Hal ini tentunya akan mengurangi makna dari sebuah pemilu yang seharusnya menjadi ajang untuk memilih pemimpin melalui proses yang bebas dan terbuka.
Selain itu, MK juga mengkritik dominasi partai politik tertentu dalam pengusulan calon presiden yang menyebabkan terbatasnya pilihan bagi pemilih.Â
MK menganggap bahwa keputusan ini menghalangi hak konstitusional masyarakat untuk mendapatkan alternatif calon presiden yang memadai.Â
Oleh karena itu, MK memutuskan untuk menghapuskan ketentuan ambang batas ini, memberikan kesempatan yang lebih luas bagi berbagai partai politik untuk mengajukan calon presiden mereka.
Keputusan ini tidak diterima dengan bulat oleh seluruh hakim MK. Terdapat dissenting opinion dari dua hakim, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.Â
Mereka berpendapat bahwa gugatan terhadap Pasal 222 ini sudah diajukan sebanyak 33 kali, dan MK seharusnya menghormati keputusan-keputusan sebelumnya yang menegaskan bahwa ambang batas tersebut adalah kebijakan yang sah.
 Mereka berpendapat bahwa MK tidak seharusnya mengubah pandangannya secara drastis tanpa mempertimbangkan stabilitas hukum yang telah ada.
Di sisi lain, keputusan ini tentu saja memberi dampak besar bagi dinamika politik Indonesia. Dengan dihapusnya ambang batas, pemilihan presiden mendatang berpotensi diikuti oleh lebih banyak pasangan calon.Â
Hal ini bisa membawa angin segar bagi partai-partai politik yang sebelumnya terhalang oleh ketentuan ambang batas, terutama bagi partai politik kecil yang ingin mengusung calon presiden mereka sendiri.Â
Tentu saja, keputusan ini juga menimbulkan tantangan baru dalam hal pencalonan, karena banyaknya calon yang mungkin akan memperumit proses pemilihan.
Selain itu, keputusan MK ini membuka ruang bagi partai politik untuk lebih bebas dalam menentukan pasangan calon presiden mereka, tanpa khawatir terhalang oleh syarat ambang batas.Â