Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan, ada 49 calon legislatif (caleg) bekas narapidana (napi) perkara korupsi. Rinciannya, 40 orang adalah caleg tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari 12 partai politik dan 9 orang lainnya adalah caleg DPD dari 7 provinsi (Kompas, 31/1/19). Salah satu tujuan KPU mengumumkan hal itu sebagaimana yang dilansir dalam media Kompas adalah agar para calon pemilih dapat memilih dan menentukan hak pilihnya secara cermat.
Diharapkan agar melalui pengumuman publik macam itu, masyarakat sekurang-kurangnya tahu rekam jejak dari masing-masing anggota caleg. Dengan demikian, mereka setidaknya telah dibekali oleh informasi yang cukup matang tentang figur caleg yang ada, sehingga pada waktu pencoblosan tiba, sekiranya mereka tidak salah memilih para wakil rakyat yang pada saatnya jika telah terpilih akan menduduki kursi wakil rakyat dan memberikan angin segar bagi rakyat. Bukan sebaliknya, mencuri kebahagiaan yang idealnya diperuntukkan bagi rakyat.
Saya mengapresiasi langkah KPU untuk mempublikasikan daftar nama caleg yang terjerat kasus tindakan pidana korupsi kepada publik, sebab, pertama, untuk memberikan informasi yang valid kepada para calon pemilih dan menjadi bahan pertimbangan bagi mereka bahwa dari sekian banyak caleg yang mencalonkan dirinya menjadi tenaga legislatif baik pada tingkat kabupaten atau kota dan provinsi maupun di tingkat nasional, ada beberapa di antaranya adalah bekas napi korupsi yang telah merampas uang milik rakyat
 Kedua, menjadi bahan refleksi sekaligus warning bagi para caleg bersangkutan agar jangan tampil seolah-olah tak bercacat di hadapan publik saat kampanye. Bagi saya, poin ini dianggap cukup penting karena tidak sedikit orang yang menyangsikan kejujuran dari para caleg yang tersangkut tindakan pidana korupsi untuk menyampaikan secara terbuka atau melakukan pengakuan publik bahwa dirinya adalah mantan anggota napi.
Di tengah maraknya apresiasi khalayak kepada pihak KPU atas langkah yang mereka tempuh itu, muncul pertanyaan dalam diri saya: "Sudah sejauhmanakah pihak KPU menyampaikan informasi atau mengumumkan para caleg bekas napi kepada rakyat. Apakah pihaknya menyampaikan hal itu hanya melalui media massa atau dengan melakukan sosialisasi di beberapa titik dalam kota atau kecamatan atau desa? Setelah itu lepas tangan"? Jika memang demikian, boleh dikatakan langkah KPU sebagaimana yang telah dipaparkan di atas belum cukup efektif.
Saya katakan langkah KPU itu belum cukup efektif, sebab, pertama, akses informasi di masing-masing daerah tidak sama. Ada beberapa daerah yang memang memiliki akses informasi yang cepat. Peredaran media-media massa seperti surat-surat kabar, majalah, dan televisi mudah didapat, media online seperti internet gampang diakses. Lalu, bagaimanakah nasib rakyat yang berdomisili di daerah-daerah yang hingga saat ini belum dapat menikmati asupan informasi semacam itu karena kondisi infrastruktur dan suprastruktur masih sangat memrihatinkan?
Kedua, jika sosialisasi dan pengumuman perihal para anggota caleg yang pernah mendapat hukuman pidana dilakukan hanya di beberapa tempat dalam kota atau kecamatan, nah, bagaimanakah dengan rakyat yang ada di desa, dusun, dan bahkan RT/RW tertentu? Apakah mereka juga tidak memiliki hak untuk memeroleh informasi yang pasti tentang para caleg yang berasal dari daerahnya atau para caleg yang memiliki daerah pemilihan dari rakyat yang ada di desa, dusun, dan RT/RW yang dimaksud?
Saya mengatakan hal ini, sebab jika sosialisasi yang dilakukan oleh pihak KPU dilakukan hanya di beberapa tempat, maka hanya mereka yang berada di tempat itu dan mereka yang diundang sajalah yang mengetahui sedikit lebih pasti tentang rekam jejak dari para caleg. Lalu, bagaimana dengan rakyat yang berdomisili bukan dari tempat di mana pihak atau anggota KPU menjalankan program sosialisasi tentang pemilu, khususnya mengenai para anggota caleg yang pernah mendekap dalam jeruji.
Ketiga, pada saat rapat penyuluhan tentang pemilu yang barangkali menyentil soal para kandidat legislatif bekas napi yang akan bertarung dalam pesta demokrasi, tidak semua warga mengikutinya. Ada beberapa dan bahkan mungkin lebih banyak warga calon pemilih yang pada saat bersamaan melakukan rutinitas masing-masing sesuai dengan mata pencaharian mereka.
Berhadapan dengan kesangsian-kesangsian seperti itu, saya menganjurkan beberapa hal berikut kepada pihak penyelenggara pemilu dan pemantau lalulintas pesta demokrasi yang sementara dan akan dilangsungkan dalam sisa-sisa waktu terakhir. Pertama, mewajibkan para caleg, khususnya para caleg bekas napi untuk melakukan pengakuan publik pada saat kampanye. Mau tidak mau mereka dituntut untuk rendah hati dan secara ikhlas mengakui bahwa mereka adalah para caleg mantan anggota napi, misalnya karena melakukan tindakan korupsi.
Kedua, pihak penyelenggara dan pemantau pemilu mesti berpartisipasi dalam setiap kampanye publik dari masing-masing caleg yang berlabel bekas napi. Salah satu atau beberapa anggota dari tim penyelenggara dan pemantau pemilu hadir dengan kapasitas sebagai pengontrol dari seorang caleg bersangkutan. Posisinya pun mesti netral bukan sebagai pendukung. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah para caleg eks napi mengkampanyekan hanya pada hal-hal yang sifatnya mulia dan lupa bahwa ia adalah seorang mantan napi.
Ketiga, jika memang tugas dari pihak penyelenggara dan pemantau pemilu tidak bisa sampai pada taraf macam itu, apakah tidak memungkinkan mereka untuk mengeluarkan suatu kebijakan jika tidak mau dibilang peraturan baru yang agak aneh bahwa setiap para caleg yang memiliki curriculum vitae sebagai bekas napi diwajibkan untuk mengenakan kostum, semacam rompi khusus untuk mereka kenakan pada saat setiap kali berkampanye. Rompi yang dikenakan misalnya bertuliskan: "mantan anggota napi" atau "saya bekas napi". Menurut hemat saya, hal itu merupakan pengakuan publik yang bernuansa luhur.
Saya menulis beberapa poin di atas tidak bermaksud mendiskreditkan para caleg tertentu yang merasa diri adalah mantan anggota kasus napi korupsi. Sebaliknya, justru membantu mereka untuk berani bangkit dari keterpurukan dan berjanji untuk mengukir ke-Indonesiaan yang lebih asri lagi. Dan, bagi para calon pemilih, hendaknya informasi dari pihak KPU seperti yang telah saya kutip pada bagian pertama dari tulisan ini menjadi bahan pertimbangan yang mapan bagi kalian dan tentunya bagi saya juga untuk memilih secara cerdas pada waktu pencoblosan nanti.
"Manusia bukanlah malaikat". Adagium klasik ini kiranya patut disematkan dalam diri para caleg bekas napi. Saya berharap, ketimpangan kalian di masa lalu kiranya menjadi alasan bagi kalian untuk melakukan perubahan masa kini. Akhirnya, saya mengucapkan selamat berjuang. Salam tobat.
*Artikel ini pernah dimuat di Surat Kabar Harian Umum Flores Pos, Selasa, 12 Maret 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H