Mohon tunggu...
ocha Rosehva
ocha Rosehva Mohon Tunggu... -

Penulis Muda, Tertarik dalam bidang Sastra dan Budaya, Wartawan Independen, Pengamat Media

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Di Balik Tembok Real Estate Makassar

25 Juli 2011   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:23 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat datang kawan, di kota Angin Mamiri. Kota yang mencita-citakan diri menjadi "Kota Dunia". Ujung Pandang itulah namanya kala lampau. Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja adalah empat suku yang mengisinya. Ayam jantan dan Sultan Hasanuddin selalu bersanding sebagai julukan. Jumlah penduduknya sekitar 2 juta nyawa. Mi, ji, ki, to, dan kita adalah ciri khas dialek kota ini. Nanti akan kuceritakan lebih banyak lagi tentang kota ini, sambil ku ajak dirimu mengelilingi kota ini.

Nah, mari kawan. Kau lihat bandara ini? Cukup megah kan? Inilah bandara baru di kota Makassar, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, dibuat ketika Jusuf Kalla masih menjabat sebagi orang nomor dua di Republik ini. Kau lihat semua kendaraan yang terparkir itu? Ada mobil pribadi, taksi, motor pribadi dan motor sewaan alias milik tukang ojek. Semua kendaraan yang terparkir itu tentu akan membayar tempat parkirnya termasuk kendaraan sewaan. Tetapi anehnya, ketika kau menggunakan taksi sebagai tumpangan, maka setiap taksi yang memasuki wilayah ini akan dipegangkan sebuah kartu parkir bagus. Tapi, bagaimana dengan para tukang ojek itu? Mereka pun harus membayar uang parkir jika ingin mencari penumpang pesawat, tidak menggunakan kartu melainkan kertas parkir. Bukan menjadi persoalan andai kata setiap kali memarkinkan motornya, penumpang pun datang antri untuk menggunakan jasa mereka. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Bayangkan saja kadang kala mereka menunggu seharian untuk mendapat sesuap nasi dari para pengguna jasanya pun tidak ada. Keadaan seperti ini tidak dipahami oleh pintu parkir, Rp 1000/Jam. Bagaimana jika motor para pengojek itu menganggur selama 5 jam barulah penumpang ada, sementara ongkos yang akan dikelurkan penumpang sampai ke tepi jalan yang kurang lebih 3 km jarak tempuh hanya di bayar Rp. 10.000,-. Berapa yang didapat tukang ojek ini, kawan bisa berpikir sendiri. Bagaimana pula jika jasa para tukang ojek ini tidak ada yang menggunakannya selama berdiam di lokasi ini. Kau tahulah kawan, orang-orang lebih suka melirik taksi dari pada roda dua ini. Tapi tetap saja kukatakan hal ini tidak menjadi kepusingan bagi pintu parkir. Tidak usah kawan tanyakan ,mengapa mereka tidak diberikan lahan parkir sendiri dan kartu parkir untuk mengontrol mereka. Bukankah mereka punya hak untuk menguras keringat di kota kelahirannya ini tanpa harus diperas pada sesuatu yang tidak memahami kehidupan mereka. Jawabannya satu, Kota ini ingin menjadi "Kota Dunia.

Sekarang lihat ayam jago itu dengan tulisan nama pahlawan di samping kanannya?

Ku beritau padamu kawan. Inilah tempat paling bergengsi di kota ini perihal menuntut ilmu. Sebagian besar penghuninya akan merasa naik satu tingkat starata sosilanya jika memegang kartu penduduknya. Tetapi tidak merasa malu ketika depan pintunya digenangi air setinggi betis, tiap kali hujan mengguyur. Sarjana tingkat satu, Master, Doktor, dan Professor dengan embel-embel guru besar banyak di tempat ini. Tapi kau tau kawan, kemarin di tahun 2010 warga yang mencari nafkah di balik tembok ini akan digusur. Alasannya satu, K E I N D A H A N. Lucu bukan. Atas nama keindahan, rela membuat tetangganya kelaparan. Apakah dengan indah orang akan hidup sejahtera? Tanpa makan. karena ruang nafkah mereka akan di jadikan jalan hanya demi keindahan. Hal yang wajar kawan, para birokrat di gedung tinggi itu kan tak pernah meneliti secara langsung kehidupan para penjual asongan itu. Ilmu mereka kan hanya untuk mencerdaskan diri sendiri, beban moral diserahkan saja pada teori moral tanpa bersusah payah mengaplikasikannya.

Masih ada kawan tempat menarik lainnya di pinggiran kota ini. Nah, ini namanya Antang. Dulunya wilayah ini asri, banyak pohon yang subur di mana-mana. Sekarang pun banyak pohon tapi bentuknya agak aneh seperti kawasan elit dengan pintu gerbang bertuliskan nama yang elit pula ditambah satu pos satpam di tepinya. Tentu tak sembarangan orang yang bisa masuk.

Nah, lihat lahan kosong yang berumput hijau itu. Tempat ini adalah calon lapangan golf terbesar di Indonesia Timur bahkan bisa sedikit naik tingkat menjadi terbesar di Asia Tenggara. Sekarang kita balik arah ke Tamangapa. Ada juga lahan kosong di sini, agak gersang. Cantik bukan bukit-bukitnya. Bukit yang terbangun dari tumpukan sampah seantero kota ini. Rumah-rumahnya kreatifkan. Terbuat dari potongan kardus-kardus dan teripleks bekas. Inilah kawan keindahan kota dengan slogan "Kota Dunia".

Ayo kita teruskan perjalanan. Nah ini namanya Mall Panakkukang. Kawasan sekitar sini dinamai Panakkukang Mas. Kawasan elit lebih tepatnya. Kompleks-kompleks di sini rumahnya pakai tangga semua. Minimal dua tangga. Ayo kita masuk ke salah satu kompleks perumahannya. Akan kuperlihatkan pemandangan yang sangat unik. Lihat rumah-rumah di sini, megah-megah kan. Wajarlah, pemiliknya rata-rata penguasa dan pejabat. Tetapi kalau malam lampu jalannya padam terus, jalan-jalan juga seperti jalan kuda. Nah, lihat samping rumah gedongan itu. Pemiliknya juga adalah penguasa kota ini. Bedanya, rumah ini menguasai sebagian besar jalan-jalan di kota ini. Penghuninya selalu bekerja keras dari petang subuh hingga petang magrib berjalan kaki untuk memungut botol bekas air mineral. Makanya di rumah ini banyak barang-barang bekas. Tapi meraka bukan kolektor barang-barang bekas, ya bahasa halusnya pemulung. Lebih tepatnya, pasangan mesra yang kan selalu hidup berdampingan. mereka adalah wajah kota dunia ini.

Sekarang kita ke ujung barat. Pusat kota Angin Mamiri. Sangat terkenal tentunya. Sampai iklan semen di Jawa pun menjadikannya sebagai backraound iklan. Ya, pantai losari, salah satu ikon kota Makassar. Setiap orang yang baru menginjakkan kaki di kota ini pasti akan merasa ganjal jika belum mencicipi sepoi angin pantai dan indah pemandangan Sunset-nya. Di sebelah kiri pantai ini terdapat jalan Metro Tanjung Bunga, menampilkan kekontrasan jejak kemiskinan dan keelitan. Memasuki jalan ini, maka kita akan disambut oleh pintu gerbang yang sangat piawai dibangun. Nah, sekarang coba perhatikan di sisi kanan dan kiri jalan ini, cantik kan. Di sebelah kiri penuh dengan kampung nelayan dan rumah susun, entah lah setiap hari mereka bisa makan atau tidak. Lihat pula sebelah kanan, indah bukan. Bangunannya mewah-mewah, ada tempat pertemuan keren (CCC) ada bank Megah, Mall, dan satu lagi lahan bermain yang sangat kapitalis. Setiap yang bernyawa akan dikenakan biaya untuk masuk ke lokasi ini, anak balita yang baru berusia 6 bulan saja tetap harus bayar untuk masuk lokasi ini sama dengan biaya masuk orang dewasa, bahkan jika kawan membawa kucing pun mungkin akan dikenakan biaya. Pantas saja tidak ada kucing di lokasi ini.

Satu lagi kawan dari lokasi ini. nanti sekitar 2-3 tahun lagi lokasi ini akan menjadi pusat bisnis, karena Center of Indonesia siap dibangun di tepi pantai ini. Makanya, jangan heran jika pantai ini semakin merosot jauh karena ditimbun. Aneh kan orang di negeri kita, membangun daerah pantai. Negara Jepang saja sudah memberikan himbauan untuk tidak membangun di daerah tepi pantai agar terhindar dari dampak gempa tektonik dan tsunami. Ya, mungkin orang di negeri kita hebat-hebat ya, bisa beli rumah di mana-mana. Mau di puncak gunung sampai tepi pantai semuanya mudah, apalagi kalau punya jabatan penting dipemerintahan atau di sebuah partai politik, uang sangat gampang diperoleh.

Inilah kawan sebagian kecil cerita di kota Angin Mamiri. Kota seribu ruko, seribu swalayan dan Mall. Tetapi sangat minim penjual buku. Kota yang tega menyaksikan warganya busung lapar dan mati, seperti yang pernah terjadi di Jalan Dg. Tata, seorang ibu hamil meninggal dunia bersama janinnya padahal di sekitarnya banyak ruko-ruko yang menawarkan keberlimpahan harta. Sangat miris memang.

Atas obsesi kota dunia, terjadi penggusuran pedagang kaki lima secara kasar di mana-mana, dari pusat kota sampai pinggir kota. Selanjutnya, terjadi perampasan tanah rakyat tak berdaya yang dilakukan pemodal supaya dapat membangun perumahan. Jadilah kota ini, penuh dengan perumahan yang menjadikan setiap orang bersifat individual, tetangga sebelah rumahnya yang meninggal pun tidak diketahui. Sungguh nilai moral yang tidak sesuai dengan filosofi semua suku yang mendiami daerah ini.

Siri' na pacce

Sipakatau, sipakainge, sipakarennu

Akan kah semboyan ini masih ada di jiwa orang Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun