Mohon tunggu...
obrolanvika
obrolanvika Mohon Tunggu... Koki - perantara

hanya obrolan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengenang Nenek Saat Membaca Artikel Pinang Sirih dan Migrasi Manusia National Geographic

15 April 2021   15:24 Diperbarui: 15 April 2021   16:18 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover Merapah Rempah. Doc: Pribadi


" Hiii, kok merah-merah gitu sih mulutnya nenek? Dibawa ke dokter bu segera!"  Kepanikan di tengah tarikan tangan saya sesaat melihat nenek keluar dari kamar tidurnya subuh itu. Bibir nenek yang biasanya berwarna coklat muda, tetiba pagi itu penuh kesumba. Tak hanya itu namun gigi yang bersih walau tidak rata, kali ini komat-kamit seperti mengunyah sesuatu yang berwarna merah. Anehnya tidak ada raut kesakitan maupun desis perih jika terluka.

Bukannya segera membantu nenek berpakaian (beliau memakai kain batik yang dibikin ikat sarung dan BH khas perempuan Jawa zaman dulu), namun suara tawa ibu berderai di sampingku. Dahi saya terasa mengerut dan sedikit mengeras. Saya tak mengerti dengan reaksi perempuan yang melahirkan saya tersebut. Fyi, saya masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak waktu itu.

Alat-alat. Doc: National Geograpic
Alat-alat. Doc: National Geograpic


"Lah kok ibu tertawa tuh gimana to?"
"Simbah itu bukan gusi berdarah nduk! Simbah lagi nginang biar giginya awet dan sehat. Tuh ga bolong-bolong kaya kamu!"

Saya yang sedikit pening, perlahan-lahan mendekati nenek yang juga senyum seraya duduk di sofa ruang tamu. Kedua belah jarinya dengan sigap melipat beberapa daun sirih hijau yang sebelumnya sudah ditaburi kapur, sepotong gambir dan pinang. Sepertinya nenek sudah menyiapkannya sehari sebelumnya. Nenek memang sedang menginap di rumah kami setelah dijemput bapak kemarin. Rindu anak perempuan sulungnya apalagi cucunya yang biasanya dua minggu sekali bertandang ke desa.
 
" Arep simbah ajari nginang po nduk? Enak loh!" 

"Mboten mbah. Nuwun, Saya lebih suka permen. Hehe!"

Wadah dari kuningan. Doc: National Geographic
Wadah dari kuningan. Doc: National Geographic


Sampai nenek meninggal, para cucunya sepertinya belum pernah mencicipi nikmatnya menyirih pinang. "Segar walau getir kalau pertama kali menyirih!" begitu ibu menjelaskan saat itu. Ibu selaku putri sulung nenek memang pernah menyoba sirih pinang saat masih kecil. Nenek memang tinggal di pedesaan yang sangat umum jika perempuan lanjut usia masih menyirih. Pada zamannya, aktivitas menyirih merupakan tradisi turun temurun bahkan bukan hanya dilakukan oleh perempuan saja. Kata ibu, seingat saya, kakek semasa hidup juga terkadang menyirih sembari menikmati senja bersama 11 buah hatinya.

Kilasan memori tentang alm nenek dan ibu tadi tetiba terlintas sesaat membaca salah satu judul artikel dari kumpulan liputan National Geograpic edisi Merapah Rempah. Berada di halaman 62-71, artikel yang ditulis oleh Dani Kosasih serta dilengkapi oleh beberapa foto dari Rahmad Azhar Hutomo, berhasil membawa saya kembali sejenak ke masa kecil. Manusia memang kitab teles yang terhimpun banyak kenangan serta pengalaman.

Tempat dari Banjarmasin. Doc: Pribadi
Tempat dari Banjarmasin. Doc: Pribadi


Saat melihat foto pertama yang mengabadikan Pekinangan (wadah dari kuningan) saya mengingat bahwa nenek jarang memperlihatkan wadah serupa saat kami bertandang. Ah ternyata wadah itu khusus dipergunakan saat ada tamu agung seperti yang dijelaskan penulis.

Ternyata banyak refensi yang bisa jadi sumber data akan pertanyaan yang biasanya pertama kali ditanyakan mengenai asal usul  tradisi pinang sirih ini dimulai. Pada artikel 10 halaman tersebut menyebutkan bahwa kebiasaan berpinang sirih tersebut sudah diitemukan dari 2000 tahun silam seperti yang dijabarkan Dawn F.Rooney dalam buku Betel Chewing Traditions in South-East Asia.

Tempat Sirih dari Sangir Talaud. Doc: National Geograpic
Tempat Sirih dari Sangir Talaud. Doc: National Geograpic


Peneliti lain yaitu Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak bersama Francois Semah memimpin eksplorasi tim gabungan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Museum Nasional dHistoire NaturAlle Paris,Prancis. Ada fakta menarik dari mengenai temuan situs Song Keplek di Pacitan yang ditulis dalam makalah Truman bahwa Song Keplek marupakan salah satu situs yang dihuni manusia ras Australomelanesid pada 8000-4500 tahun lalu.  Kerangka manusia di situs tersebut terdapat jejak menginang pada gigi yang berwarna coklat kemerahan.

Artkel tersebut juga menyuguhkan detail data-data lain misalnya hasil penelitian Rusyad dan Toetik Koesbardiati dari Laboratorium Antropologi Fisik, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Hasil penelitian tersebut menjabarkan tentang bukti jejak pewarnaaan gigi di daerah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nias, Jawa, Flores, Bali, Timor serta Papua.

Foto-foto karya Rahmad Azhar Hutomo sangat mendukung visualisasi dari data-data artikel tersebut misalnya saja foto tas berbahan lontar yang digunakan di daerah Timor sebagai tempat menyimpan sirih. Demikian juga foto mengenai Kacip dari bahan tembaga yang digunakan untuk membelah serta mengupas buah pinang.

Tempat sirih berbahan manik-manik dan daun pandan dari Kepulauan Sangir Talaud Sulawesi Utara juga bisa dinikmati visualisasinya. Demikian juga tempat sirih khusus masyarakat status sosial atas, yang berbentuk mirip ayam dengan bahan kuningan berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan. Kedua foto terdapat pada artikel halaman 68-71.

Cover Merapah Rempah. Doc: Pribadi
Cover Merapah Rempah. Doc: Pribadi


Sudah lama saya tidak bertandang ke rumah nenek semenjak nenek sudah berangkat ke surga terlebih dahulu. Wondering apa para tetangga di desa masih melakukan aktivitas menyirih/menginang ini. Di rumah sih ada tanaman sirih merah nan rimbun, apa bisa dipakai ya untuk aktifitas pergaulan sekaligus penghormatan pada tamu ini ya? Ada yang bisa menjawab?

Judul        : Merepah Rempah
Edisi         :  Edisi Khusus Jalur Rempah. Sisipan National Geographic Indonesia Edisi Januari 2021
Isi              :  114 halaman
Penerbit.  :  PT Gramedia Percetakan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun