Setelah mama kembali ke kamar tidur, aku mencoba mengintip suasana di luar sana. Kusendengkan telingaku melalui sela-sela jendela, mencoba menangkap percakapan warga yang masih berada di tempat kejadian. Riuhnya suasana dan jarak yang agak jauh, aku tak dapat menangkap dengan jelas cerita yang sedang berkembang di sana. Dengan kesal aku akhirnya melanjutkan tidurku.
Cuaca amat terik, hawa panas memenuhi ruang-ruang rumah kami. Aku memilih bernaung di bawah pohon mangga depan rumah. Kusandarkan tubuhku di kursi santai dari bambu hasil kreasi bapak. Baju kutanggalkan dari tubuhku. Semilir angin laut perlahan menyapu hawa panas tubuhku. Kubalikkan tubuh dan pandanganku ke arah selatan. Bentangan laut biru Flores begitu menawan di ujung pandanganku. Menggoda pikiran dan hayalanku. Antara rasa penasaran dengan kejadian yang menimpa keluarga bapak Simon beberapa waktu lalu dengan kegelisahan hati untuk meneruskan pendidikan selepas pengumuman kelulusan SMA yang tinggal 2 minggu lagi. Kemana dan fakultas apa yang harus kupilih meneruskan cita-cita bergulat dalam pikiranku. Ke sana kemari lamunanku, tidak fokus pada satu masalah.
"Ema, rindang juga pohon mangga kita ini ya" sapa ayah sembari mencari tempat duduk(ema adalah panggilan sayang untuk anak lelaki Flores suku Nagekeo).Di atas sebongkah batu bapak duduk berselonjor di seberangku. "mungkin kita perlu membuat bale-bale di sini, supaya bisa kita gunakan untuk membaringkan tubuh. Saat-saat hawa panas seperti ini, kita bisa beristirahat di sini kan" kata bapak membuka percakapan kami.
"Betul juga bapak. Kita punya banyak bambu. Mudah dan sederhana kerjanya" balasku. Kupandang wajah bapak. Guratannya seperti tengah memikirkan sesuatu masalah.Dia tidak hanya sekedar mau menikmati kerindangan pohon mangga. Dia ingin mengungkap isi hatinya padaku. Belakangan ini bapak memang lebih banyak membicarakan soal kemandirian hidup dan masa depan kepadaku. Sebagai seorang bapak yang telah melahirkan dan membesarkannku, dia tahu apa pergolatan hidupku saat ini.
"Ema kita boleh miskin harta tapi kita tidak boleh miskin iman", kata bapak seakan mengajakku untuk berefleksi. Aku terdiam sejenak. Aku tak menduga kalimat bijak ini keluar dari ucapan bapak. Pikiranku mencoba menerka maksud bapak mengatakan demikian padaku. Tidak ada penjelasan bapak di awal atau sesudah dari ucapnnya itu. Dugaanku, ungkapan bapak ini ada hubungan dengan konflik yang menimpa keluarga bapak Simon. Dugaanku beralasan, karena pagi tadi bapak bersama bapak Yakobus serta beberapa tokoh kampung lain berkunjung ke keluarga bapak Simon. Â Tapi aku tak berani untuk menanyakan maksud ungkapan bapak apakah ada kaitan dengan konflik yang menimpa keluarga bapak Simon. Karena kami anak-anak mengenal watak bapak yang tidak suka membahas masalah yang terkait dengan orang dewasa. Bapak meninggalkanku sendirian di situ dan entah kemana. Bapak tipe orang selalu menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas.
Pikiran terfokus pada ungkapan bapak, "kita boleh miskin harta tapi tidak boleh miskin iman". Semakin kucoba mengartikannya, semakin aku bingung. Tak pernah kudengar ungkapan ini sebelumnya. Kucoba menghubung-hubungkan dengan materi pelajaran yang kuterima di bangku SMA. Kalau harta berarti berhubung dengan ilmu ekonomi. Iman berhubung dengan pelajaran agama. Kayaknya tidak "nyambung", pikirku. Pelajaran ekonomi aku diajari untuk bagaimana cara memperoleh harta. Hartalah yang membuat orang bisa hidup. hartalah yang selalu diburu orang dalam mengisi hidupnya. Alur pikiranku tak beraturan, bertanya sendiri, jawab sendiri dan bingung sendiri.
Aku memutuskan untuk melanjutkan perkuliahan di perantauan, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Alvian, sahabat karibku masa-masa SMA mengajakku untuk meneruskan kuliah di Medan Sumatara Utara. Keluarga mendukung keputusanku. Enam bulan pertama di perantauan, kulalui dengan gembira. Suasana baru, teman baru, model pendidikan baru. Ternyata enak jadi mahasiswa, pikirku. Pakaian bebas, waktu kuliah tidak terikat, aturan tidak mengekang seperti masa-masa SMA.
Namun seiring berjalan waktu, aku mulai merasakan bahwa hidup di perantauan tidak seindah yang aku bayangkan. Alvian hanya bertahan satu tahun karena bapaknya meninggal. Alvian tidak lagi meneruskan kuliahnya karena masalah biaya. Perasaan sendirian kerap mencekam batinku. Rasa rindu pada sanak saudara dan suasana kampung terpendam sepi di sudut hati. Jangankan sanak saudara, dengan orang-orang sedaerahku Flores saja sulit kujumpai. Bukan aku tidak punya teman-teman di tanah rantau ini. Aku bisa dan bergaul dengan siapa saja. Tapi rupanya, bertemu dengan saudara sedaerah memberi rasa nyaman tersendiri, bila di perantauan. Aku terlahir dan bertumbuh dalam budaya, adat istiadat, kebiasaaan yang tidak kudapatkan di tanah rantau. Itulah kerinduan yang aku alami sebagai perantau.
"Kita boleh miskin harta tetapi tidak boleh miskin iman". Ungkapan bapak kepadaku saat itu menggema dalam refleksi perjalanan hidupku. Aku tersadar, kalimat bijak bapak bukanlah sebuah teori berfikir untuk dicari alasan dan argumentasi. Melainkan aku temukan arti dan maknanya bila aku hayati dalam sikap dan tindakan. Suka duka hidup yang mengisi ruang hidupku membuat aku mengerti arti iman yang bapak ucapkan.Imanlah membantu aku melewati masa-masa sulit di "pengasingan". Imanlah yang mengingatkan aku untuk tidak terlibat dalam pergaulan-pergaulan yang tidak sehat. Imanlah merawat aku untuk selalu bersemangat, berjuang meraih asa dan harapan. Imanlah yang mengajak aku untuk terbuka dan bersahabat satu sama lain. Imanlah yang menumbuhkan gairah jiwaku untuk terus melakukan kebaik-kebaikan.
Bapak mengajari aku, iman itu adalah senantiasa menyerahkan diri pada Tuhan. Mengajari aku agar selalu mendekatkan diri pada Tuhan. Bapak membiasakan aku untuk selalu berdoa saat akan berpergian. Bapak berpesan, selalu berdoa tiap hari apapu situasi, suka ataupun duka, gembira atau sedih. Bapak menekankan aku untuk tetap ingat dan sadar apa pun yang aku terima adalah anugerah Tuhan. Inilah warisan iman yang aku peroleh dari Bapak. Aku bersyukur, berkat "warisan" bapak aku tetap mampu memelihara segala kehidupan ini dengan segala suka dan dukanya. Aku merasa, berkat "warisan" bapak ini aku bisa terus mengembangkan semangat di tengah di tengah "badai" hidup yang kerap menerpa. Akhirnya, aku berharap aku bisa menjaga dan meneruskan "warisan" bapak ini hingga penghujung hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H