya politik premanisme yang berkembang di dalam aktivitas komunikasi politik Politik di DPRD Propinsi Bengkulu. Data yang diperoleh dari lapangan tidak digunakan untuk melakukan proses pembenahan terhadap sistem dan penanganan permasalahan yang ada dimasyarakat, akan tetapi justru merupakan senjata untuk mengancam para stakeholder guna mendapatkan tujuan pribadi dari anggota Dewan itu sendiri. Ketika dilihat dalam kondisi ini, para politisi termasuk politisi perempuan tak ubahnya seorang Preman yang tengah mengancam lawannnya dengan menggunakan senjata tajam dan wajah garang khas preman.

Perbedaannya terletak pada, kalau anggota DPRD melancarkan aksi premanismenya tersebut dengan menggunaka jas/safari mewah dengan cincin atau Jam yang mewah dan berkilauan juga ditambah dengan mobil mewah yang semakin mempertegas kesan bonafid pada diri mereka. Segenap penampila itu semakin diperkuat dengan keterampilan mengolah bahasa dan retorika yang cukup baik sehingga semua aktivitas premanisme itu tampak elegant dan sesuai dengan status mereka sebagai Anggota Dewan.

Dari hasil penelitian beberapa budaya politik yang mampu melakukan kontrol terhadap aktivitas komunikasi politik politisi di DPRD Propinsi Bengkulu terutama politisi Perempuan adalah sebagaimana di uraikan di bawah ini:

1.Premanisme,

Dalam aktivitas Komunikasi politik politisi di DPRD propinsi Bengkulu terkadang berlaku seperti Preman yang menggunakan permasalahan yang dihadapi oleh masyrakat sebagai senjata untuk mencapai kepentingan pribadinya.

2.Berorientasi Pada Kepentingan Pribadi,

Para politisi menyepakati bahwa politik itu adalah tujuan, ada tujuan masyarakat, tujuan kelompok/partai, tujuan Fraksi dan yang terakhir adalah tujuan Individu dari politisi itu sendiri, karena politik adalah tujuan maka apapun yang dilakukan oleh para politisi adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan tersebut, dan sejauh ini dalam penelitian diketahui bahwa para politisi lebih banyak mengedepankan kepentingan pribadinya ketimbang kepentingan masyarakat atau kalau bisa di buat hierarkhi kepentingan maka dapat digambarkan seperti berikut ini :

Gambar 5.1

Hierarkhi Kepentingan Anggota DPRD Propinsi Bengkulu

(sumber : Penelitian Januari-Maret 2013)

Gambar tersebut berbentuk piramida terbalik yang menyatakan sekala prioritas dan derajat keutamaan dari kebutuhan tersebut semakin tinggi letaknya maka semakin besar pula tingkat keutamaan dari kebutuhan tersebut dan semakin diprioritaskan pula proses pemenuhannya

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa bagi para politisi, kepentingan yang paling utama itu adalah kepentingan pribadi, hal tersebut terlihat dari berbagai aktivitas komunikas politik yang berlangsung dimana mengacu pada upaya untuk pencapaian tujuan pribadinya masing-masing.

Yang selanjutnya adalah kepentingan fraksi, bagi para politisi kepentingan yang juga harus di utamakan adalah kepentingan fraksi, hal tersebut karena fraksi/partai politik hal tersebut dikarenakan partai politik dianggap telah berjasa dalam mengantarkan politisi untuk memperoleh kursi di DPRD. Selain itu fraksi memiliki kekuatan untuk mengatur posisi para politisi di DPRDdengan demikian maka ada tuntutan ketika fraksi atau partai pengusung mereka cenderung tidak menolak.

Dan yang terakhir adalah kepentingan masyarakat, kepentingan masyarakat yang sangat tidak penting, akan tetapi selalu menjadi hal yang paling utama di ucapkan oleh para politisi termasuk politisi perempuan. Berdasarkan temuan dalam penelitian diketahui bahwa kepentingan masyarakat adalah kepentingan yang sangat sering diabaikan atau paling tidak menjadi prioritas bagi para politisi termasuk politisi perempuan di DPRD Propinsi Bengkulu kepentingan masyarakat baru akan dibahas secara serius ketika berhadapan dengan masyarakat itu sendiri, berhadapan dengan media atau dalam kondisi-kondisi formal yang cenderung terbuka untuk umum selebihnya kepentingan masyarakat/rakyat hanya dijadikan alat untuk mencapai kepentingan pribadi atau golongan.

3.Politik Transaksional.

Karena politik didefenisikan sebagai tujuan maka dalam prosesnya terjadi aktivitas transaksional antara sesama politisi di DPRD maupun antara DPRD dengan kelompok kepentingan dan lembaga mitra. Pertukaran kepentingan antara individu tidak jarang memicu benturan dan konflik antar sesama anggota DPRD Sehingga dalam proses pembuatan keputusan tidak pernah atau jarang sekali ditemukan kesepakatan yang bulat. Karena masing-masing-masing pihak berorientasi untuk mempertahankan tujuan pribadinya. Ketika muncul kesepakatan hal tersebut hanya karena pihak minoritas kalah dengan kelompok mayoritas termasuk politisi perempuan selaku kelompok minoritas. Oleh karena itu dalam prosesnya tindakan transaksional adalah cara untuk mengatasi benturan tersebut.

4.Terpecah Belah dan Ekslusif

Salah satu informasi yang menarik dari proses penelitian adalah kondisi komunikasi dan hubungan antar sesama politisi perempuan di DPRD Propinsi Bengkulu, dimana dalam setiap aktivitas komunikasi politiknya para politisi perempua cenderung ekslusif dan terpecah belah (tidak Kompak).

Ketidak kompakan ini tidak jarang memicu konflik antar sesama politisi perempuan sehingga muncul sinisme-sinisme antar sesama politisi, saling menjelekkanbahkan muncul streotip dari satu politisi perempuan yag ditujukan kepada politisi perempuan lainnya. Seperti kata “aksesoris” “ dan “makan gaji buta”.

Konflik-konflik personal tersebut kemudian menyebabkan gerakan para politisi perempuan menjadi ekslusif dan sendiri-sendiri. Tidak terkoordinasi dan bersinergi antar sesama politisi perempuan. Dengan demikian peningkatan jumlah politisi di DPRD tidak menjadi jaminan peningkatan kekuatan politisi perempuan di DPRD.

Yembaca beberapa point di atas, maka sudah sepantasnya kita kembali menganalisa siapa yang akan kita pilih untuk mewakili kita, benarkah orang etrsebut tepat? bisakah dia bertahan dan merekontruksi budaya dan prilaku politik teman-temannya, atau dia akan berprilaku sama dengan yang lainnya.Yang terpenting adalah bukan seberapa terhormatnya sebuah lembaga negara, akan tetapi seberapa mampu seorang penyelenggara negara menjaga kehormatannya tanpa kemunafikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun