Kali ini, masih pada jam yang sama putaran detik yang sedikit berbeda dan pada menit yang membuat malam semakin terkesima. Empat sudut kamar memandangku tajam dengan setia, menantiku melahirkan tulisan-tulisan dengan jariku. Meski terkulai lemah tubuhku. Terjerat roda fisik yang menjatuhkan dalam hari-hariku. Aku mesti dan berhak untuk melakukan. Aku dan karyaku ada meski peluh malam adalah air yang menghilangkan dahaga.
Dalam detak kemiskinan jantungku segudang pemikiran jatuh kepada tema luka. Ya, luka. Luka adalah pisau yang dikendarai perasaan dan lisan. Cinta mengahadirkan luka sebagai romantika yang paling mengejutkan. Tidak semestinya ketika dua manusia dihadapkan pada luka. Luka itu perih. Sangat perih. Bahkan saat luka menyapa. Adakah obat yang mampu menyembuhkannya? Luka dalam cinta adalah ilmu yang paling setia, bagi yang menekankan egoisme dan kesenangan terhadap cinta.
Luka adalah benci yang akan mengantarkan pada sepi kemudian rindu yang menjadi titik akhir dari sebab-sebab itu. Jika dianalogikan dalam hal-hal sederhana luka itu pisau dapur memotong diri sebagai sayur. Maaf, jika analoginya menyebabkan paradigma yang sangat sederhana. Berdarah, mimisan, tergores atau apapun itu ketika kita menikmatinya dengan ikhlas maka kita adalah sosok pembelajar yang menjadikan masa lalu sebagai pendewasaan dan masa depan sebagai tolak ukur kehidupan. Jangan terfokus kepada hal yang sama sebab mencintai itu adalah alasan mengapa kita memilih serta menjadikan pendamping kita sebagai lukisan paling nyaman untuk dijadikan sandaran.
Menangis, lelah dalam rasa yang begitu menyakiti dan tidak ada kata mengampuni. Itulah luka, tak pernah mengenal maaf. Mengedepankan ego sebagai bagian melupakan. Ya luka mesti dilupakan. Walau itu tidak mungkin terkecuali gila atau amnesia. Hanya bisa berharap waktu bersahabat. Menyembuhkan dari luka yang berbisa.
Semestinya Tuhan tidak menciptakan luka sebagai bagian dari kehidupan. Tetapi inilah kehidupan berjalan dengan beribu keadaaan. Luka itu pedih, perih bahkan ketika tak sanggup lagi menjadikannya sebagai air mata. Akankah ada daya sekuat itu. Tidak ada. Tidak akan ada.
Seharusnya kita percaya, luka sedalam apapun itu. Pasti mengenal sembuh. Sembuh dari waktu yang akan menghakiminya. Sembuh dari rasa sakit. Lalu alpa.
Tuhan, menciptakan luka pasti ada penawarnya. Seseorang yang baru atau seseorang yang Tuhan ciptakan sebagai bagian dari penyembuhan itu. Percayalah. Tak akan ada badai yang ingin hidup dalam waktu lama lalu menghancurkan setiap apa yang dikenalnya. Badai pasti berlalu.
Luka memang sakit tetapi luka mengajarkan kita untuk untuk tidak jatuh pada keadaan yang sama. Berterima kasihlah pada luka. Sebab luka memberikan sketsa tentang arti bagaimana cinta? Apa itu cinta? Mengapa cinta?
Yakinlah.. jeritanmu sedalam apapun itu. Pasti akan berhenti. Luka juga mengenal lelah untuk menemukan sesuatu yang disebut bahagia.
Â
Obi Samhudi
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H