Mohon tunggu...
Ricco Occir
Ricco Occir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Aku Penjajah ?

19 Oktober 2016   21:47 Diperbarui: 19 Oktober 2016   22:11 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by : Alvira Susanto

Namaku Winda, umurku 21 tahun , aku merupakan anak jurusan desain interior.Berbeda dengan anak desain perempuan yang lainya penampilanku bisa dibilang sangat sederhana, aku kurang nyaman untuk mengenakan pakaian yang terlalu bagus dan ribet dan aku merupakan cewek yang sangat cuek dengan orang disekitarku , tapi kalau aku yang salah aku akan berlaku baik pada orang tersebut. Hari Sabtu tanggal 21 Februari 2016 aku mengalami pengalaman yang cukup aneh dan unik, bahkan hingga sekarang aku tidak bisa memastikan kebenaranya

Pada hari itu matahari bersinar terang, burung berkicauan , dan angin bertiup membelai rambutku yang berwarna cokelat kehitaman . Hari yang indah untuk bersantai di taman sambil membaca novel kesukaanku yang  bersampul biru, pikirku. Terasa seperti hari sabtu yang lainya, hari sabtu itu terasa normal-normal saja. Setiap hari sabtu merupakan hari bersantai dalam jadwal semingguku, entah itu aku menonton film di dalam kos, membaca novel ataupun kuliner. Pada hari itu aku memutuskan untuk memanjakan diriku dengan membaca novel kesukaanku di taman dekat kos-kosan ku, hanya perlu berjalan sekitar 5 menit dari kos-kosan. Langkah bahagiaku menuju taman makin cepat hingga “Bruk!!”

“Ahh !” seorang wanita paruh baya teriak kesakitan sambal memegang pinggulnya.

Dengan spontan aku berkata, “Maaf ya bu, saya tidak hati-hati. Apakah ibu baik-baik saja ? Apakah ada yang terluka ?” selanjutnya akupun membantu wanita paruh baya itu untuk berdiri dan mengambil tongkat kayunya

Ibu itu menjawab dengan halus, “ Iya non, tidak apa-apa , lain kali hati-hati ya. “

Lalu ibu itu berjalan ke arah yang berlwanan dengan ku. Setelah lama ku pandangi ibu itu mulai hilang dari pandanganku, lalu ku sadari tergeletak sebuah buku bersampulkan cokelat tua yang bertuliskan “Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda”dengan gambar kerbau yang dinaiki orang didepanya. Spontan aku berteriak memanggil ibu tadi.

“Bu!!!, Ini bukunya ket..,” kata ku terpotong karena aku sadari ibu itu sudah terlalu jauh untuk mendengar perkataanku.

Aku pungut buku tersebut dari tanah dan mengipas-ngipaskan tangan ku ke buku tersebuut untuk membersihkanya dari kotoran. Apa ini ? Rasanya ada suara yang berbicara padaku untuk membaca buku aneh ini. Akhirnya aku melanjutkan perjalanku ke taman dan duduk di kursi taman berwarna merah yang terbuat dari kayu yang sudah tua. Ku buka halaman pertama dan tertuliskan sebuah kata-kata aneh yang tidak kukenali, lalu akupun membalik halaman selanjutnya. Halaman kedua itu bertuliskan “Max Havelaar” nama yang tidak asing bagiku, tapi aku tidak bisa mengingat apa arti dari kata-kata itu , apakah itu sebuah nama, istilah, apakah kata-kata itu ?. Aku pun membalik halaman selanjutnya, disitu tertuliskan kata-kata “ Siapa tahu, akan melihat”.

“Kringg..Kringg!” bunyi alarm handphoneku membuat aku kaget dan menjatuhkan buku tersebut.

Aku pun mengarahkan tanganku ke dalam kantung celanaku dan meraih handphone kecilku, tiba-tiba terdengar suara kerbau dan suara orang-orang kelelahan terdengar olehku. Lalu saat aku melihat sekitarku, hanya warna putih mengelilingiku dan sekejap warna putih itu berubah menjadi langit biru cerah dengan sinar matahari yang sangat terik yang mebuat aku menutup mata. Lalu aku mengarahkan kedua bola mataku kebawah dan menyadari bahwa aku berada ditengah-tengah sawah.

“AHH!!” sontakku kaget.

Merasa tidak yakin aku mencubit pipi kananku hingga merah, dan sebelum kurasakn rasa sakit atau tidak, Aku pun mulai berfikir apa yang terjadi. Tiba-tiba terlintas difikiranku tentang buku misterius itu. Aku melihat sekitarku dan menyadari bahwa ini adalah zaman penjajahan Belanda.

“Mungkinkah aku masuk kedalam cerita buku tersebut ? AHH!” jeritku dengan menggeleng-gelengkan kepalaku.

Aku saja tidak tau apa isi cerita tersebut, kata-kata yang terakhir yang Aku ingat adalah “Siapa tahu, akan melihat”. Itu dia, secara tiba-tiba otaku berfikir dengan keras dan menyimpulkan, karena aku membaca buku tersebut Aku masuk kedalam cerita itu.

“Adinda, kemari bantu jangan menghalangi saja,” anak laki-laki tidak berpakaikan baju atasan yang sontak membuatku terkaget.

 “Apaan sih ! Siapa kamu ? dan namaku bukan Adinda just mind your own business,” dengan spontan aku menjawab.

 “Adinda kamu cantik sekali hari ini ” Tanya anak itu.

Pernyataannya membuatku bingung, tiba-tiba muncul anak perempuan manis dengan rambut sebahu memakai pakaian yang kusam menyampiri anak laki-laki itu, tanpa melirik kearahku sekalipun yang telah melambai-lambaikan tanganku. Apa ini ? Mereka tidak bisa meliahtku ? Wajar saja mungkin karena aku bukan tokoh dari cerita tersebut. Tiba-tiba para petani berkupul diujung barat dari sawah yang tidak cukup jauh. Mereka semua berlutut termasuka anak laki-laki dan perempuan tadi.

“Salam Tuan Wirakusuma” ujar seorang petani.

Mengapa mereka harus berlutut, Apakah orang ini orang jahat. Ternyata dugaanku benar ia adalah seorang Bupati daerah itu yang menggunakan kekuasaanya untuk memeras rakyat. Hal ini tentunya membuat aku marah, beberapa kali aku mengeluarkan protesan tapi apa gunanya mereka tidak merasa Aku ada.

“Tapi Tuan, kita hanya mempunya beras saja, Kami tidak punya apa-apa,” jawab salah satu petani lain.

“Oh tidak punya ya? Kalau begitu kerbau itu apa ? Serahkan kerbau itu padaku!” paksa Bupati itu.

Akhirnya mereka menyerahkan kerbau itu dan pergilah Bupati Wirakusuma dari situ. Walaupun hati sedikit kesal tapi Aku tidak terlalu menghiraukan masalah itu, yang ada dibenaku sekarang adalah bagaimana Aku bisa kembali ke duniaku. Mungkin aku harus melihat semua kejadian yang diceritakan buku itu. Ya benar sekali itu caranya. Akhirnya Aku pun mengikuti anak laki-laki tersebut untuk dapat menyelesaikan ceritanya. 

Dia pergi ke sebuah desa kecil dengan rumah gubuk, dan dijalan menuju kesini aku melihat sebuat tanda bertuliskan “Lebak” mungking desa ini bernama Lebak pikirku. Sangat menyedihkan dan mengagetkan selama seharian aku mengikuti anak itu betapa sengsaranya kehidupan rakyat didesa itu. Makananpun tidak ada , untuk bertahan hidup banyak yang hanya memakan pasir. Hal ini membuatku melinangkan air mata. Dalam hati kecilku merintih tolong siapapun tolong mereka.

Keesokan harinya datanglah seorang pria belanda bernama Max Havelaar, iya nama itu, nama yang tertulis di halama pertama buku misterius itu. Apakah orang ini baik ? Apakah iya sama saja dengan para Belanda yang lain? Itu yang ada dipikiranku. Lalu aku memutuskan untuk selalu mengikutinya untuk mengetahuinya. 

Akhirnya aku tahu isi crita dari buku ini. Max Havelaar merupakan naturalis dari Amsterdam yang mendapat mandat sebagai asisten residen di Kabupaten Lebak, Banten-Kidul yang mengawasi produksi gula dan kopi di wilayah kabupaten dimana sistem kultivasi membawa kesengsaraan rakyat. Juga korupsi yang begitu masif, tidak hanya dilakukan oleh pegawai residen, tapi juga pegawai bupati lokal bumiputera yang melakukan pungli berupa upeti paksa. Sebagai Asisten Residen Lebak, Max Havelaar ini banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai ketidakadilan penguasa yaitu si Bupati Lebak.

 Aku tidak menyangka bahwa Max Havelaar ternyata membela rakyat lebak tersebut karena ketidak adilan yang terjadi. Akhirnya Max Havelaar pun melaporkan ke Residen Banten untuk memecat si Bupati Lebak, dan juga melapor ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Permintaan Max Havelaar ditolak, dan dia diberhentikan sebagai Asisten Residen Lebak dan setelah itu dia berhenti sebagai Asisten Residen. Sekejap disekelilingku menjadi warna putih dan muali pudar menjadi pohon-pohon besar yang tidak asing. 

Aku kembali, akhirnya, tapi apa ini pipiku terasa lembab dan mulutku terasa kaku. Tidak kusadari aku mengangis setelah mengetahui cerita buku tersebut. Akupun mulai merefleksi diriku yang egois ini, Apa yang selama ini aku lakukan, Bahkan seorang penjajah saja peduli dengan rakyat lebak tersebut, Bagaimana dengan aku. Aku yang merupaka rakyat Indonesia saja tidak peduli dengan orang-orang disekitarku.

“Non, Maaf buku ibu ketinggalan ya non, Saya ambil ya non, permisi buru-buru,” ujar wanita paruh baya tadi.

Karena masih kaget aku tidak bisa bertanya apa-apa kepada ibu itu. Hal pertama yang kusadari bahwa selama aku berada dalam cerita tersebut hanya berlalu 5 menit. Apakah yang terjadi padaku , Bagaimana bisa. Tapi yang pasti aku harus berubah dari sekarang yang lebih peduli akan nasib bangsa Indonesia karena aku sudah melihat dengan mataku sendiri bagaimana tersiksanya rakyat Indonesia saat zaman penjajahan. Itulah pengalaman anehku pada hari Sabtu yang biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun